“Dasar wanita sial! Kau memutus generasi penerus keluarga ini dengan kemandulanmu itu!"
Ayumi mengusap air matanya, tidak berani menampakkan diri. Terus bersembunyi dibalik dinding, sementara mertuanya lewat di lorong. Dari wajahnya, bisa terlihat kalau ia amat murka.
Amarahnya kali ini awet. Sejak tadi sebelum suaminya berangkat pagi---sampai sore. Ayumi tadi hanya mengusulkan agar suaminya ikut ke dokter memeriksa kesuburan juga, karena Ayumi sudah melakukannya beberapa kali, tapi hasilnya normal. Usulan yang diterima setara bencana, mertuanya marah, dan suaminya juga menolak, lalu meninggalkannya.
"Kau dimana? Kau tak lebih dari wanita mandul dan sakit-sakitan!" Teriakan terdengar lagi, dan Ayumi tersentak. Khawatir kalau mertuanya itu akan benar-benar menyakitinya. Ia belum pernah marah selama ini.
Ayumi mengendap mendekati pintu, secepat mungkin, tetap tanpa suara, mendekati pintu depan.
"Kau hanya memanfaatkan nama kami untuk menjadi terhormat. Tapi kau sendiri tidak berguna!” Teriakan itu diiringi suara sesuatu yang pecah.
Ayumi yang tadinya masih ragu, semakin yakin akan adanya bahaya. Ia menggeser pintu sampai membuka, lalu menutupnya sepelan mungkin. Ia berlari secepat mungkin setelah itu. Melintasi halaman. Ayumi berpakaian lengkap, memakai mantel dan sepatu, tapi hanya membawa dompet dan ponsel. Dua benda itu ada padanya karena memang Ayumi tadi berencana pergi berbelanja sore.
Hanya celaan mertuanya yang sekali lagi menusuk telinga membuat Ayu tidak tahan. Ia mencoba memberi jalan keluar, karena sudah jelas dirinya tidak mandul. Jalan keluar yang rupanya mengundang bencana.
"Taksi!" Ayumi mengangkat tangan dan taksi itu berhenti. Ayumi masuk dan menyebut alamat yang diingatnya saat ada keadaan darurat. Rumah pamannya, hanya itu tempat yang bisa dituju Ayumi. Satu-satunya keluarga yang ada di negara tirai bambu itu,
***
“Tolong turunkan saya di rumah yang itu.” Ayumi menunjuk rumah berpagar abu-abu dengan gerbang kayu dengan ornamen shinto yang antik.
“Arigatou gozaimasu.” (Terima kasih)
Ayumi turun dan disambut gelap yang dingin. Musim gugur dan malam. Angin yang menerpa tubuhnya semakin membuat Ayumi merasa letih. Pikirannya yang lelah akibat celaan, kini dibarengi lelah fisik.
Ayumi menekan bel rumah yang menjadi tempatnya tumbuh dengan tangan gemetar.
“Ya!” Terdengar sahutan, dan pintu gebang itu terbuka.
“Ayumi!” Sambutan ceria membahana, dari Karina, bibi Ayumi.
Karina menjadi bibinya bukan hanya karena menikah dengan Hideki---adik dari ayahnya, tapi Karina adalah adik kandung ibu Ayumi juga. Jarak usianya tidak jauh dari Ayumi tapi. Ibu Ayumi menikah muda, sedang jarak usia Karina dan ibunya juga jauh. Karina hanya enam tahun lebih tua dari Ayumi yang saat ini dua puluh.
“Ya, kemari.”
Dengan suara penuh prihatin, Karina menggeser pintu depan yang terbuat dari shoji ke samping lebih lebar, lalu memeluk Ayumi. Pelukan hangat yang memang dibutuhkan Ayumi. Ia memang sudah lama menceritakan pelik rumah tangganya pada Karina. Meski hanya lewat pesan, Karina tahu benar bagaimana derita Ayumi.
Karina membiarkan Ayumi menangis dalam pelukannya beberapa lama. Membiarkannya menumpahkan sesak, sebelum membawanya ke ruang tamu.
“Aku lega kau disini. Aku tidak akan bertanya kenapa atau memintamu menceritakannya.” kata Karina, sambil mengelus bahu Ayumi. Meski tidak bertanya pun, penyebabnya tidak akan jauh dari mertua jahat.
Karina sudah beberapa kali meminta Ayumi pergi, hanya Ayumi belum mampu. Ia terlalu menyayangi suaminya. Kaito bukan suami kejam tidak berperasaan. Ia memperlakukkan Ayumi dengan baik, lembut dan perhatian. Yang menjadi masalah adalah ibunya.
“Aku tidak bisa meninggalkan Kaito, Bibi,” bisik Ayumi, sambil menghapus air matanya.
“Dia tidak membelamu lagi hari ini bukan? Kau masih ingin mempertahankannya?!" Karina mendesis jengkel.
Ayumi sedikit tersentak, karena itu benar. Ayumi teringat sakit hatinya yang lain. Kaitto tidak pernah membelanya. Kaitto biasanya menghindar saat ibunya mulai mengamuk, dan meminta Ayumi mengalah, tidak melawan ibunya.
"Sudahlah. Kau disini dulu intinya. Pamanmu belum pulang, dia memang biasa pulang larut. Kita bicarakan lagi nanti." Karina bangkit sambil menepuk pelan bahu Ayumi sebelum keluar dari ruang tamu itu.
Ayumi menggangguk lalu mengamati sekitar agar tidak ingin menangis lagi. Rumah itu menjadi tempat tinggal Ayumi selama sepuluh tahun. Dari umur delapan, sampai delapan belas, sampai ia menikah dengan Kaitto. Sekarang meski pamannya sudah menikah dengan Karina selama dua tahun, tatanannya nyaris tidak berubah.
Ayumi masih melihat aneka lukisan Jepang kuno, topeng oni berwarna merah, juga katana yang menggantung. Pamannya memang berselera klasik. Ia pria Jepang tulen yang sangat menjaga budaya nenek moyangnya.
“Ini. Aku harap akan membuatmu lebih tenang.” Karina kembali, sambil meletakkan segelas susu hangat di hadapan.
Ayumi mengangguk, dan meminumnya. Susu itu hangat, membuatnya nyaman. Sebentar saja kantuk datang. Ayumi sampai heran. Ia tidak tahu tubuhnya selelah itu sampai sedikit nyaman dari susu bisa membuatnya mengantuk.
"Kau lelah? Istirahat di dalam. Ayo."
Ayumi tidak terlalu ingat bagaimana, tapi matanya sudah hampir memejam saat Karina menuntunnya ke kamar, dan membantunya berganti baju tidur. Ia menurut saja, dan mengikuti saat Karina menggelar futon (kasur lipat).
“Selamat tidur." Ayumi masih mendengar Karina mengucapkannya, dan setelah itu gelap. Ayumi tidak ingat lagi.
***
Hideki nyaris bersin saat hidungnya mencium aroma wangi yang tidak biasa begitu membuka kamarnya. Tidak buruk, hanya menyengat dan membuat kepalanya sangat ringan, tapi Hideki juga tidak berpikir panjang. Ia minum sake tadi, mungkin terlalu banyak walau ia tidak merasa mabuk.
Hideki membuka jas dan kemeja, sambil melirik gundukan tertutup selimut di atas futon. Hanya bayangan gelap karena kamarnya memang remang-remang.
Hideki tidak akan mengusik, dan meneruskan membuka celana, menyisakan boxer. Tapi dengan aneh kepalanya semakin terasa berkabut. Aroma manis dan wangi itu, sepertinya bukan aroma biasa. Hideki ingin mencari dari mana asalnya, tapi saat melangkah tubuhnya sedikit oleng.
"Nanti." Hideki menyerah dan menggelar futon yang lain, berbaring di samping tubuh yang tertutup selimut itu. Hideki lalu mencoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba ada tubuh bergerak merapat.
“Minggir, ada apa denganmu?!" Hideki mendesis kesal. Ia tidak ingin Karina mendekatinya. Tidak ada jawaban tapi terdengar desahan, lalu ada tangan terulur memeluk tubuhnya.
"Sejak kapan kau merasa boleh menyentuhku?!” Hideki semakin kesal dan menurunkan tangan yang ada di pinggangnya itu. Tapi tangan itu keras kepala, malah menarik tubuhnya semakin dekat. Hideki biasanya tidak akan terpengaruh kalau tidak sangat mabuk, tapi hembusan dan desahan itu menggoda---belum lagi tubuhnya juga mulai terasa panas.
Hideki meraih tangan di pinggangnya, lalu mendorongnya sampai telentang, dan ia bergerak naik menindih tubuh hangat yang terus mendesis itu. Hideki mengelus pipi yang embalik wanita yang memeluknya, dan bergerak naik ke atas tubuhnya. Hideki mengelus wajah wanita yang ada di bawahnya,
"Kau gatal rupanya. Kau menginginkannya?" gumam Hideki. Berpikir jika wanita itu adalah Karina---istrinya.
Desahan berat terdengar saat Hideki mengelus leher dan juga meraba tubuh di bawahnya, tapi dalam sekali raba, Hideki tahu kalau tubuh itu berbeda. Ukurannya berbeda, lebih sintal dari Karina, tangannya juga tidak bisa menangkup dada yang biasanya pas di tangannya.
Melawan pusing dan nafsu, Hideki bangkit menghidupkan lampu. Mata Hideki yang berwarna gelap melebar saat melihat tubuh yang terbaring dan pasrah—dengan baju berantakan, dan bukan istrinya.
“Ayumi?” Hideki membelalak tidak percaya. "Kenapa kau di sini?!" Hideki nyaris kembali terjatuh akibat kejutan itu. Sejak tadi yang disentuhnya adalah Ayumi.
Dan semakin buruk. Ayumi mulai menggeliat dan mencoba membuka gaun tidur tipis yang sejak awal sudah mengundang itu.
Hideki menahan tangan Ayumi, Masih tersisa akal sehat, dan mengingatkan untuk mencegah Ayumi membuka pakaiannyay."Ayumi, hentikan! Kau mau apa?"Niat baik yang tidak sejalan dengan keinginan Ayumi, karena ia justru mendorong tangan Hideki menjauh, dan benar-benar menurunkan seluruh gaun tidur tipis itu, beserta yang lain. Tidak ada lagi sisa kain menempel di tubuh Ayumi, dan Hide hanya bisa memandang sekarang. Mulai membatin apakah semua itu mimpi---terlalu mustahil.“Panas---” Desahan Ayumi terdengar lembut, sementara ia membaringkan diri. Mata Ayumi terpejam, seperti tidur, tapi tangannya terus mengelus tubuhnya sendiri, seakan mengusir gerah yang melanda seluruh tubuhnya.Ada mata yang tidak berkedip sejak tadi, menatap gerak-gerik Ayumi sambil menelan ludah beberapa kali. Tidak mungkin ada pria yang bisa mempertahankan akal sehat setelah melihatnya. Hideki yang tadi berniat benar, sudah melupakan niat itu. Ia berusaha mengingat kalau gadis yang amat menggoda itu adalah Ayumi, tapi
"Aku tidak tahu, Bibi. Sungguh, ini kesalahan. Aku tidak mengerti." Ayumi merintih dan memohon ampun. Ia tidak punya ingatan tapi tahu benar kalau apa yang dilakukannya menjijikkan. "Aku kasihan padamu! Aku mencoba mengerti bebanmu! Sebagai satu-satunya keluarga dari ibumu, aku mencoba membantu! Aku datang kesini berharap kita bisa dekat lagi meski berpisah lama, tapi kau malah menusukku dari belakang! Kau menjijikkan!" Karina terus menghujamkan hinaan, dan semua benar. Ayumi tahu semua itu pantas untuknya. Ayumi meninggalkan tanah kelahikan ibunya---di Indonesia---saat kecil karena harus mengobati penyakitnya di Jepang. Ia baru bertemu Karina lagi setelah dewasa, saat Karina menikah dengan Hideki. Ia satu-satunya keluarga Ayumi selain Hideki, tapi kini perbuatannya yang menjijikkan menghancurkan hubungan itu. “Air mata buaya! Kau tidak pantas menangis! Aku yang pantas!" Karina mendorong bahu Ayumi dan membuatnya terhunyung. Untung ia masih bisa bersandar agar tidak terjatuh. Mende
Tapi tangan Hideki lebih cepat, ia menyambar lengan Karina dan menariknya masuk lagi, sambil mendorong pintu shoji itu sampai menutup."Jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu!" desis Hideki. Ia tidak peduli pada pernikahan Ayumi, tapi tidak ingin Karina melakukan hal yang membuat Ayumi menangis berhari-hari."Oji-san!" Ayumi berseru panik, karena Karina kini menjerit kesakitan. Hideki bukan hanya menarik, tapi meremas lengan Karina sekuat tenaga."Jangan menyakiti, Bibi!" Ayumi menarik tangan Hideki, berusaha membebaskan Karina. Perlahan tangan Hideki merenggang, bukan karena tarikan Ayumi, tapi tangisannya."Oji-san, aku tidak mau berpisah dari Kaitto. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku mohon, terima permintaan Bibi."Ayumi setelah itu memohon.Hatinya beberapa detik lalu masih berdilema, tapi mimpi buruk berpisah dari Kaitto lebih menakutkan untuknya. Ayumi tahu permintaannya itu mungkin lebih dari sekadar kurang ajar---meminta pamannnya melepaskan istrinya adalah gila.Baya
Ayu segera merapat ke sudut kamar mandi dan meremas ponselnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Tubuh Ayu menegang, sementara matanya terus menatap Hide yang terlihat sangat marah.Dengan suara bergetar, Ayu berbisik, "Ojisan ..."“Oji-san!” Ayu menjerit, saat tangan Hide dengan kasar merebut ponselnya.Tanpa berkedip, Hide melemparkan ponsel itu ke tembok kamar mandi, ambyar menjadi kepingan.“Kenapa kau melakukannya?” Ayu meratap sambil jatuh terduduk, mengambil puing-puing ponsel yang tidak mungkin bisa dipakai lagi. Ponsel itu bahkan tidak lagi menyala, dan layarnya retak.“Aku sudah mengatakan padamu untuk tinggal disini! Kau tidak pantas kembali pada keluarga itu!” Hide mendesis, lalu memaksa tubuh Ayu berdiri, tapi Ayu menepis tangannya.“Tidak. Aku ingin kembali. Aku harus bersama dengan Kaito!”Hide menarik wajah Ayu mendekat, mencengkeram pipinya dengan tangan. “Apa yang kau sukai dari pria itu? Pria itu lemah! Dan dia sama sekali tidak membuatmu bahagia!”“Aku bahagia bers
Ayu mengusap air matanya, mengambil dua buah koper yang ada di dekat kaki, memakai keduanya sebagai penahan agar bisa berdiri. Ayu merasa tidak punya tenaga lagi. Dengan mata kosong, Ayu berjalan meninggalkan gerbang. Ayu tidak tahu harus melakukan apa, atau harus bagaimana. Dan Ayu tidak tahu bagaimana Kaede mengetahui apa yang terjadi. Karin seharusnya tidak bicara lagi, karena sudah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan keinginannya untuk pergi dari Hide pun dipenuhi. Tapi sekarang sudah tidak penting siapa yang memberitahu Kaede, apa yang ditakutkan Ayu menjadi nyata. Ayu menghela nafas panjang, berusaha menahan tangis dan berjalan tertatih. Secara fisik, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya memar dan berdarah. Ia bahkan tidak mampu berdiri tegak. Ayu berjalan tanpa memandang kemanapun, tapi menghentikan langkah saat menyadari ada mobil familiar berhenti di sampingnya. Hide tidak pergi. Semenjak tadi, Hide masih ada di depan rumah Kaito. Dan tentu melihat bagaimanakah Kaede meng
Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur.Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya.Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat“Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage.Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit.Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu men
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran.Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana da
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m