"Sudah terbukti bukan? Jika bukan hamba yang menyuruh baik panglima Jentra atau siapapun untuk mengambil lontar Anarghya. Bahkan orang-orang Walaing sendri yang berusaha masuk ke ibukota dan menyerang kediaman Panglima Medang. Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan Yang Mulia. Tidak cukup menghukum mati penebar fitnahnya saja. Tuanku juga harus menghukum pembesarnya yang telah berani merangsek masuk ibukota dan melakukan penyerangan di rumah pejabat istana." Kata Pangeran Balaputeradewa dengan berapi-api. "Tapi itu kan juga tidak membuktikan kalau panglima Jentra tidak menyimpan lontar itu?" Pangeran Aswangga mencoba membela Rakai Walaing yang sama-sama masih berdarah Sanjaya dengannya. "Apanya yang tidak terbukti? Jelas-jelas mereka mencari dan tidak menemukannya. Bahkan melukai perwira muda kita dengan sangat keji." sanggah Pangeran Balaputeradewa. "Bisa saja disembunyikan di tempat lain." Mpu Ghek Sang Pati masih mencoba melawan pendapat Pangeran muda itu. "Paman Rakyan Ghek Sang P
Air mata Megarana tidak berhenti menetes ketika sebuah kotak besar berisi jenasah Raras Hayu dikembalikan ke Walaing. Di dalam hati kecil ia berjanji akan membalaskan dendam kematian Raras Hayu. Ia bersumpah akan menghabisi Jentra dan Sriti yang dianggapnya telah menjadi penyebab kematian Raras Hayu. "Megarana, aku turut berduka cita ya atas kematian Raras Hayu. Kau tidak boleh hanyut di dalam kesedihan. Raras pasti juga ingin kau tetap melanjutkan hidup. Aku tidak menyangka, Maharaja akan begitu tega menjatuhkan hukuman tanpa mau mendengar apapun dari pihak kita."Kata Laturana. "Terima kasih, Laturana. Kau benar! Padahal Panglima Jentra dan kedua bikku itu jelas-jelas menyimpannya. Ini semua adalah kesalahan Panglima Jentra. Maka aku tidak akan membiarkannya begitu saja." Kata Megarana. Sementara itu Mpu Kumbhayoni segera datang dan memeluk Megarana. Ia sangat mengerti perasaan sahabatnya itu. Megarana dan Raras Hayu belum lama bertunangan. Rencananya akhir tahun ini akan menikah.
Jentra terdiam saat ia dan Rukma di bawa oleh Pangeran Balaputeradewa ke kaki Candrageni, namun di sisi sebelah barat yang berbatasan dengan kerajaan Pengging. Ia sama sekali tidak mengira jika Pangeran Balaputeradewa ternyata menemui seorang kepala penjarah kayu dari Pengging bernama Pahula (kijang). Di sana Pangeran Balaputeradewa memberikan sejumlah uang kepada Pahula dan dari caranya menyerahkan uang itu, Jentra tahu jika Pangeran Balaputeradewa sudah biasa melakukannya. "Kali ini, kau tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk menebang di wilayah Song. Kujamin pasukanku dan pasukan penjaga kerajaan tidak akan menghentikanmu. Kau boleh juga mengambil sisi timur wanua Kemadang karena jati-jati besar yang bagus untuk membuat perahu ada di hutan Kemadang."Kata Pangeran Balaputeradewa. "Tapi Gusti, bagaimana jika orang-orang dari pihak Walaing yang menghentikan kami? Beberapa dari mereka sangatlah sakti."Tanya Pahula "Kau takut Pahula? Tenang saja. Jika mereka menangkapmu dan teman-temanm
Rukma mengawasi semua hal yang diperintahkan kepadanya, termasuk membersihkan jalur yang memang telah disepakati oleh Pahula dan anak buahnya untuk mencuri kayu di tanah Walaing. Sebenarnya Rukma-pun sama seperti Jentra yang bertanya-tanya mengapa harus menggunakan para penjahat ini untuk menaklukan Walaing. "Ayolah Yu Ganika. Kau ini bagaimana? Ayah dan Kangmans Kumbhayoni kan sudah berpesan untuk tidak selalu mengambil air dari wanua Song." Kata Gaurika kepada kakak perempuannya. "Lalu mau kemana lagi? Kan memang tempat itu yang banyak airnya." Kata Ganika "Benar. Tapi maling-maling kayu itu juga sering menyergap orang di jalan menuju ke sana." Kata Gaurika "Kau takut?" Tanya Ganika "Bukan takut. Tapi kita sudah diperingatkan untuk tidak membuat kesalahan apapun untuk melindungi Sima kita. Berkelahi dengan para maling itu bukannya mencari masalah ya? Apalagi kita cuma berdua." Kata Gaurika "Sudah. Jangan berpikir macam-macam. Aku sudah tidak kuat dengan panasnya hari. Aku i
Ganika sungguh tidak lagi bersabar pada Rukma. Ia mulai bergerak dengan mengarahkan pukulan beruntun ke arah dada Rukma. Rukma mundur dengan kecepatan angin. Namun Gaurika juga mengejar dengan tendangan dari samping sehingga Rukma harus melompat memutar menghindari serangan Gaurika. Rukma harus mengakui bahwa putri-putri pewaris Walaing bukanlah gadis-gadis lemah yang bisa disepelekannya. Mereka cantik, cerdas dan sakti. Belum lagi mereka juga memiliki kemampuan pengendalian api yang luar biasa. "Latu Wrastha!" Teriak Gaurika. Seketika tangannya memegang busur dengan anak-anak panah berapi yang langsung menghujani Rukma. Semua anak panah menyala itu bila mengenai kulit, efeknya hampir sama dengan tapak geni. Sehingga Rukma harus melindungi dirinya ekstra. "Beteng Warih!" Teriaknya. Seketika tubuh Rukma tertutup dengan lingkaran air yang mengeras dan memadamkan api di ujung anak panah sekaligus mematahkannya. Gaurika terkejut dan segera menghempaskan selendangnya ke wajah Rukma. U
"Ke mana Rukma pergi?Apak dia tidak kembali malam ini?" Tanya Sriti. "Pangeran memberikan tugas khusus padanya untuk mengawasi Walaing." Jawab Jentra sekenanya. "Kau tampak sangat lelah, bagaimana kalau kubuatkan minuman hangat atau kau ingin makan sesuatu?" Sriti menawarkan semua itu dengan suara lembut. "Aku sudah makan. Berikan minuman hangat saja untukku." Kata Jentra sambil menjatuhkan diri di balai-balai. "Sudah empat hari aku di atas kuda. Badanku terasa sangat lelah. Aku ingin sekali tidur, namun mata ini susah terpejam. Sebenarnya aku tidak tega melepas Rukma menjalankan tugas ini. Ia masih terlalu muda." Lanjut Jentra "Ah tidak, juga. Dia sudah bisa suka dengan perempuan. Artinya ia bukan lagi anak remaja. Ia sudah delapan belas tahun. Sudah waktunya dia kawin." sahut Sriti. "Haahh kawin saja yang ada dipikiranmu. Jangan jadi perajurit Sandi, jadi saja istri pedagang atau bangsawan yang pasti akan menghujanimu dengan pakaian bagus dan perhiasan." Kata Jentra "Bagaima
Jentra cukup terkejut ketika melihat Wiku Sasodara sudah ada di ruang utama bersama Amasu dan Rukma. "Rukma? Kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau bertugas di Walaing?"Tanya Jentra. "Aku yang menculiknya pulang sebelum jadi daging panggang di Walaing. Namun aku sudah meminta ijin dari Pangeran Balaputeradewa untuk urusan yang lain."Jawab Wiku Sasodara. "Urusan yang lain?" Jentra seperti tidak mengerti "Pernikahanmu dengan Candrakanti." Kata Wiku Sasodara Jentra seketika lemas. Tulangnya serasa dilepaskan semua. Sementara Candrakanti menangis. Amasu langsung mencium ketidakberesan diantara keduanya. "Wah nampaknya kalian terharu sekali ya mendengar berita ini. Sampai menangis segala." Kata Amasu menyindir. "Aku juga berharap ini berita membahagiakan, mengingat kalian begitu lama menjalin hubungan diam-diam. Namun aku sudah mengupayakan agar Pangeran Balaputeradewa dan Permaisuri Sri Kahulunan membolehkan persatuan ini. Kasihan Gyandra kalau harus memanggilmu paman setiap
Enam orang ksatria nampak mulai memasuki wanua Abhipraya di sebelah Selatan. Mereka berpakaian seperti pengembara dan berniat mendaki gunung Udarati. Namun semenjak berita mustika di puncak Udarati tersebar banyak orang mencoba peruntungannya. Hal itu berdampak sangat baik bagi warga sekitar karena mereka dengan mudah dapat menjual hasil kebun dan benda-benda hasil kerajinan tangan mereka. Namun bagi kerajaan Kanjuruhan, kedatangan para pencari harta ini meresahkan baik secara keamanan maupun kependudukan. "Kau yakin bisa mencapai puncak kakang Acala?" Tanya Baning (Kura-kura di dalam bahasa Kawi) salah satu dari keenam ksatria itu. "Yah. Gunungnya nampak sangat tinggi dan ditumbuhi hutan yang sangat lebat." sambung Waprakeswara. "Aduh Keswara, arti namamu saja adalah hantu gunung. Masak melihat gunung setinggi itu saja hatimu sudah mulai menciut." Jawab Acala. "Bukannya menciut. Tapi kita tahu benar reputasi gunung ini begitu menakutkan. Sementara untuk menghindari patroli praju