Hideki menahan tangan Ayumi, Masih tersisa akal sehat, dan mengingatkan untuk mencegah Ayumi membuka pakaiannyay.
"Ayumi, hentikan! Kau mau apa?"
Niat baik yang tidak sejalan dengan keinginan Ayumi, karena ia justru mendorong tangan Hideki menjauh, dan benar-benar menurunkan seluruh gaun tidur tipis itu, beserta yang lain. Tidak ada lagi sisa kain menempel di tubuh Ayumi, dan Hide hanya bisa memandang sekarang. Mulai membatin apakah semua itu mimpi---terlalu mustahil.
“Panas---” Desahan Ayumi terdengar lembut, sementara ia membaringkan diri. Mata Ayumi terpejam, seperti tidur, tapi tangannya terus mengelus tubuhnya sendiri, seakan mengusir gerah yang melanda seluruh tubuhnya.
Ada mata yang tidak berkedip sejak tadi, menatap gerak-gerik Ayumi sambil menelan ludah beberapa kali. Tidak mungkin ada pria yang bisa mempertahankan akal sehat setelah melihatnya. Hideki yang tadi berniat benar, sudah melupakan niat itu. Ia berusaha mengingat kalau gadis yang amat menggoda itu adalah Ayumi, tapi di sisi lain, nafsu dan kepalanya yang sejak tadi tidak lagi jernih mulai menyingkirkan sisa akal sehatnya.
"Kemari... bergeraklah."
Seakan menggeliat saja belum cukup, Ayumi malah bergeser mendekat, meraih tangan Hideki, membawanya untuk menyentuh tubuh yang semakin hangat itu.
"Kenapa diam?" Ayumi memprotes dengan mata sayu dan suara serak.
“JANGAN!” Teguran itu bukan untuk Ayumi saja, tapi juga dirinya sendiri. Hideki ingin mencegah terjadinya bencana kalau sampai dirinya menyentuh Ayumi.
Tapi keinginan itu hanya datang dari Hideki, Ayumi menginginkan sebaliknya. Ia menginginkan pelampiasan atas rasa panas dalam tubuhnya, ia ingin ada yang menyentuh tubuhnya.
"Kaitto... kemari." Ayumi tidak melihat dengan jelas siapa pria yang sejak tadi menjadi tempatnya memohon, ia memanggil nama suaminya.
"Bukan!" Hideki yang sedang mencoba untuk menenangkan diri, tersulut mendengar nama pria itu disebut Ayumi. Hideki meraih pipi Ayumi, membuatnya mendongak agar bisa melihat wajahnya lebih jelas.
“Lihat dengan benar! Aku bukan Kaitto!"
Hide membentak keras, tapi Ayumi menanggapi dengan senyum, ia justru gembira karena pria yang diinginkannya dekat sekali dengan bibirnya. Ayu merangkulkan tangannya ke leher Hideki, dan berusaha mencium.
Itu titik dimana Hideki tidak bisa kembali. Hasrat yang ditekan pun tidak mungkin bisa tertahan lagi, saat bibir Ayumi menyapu dengan polos. Aroma Ayumi seakan melambai menggoda, menghanguskan segala bayangan resiko yang masih tersisa dalam kepala Hideki.
Tidak ada lagi yang menghalanginya. Hideki melumat bibir Ayu yang membuka, melampiaskan nafsu sekaligus sisa amarah akibat mendengar nama Kaitto tersebut tadi. Nafsu dan amarah tumpang tindih yang akhirnya membuat Hideki tidak lagi bisa lembut. Ia terus melumat bibir Ayumi dengan kasar.
Tapi Ayumi juga membalasnya. Tidak peduli siapa, Ayumi menerima dengan senang hati saat tubuhnya terdorong, dan pria hangat itu menindihnya. Ayumi menggeliat, menginginkan lebih.
"Kau lihat dengan benar aku siapa!" desis Hideki, sekali lagi memalingkan wajah Ayumi, agar melihatnya dengan benar.
“Siapa aku?!” Hideki bertanya dengan suara serak, sementara tangannya sibuk membuka sisa pakaian yang ada di tubuhnya sendiri.
“Siapa aku?!” Hideki mengulang, sambil menghujani lehernya dengan ciuman. Menuntaskan keinginan Ayumi yang terus memintanya bergerak.
“Oji... Hideki? Oji--san..." Ayumi membuka matanya dengan benar untuk pertama kali, akhirnya mengenali pria yang ada di atas tubuhnya itu. Tapi tidak mengubah apapun.
Ayumi sudah terseret terlalu jauh, lebih menikmati bagaimana tubuhnya disentuh oleh kehangatan tangan pria. Puas karena hasratnya mendapat pelampiasan. Ayumi tidak terlalu peduli siapa, ia hanya ingin ada yang mengisi tubuhnya.
Ayumi tanpa ragu memekik dan merintih saat nikmat itu datang, menggeliat saat tubuhnya terus dipacu. Kepuasan, Ayumi hanya mengingiankan itu, dan Hideki yang memberikannya.
Hideki tidak lagi berpihak pada akal sehat, ia juga menikmati hangat tubuh Ayumi yang seolah tidak bisa dipuaskan. Terus melenguh dan meminta, sebelum akhirnya terhempas dan diam. Hideki memeluk tubuh hangat Ayumi, lalu menutupi tubuh mereka dengan selimut, terlelap. Tidak memikirkan akibat. Ia hanya ingin memeluk tubuh itu.
***
“KALIAN MENJIJIKKAN! AYUMI? KAU GILA!”
Ayumi memaksakan diri membuka mata. Ia kebingungan. Teriakan dari bibinya itu terdengar seperti lolongan mimpi buruk. Ayumi memandang Karina yang ada di pintu.
"Bibi? Ada apa?" Ayumi bertanya, sementara perlahan tangan Karina terangkat dan menunjuk. Ayumi merasa Karina menunjuk dirinya, tapi kemudian sadar kalau ia menunjuk ke arah samping tubuhnya.
Ayumi berpaling dan memekik, karena ada tubuh pria yang berbaring di sampingnya, membelakangi.
"Kau datang untuk padaku dengan luka, tapi ini balasannya?!" Karina memekik lagi, semakin menambah kepanikan Ayumi.
Ia mencoba bangun, tapi kembali memekik saat menyadari kalau tubuhnya telanjang. Ia tidak memakai apapun di balik selimut itu.
"Kau murahan! Kau menjijikkan!" Karina terus menuding.
"Bibi! Tenang dulu!" Ayumi merasa kepalanya berdening. Ini tidak seharusnya terjadi. Ayumi hanya ingat ia tertidur setelah minum susu, tidak ingat membawa pria bersamanya.
"Aku tidak tahu kau bisa serendah ini! Kemana moralmu? Kau bukan hanya berkhianat pada Kaito, tapi juga menyakitiku! Apa sebenarnya maumu?!" Karina mulai terisak, sementara Ayumi kembali memandang pria yang ada disampingnya.
Ayumi tadi sedikit berharap pria itu Kaitto, meski tidak mungkin---karena punggung Kaitto tidak sangat berotot seperti itu, tapi harapan itu sudah dipastikan salah oleh Karina.
"AGH!!" Ayumi menjerit nyaring, saat akhirnya bisa mengenali siapa pemilik punggung dan rambut yang berantakan itu.
"TIDAK MUNGKIN!" Ayumi menjerit lagi. Menolak kenyataan menjijikkan yang baru disadarinya. Tidak mungkin ia tidur dengan pamannya sendiri!
"Hideki..Oji--san..." Ayumi terbata, saat melihat tubuh itu bergerak. Terbangun mendengar suara jeritan Ayumi. Tidak salah lagi, pria itu pamannya. Karena itu bibinya histeris dan terus mencacinya.
“Tidak… Mungkin…” Ayumi menggeleng terbata. Tidak mungkin ia baru saja melakukan hal yang tidak terbayang dengan pamannya.
“Kau ternyata memang wanita tidak tahu terima kasih!” Karina masih sangat marah
"Ibu mertuamu benar! Kau wanita tidak tahu diri! Lihat apa yang kau lakukan. Jalang tidak tahu terima kasih!"
Luka baru tertoreh. Ayumi kemarin mendapat kenyamanan dan penghiburan dari Karina, tapi kini tidak mungkin lagi. Air mata Ayumi mengalir turun, lalu bergeser mendekati bibinya.
"Aku tidak tahu... Ini bukan aku. Tidak mungkin..." Ayumi mencoba membela diri, tapi Karina menarik selimut yang menutupi tubuhnya.
"Tidak mungkin apa! Itu tanda kau memang murahan!" Karina menunjuk bercak kemerahan pada leher Ayumi. Bekas cumbuan Hideki pastinya.
Ayumi menatap lengan atasnya. Disana ada uga. Kalaupun tadi ingin membantah tidak terjadi apapun, maka tidak bisa lagi. Tubuhnya kemarin putih bersih tanpa noda.
“Tapi aku... tidak mungkin, Bibi. Bagaimana bisa?” Air mata Ayumi membanjir semakin deras, saat otaknya tidak bisa lagi mengingkari kenyataan.
"Kau bertanya padaku? Aku yang seharusnya bertanya! Bagaimana bisa kau melalukan hal menjijikan seperti ini dengan pamanmu sendiri!" Karina menuding lagi.
"DIAM!" Suara serak dan berat membuat mereka berdua menoleh bersamaan. Hideki akhirnya benar-benar terbangun dan duduk. Butuh lama karena kepalanya terasa berat dan sakit---sama seperti Ayumi tadi.
“Kau juga kurang ajar! Tega sekail padaku!” Karina mengalihkan tunjukan tangannya untuk Hideki, tapi Hideki tidak peduli. Ia mendecak, dan mengibaskan tangan, mengusir.
"Pergi! Keluar!" desisnya, sambil menatap tanpa perasaan.
Karina yang tadi masih menahan air mata, langsung terisak lalu berlari keluar sambil menjerit. Hideki sekali lagi tidak peduli, malah berpaling pada Ayumi, yang langsung saja menyambar selimut dan bersembunyi. Isak tangis Ayumi teredam oleh selimut.
"Ayumi..." Hideki bergeser mendekat, mencoba untuk menyentuh pundaknya, tapi Ayumi memekik saat merasakan sentuhan dari balik selimut.
“Jangan menyentuhku!” Ayumi tidak ingin Hideki menyentuhnya lagi. Terbayang bercak merah di tubuhnya. Ia tidak mau pamannya itu menyentuhnya lagi.
Hideki mendecak, lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar dengan tubuh polos. Kepalanya terlalu sakit, Hideki akan mengguyurnya dengan air, berharap bisa berpikir lebih jernih.
Ayumi mendengar langkah kakinya. Begitu mendengar suara pintu tertutup, dengan secepat kilat Ayumi mengambil baju yang kemarin dipakai, memakainya dengan tergesa, kemudian berlari keluar. Ayumi hanya ingin pulang, tapi Karina menghadang di ruang depan.
“Kau mau kemana? Pergi begitu saja setelah puas menghancurkan hati orang lain?!" bentak Karina.
"Aku tidak tahu, Bibi. Sungguh, ini kesalahan. Aku tidak mengerti." Ayumi merintih dan memohon ampun. Ia tidak punya ingatan tapi tahu benar kalau apa yang dilakukannya menjijikkan. "Aku kasihan padamu! Aku mencoba mengerti bebanmu! Sebagai satu-satunya keluarga dari ibumu, aku mencoba membantu! Aku datang kesini berharap kita bisa dekat lagi meski berpisah lama, tapi kau malah menusukku dari belakang! Kau menjijikkan!" Karina terus menghujamkan hinaan, dan semua benar. Ayumi tahu semua itu pantas untuknya. Ayumi meninggalkan tanah kelahikan ibunya---di Indonesia---saat kecil karena harus mengobati penyakitnya di Jepang. Ia baru bertemu Karina lagi setelah dewasa, saat Karina menikah dengan Hideki. Ia satu-satunya keluarga Ayumi selain Hideki, tapi kini perbuatannya yang menjijikkan menghancurkan hubungan itu. “Air mata buaya! Kau tidak pantas menangis! Aku yang pantas!" Karina mendorong bahu Ayumi dan membuatnya terhunyung. Untung ia masih bisa bersandar agar tidak terjatuh. Mende
Tapi tangan Hideki lebih cepat, ia menyambar lengan Karina dan menariknya masuk lagi, sambil mendorong pintu shoji itu sampai menutup."Jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu!" desis Hideki. Ia tidak peduli pada pernikahan Ayumi, tapi tidak ingin Karina melakukan hal yang membuat Ayumi menangis berhari-hari."Oji-san!" Ayumi berseru panik, karena Karina kini menjerit kesakitan. Hideki bukan hanya menarik, tapi meremas lengan Karina sekuat tenaga."Jangan menyakiti, Bibi!" Ayumi menarik tangan Hideki, berusaha membebaskan Karina. Perlahan tangan Hideki merenggang, bukan karena tarikan Ayumi, tapi tangisannya."Oji-san, aku tidak mau berpisah dari Kaitto. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku mohon, terima permintaan Bibi."Ayumi setelah itu memohon.Hatinya beberapa detik lalu masih berdilema, tapi mimpi buruk berpisah dari Kaitto lebih menakutkan untuknya. Ayumi tahu permintaannya itu mungkin lebih dari sekadar kurang ajar---meminta pamannnya melepaskan istrinya adalah gila.Baya
Ayu segera merapat ke sudut kamar mandi dan meremas ponselnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Tubuh Ayu menegang, sementara matanya terus menatap Hide yang terlihat sangat marah.Dengan suara bergetar, Ayu berbisik, "Ojisan ..."“Oji-san!” Ayu menjerit, saat tangan Hide dengan kasar merebut ponselnya.Tanpa berkedip, Hide melemparkan ponsel itu ke tembok kamar mandi, ambyar menjadi kepingan.“Kenapa kau melakukannya?” Ayu meratap sambil jatuh terduduk, mengambil puing-puing ponsel yang tidak mungkin bisa dipakai lagi. Ponsel itu bahkan tidak lagi menyala, dan layarnya retak.“Aku sudah mengatakan padamu untuk tinggal disini! Kau tidak pantas kembali pada keluarga itu!” Hide mendesis, lalu memaksa tubuh Ayu berdiri, tapi Ayu menepis tangannya.“Tidak. Aku ingin kembali. Aku harus bersama dengan Kaito!”Hide menarik wajah Ayu mendekat, mencengkeram pipinya dengan tangan. “Apa yang kau sukai dari pria itu? Pria itu lemah! Dan dia sama sekali tidak membuatmu bahagia!”“Aku bahagia bers
Ayu mengusap air matanya, mengambil dua buah koper yang ada di dekat kaki, memakai keduanya sebagai penahan agar bisa berdiri. Ayu merasa tidak punya tenaga lagi. Dengan mata kosong, Ayu berjalan meninggalkan gerbang. Ayu tidak tahu harus melakukan apa, atau harus bagaimana. Dan Ayu tidak tahu bagaimana Kaede mengetahui apa yang terjadi. Karin seharusnya tidak bicara lagi, karena sudah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan keinginannya untuk pergi dari Hide pun dipenuhi. Tapi sekarang sudah tidak penting siapa yang memberitahu Kaede, apa yang ditakutkan Ayu menjadi nyata. Ayu menghela nafas panjang, berusaha menahan tangis dan berjalan tertatih. Secara fisik, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya memar dan berdarah. Ia bahkan tidak mampu berdiri tegak. Ayu berjalan tanpa memandang kemanapun, tapi menghentikan langkah saat menyadari ada mobil familiar berhenti di sampingnya. Hide tidak pergi. Semenjak tadi, Hide masih ada di depan rumah Kaito. Dan tentu melihat bagaimanakah Kaede meng
Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur.Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya.Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat“Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage.Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit.Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu men
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran.Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana da
“AAGHH!” Ayu menjerit, menutupi wajahnya dengan tangan, dan menggelengkan kepala, tidak ingin menerima ciuman itu, tapi Hide menangkap kedua tangan Ayu dan menurunkannya dari wajah.“Apa lagi yang kau inginkan dari keluarga itu? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di sini, dan lupakan mereka! Apa aku tidak cukup?” Suara Hide lebih lirih, tapi Ayu sudah telanjur ketakutan dan tubuhnya semakin gemetar.Dengan kenekatan yang terakhir, Ayu mengibaskan kedua tangan Hide, dan berhasil melepaskan diri. Cengkeraman itu tidak terlalu kuat karena Hide mabuk. Dan dengan mudah Ayu mendorong tubuh Hide ke samping.Tanpa menoleh lagi, Ayu berlari sekencang mungkin menuju ke kamarnya dan menutup pintu.Diiringi napas tersengal, Ayu kembali luruh. Terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Untuk menenangkan gemetar, sekaligus menahan isakan yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. “Kenapa…” Isakan itu akhirnya tetap datang seiring air mata.
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m