“Kau benar-benar ingin melakukan pembantaian di tempat terbuka?” Masaki berseru dan Hide akhirnya menurunkan katana di tangannya.
Sedikit kecewa tidak ada darah yang tertumpah. Dia boleh membunuh, tapi tidak di depan banyak saksi. Peraturan yang sementara ini dianggap menyebalkan oleh Hide.
Hide menunduk saat Masaki didorong mendekatinya, tapi ia sempat melirik wajah baru di belakang Ayahnya. Asing, dan mungkin umurnya tidak jauh berbeda dari Masaki. Tapi memang lebih tegap, dan masih terlihat sehat.
Hide sedikit heran. Jika ayahnya ingin mengganti Matsuda, seharusnya dia mengambil pegawai yang lebih muda, bukan malah yang sudah berumur seperti itu. Hide tidak yakin pria itu mampu mengangkat ayahnya, apabila terjadi sesuatu.
Tapi sekarang bukan saatnya untuk mempertanyakan keputusan Masaki itu. Pembuluh darah di se
“Kalau begitu menurutlah. Aku telah membiarkanmu selama ini.”Masaki memandang Hide yang bersujud di hadapannya sambil menggelengkan kepala. Ia mengawasi tumbuh kembang Hide, tentu saja tahu Hide hampir tidak pernah memohon pada siapapun.Hide yang bersujud akan selalu membuatnya terkejut. Dan ini kedua kali Masaki melihat Hide bersujud. Untuk hal yang sama—bocah lemah itu.“Saya akan menurut, dan menjalankan perintah—apapun yang Anda inginkan. Tapi tidak dengan Ayumi.” Hide menempelkan keningnya di tanah.Masakin mendesah sambil menggelengkan kepala. Tidak mengerti kenapa Hide begitu keras kepala.“Bangunlah,” kata Masaki. Hide mengangkat tubuhnya, tapi tetap berlutut.“Kau membuatku terlihat seperti orang jahat, padahal aku melakukan ini semua hanya untuk melindungimu, bukan ingin berbuat kejam padamu,” kata Masaki. Menopang kepalanya sambil memandang Hide yang kini menatap rumput
Tapi beban Hide perlahan berkurang, saat melihat senyum perlahan mengembang di bibir Hayashi.“Berhasil. Semua berhasil diambil. Dan keadaan Ayumi sangat stabil.” Hayashi mengangkat jempolnya.Hide menarik napas lega, tapi ia tahu kelegaannya terlalu dini.“Bagaimana…”“Aku sudah meminta agar biopsi dilakukan secepat mungkin, tapi tentu masih akan butuh waktu paling tidak sehari. Kau bersabar dulu. Temani Ayumi saat sadar nanti. Eh, wajahmu kenapa?” Hayashi heran melihat wajah Hide yang lebam dan terluka.“Ada sesuatu, tapi sudah berlalu.” Hide menjelaskan samar. Mungkin setelah ini ia akan mendapat cerita tentang keributan tadi, tapi Hide tidak terlalu khawatir. Kuryugumi biasanya punya tim untuk membereskan keributan di depan publik.Hayashi memandang wajah Hide sambil mengernyit, lalu menepuk bahunya. “Rawat luka itu. Tapi maaf, aku harus pergi dulu. Tenagaku tidak seperti muda
Pikiran Hide memang langsung tertuju padanya. Hanya Karin yang bisa punya rencana selicik itu, dan ingin menyakiti Ayu.Lagipula, siapa lagi yang punya pengetahuan tentang hubungan antara Ayu dan dirinya selain Karin? Hide ragu ayahnya akan memakai cara pengecut semacam itu. Ayahnya sudah menunjukkan caranya kemarin. Serangan dari arah depan, mengambil paksa kalau perlu.“Kita sepertinya salah. Karin bukan mengejar harta Nakamura. Dia melakukan ini untuk menyakiti Ayu. Semua hal yang dilakukannya sejak awal adalah untuk menyakiti Ayu,” kata Hide. Meralat kesimpulannya sendiri yang mengira Karin matrealistis saat menjebaknya dengan Ayu.“Kenapa begitu? Untuk apa dia membenci keponakannya sendiri?” Ryu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah heran.Jawaban yang tidak perlu dijawab oleh Hide. Selain karena tidak tahu, Hide tidak peduli. Yang jelas Karin telah menyakiti Ayu.Kemarin Hide masih maafkan apapun yang dilak
Mata Ayu mengikuti sorotan senter yang diarahkan oleh Hayashi, ke kiri dan ke kanan dengan mudah. Tidak ada masalah sama sekali.“Apa yang kau rasakan?” tanya Hayashi, sambil tersenyum ramah. Ayu menatapnya. Dokter yang ramah dan terlihat baik hati.“Pusing.” Ayu merasa kepalanya nyeri saat mencoba duduk bersandar tadi, tapi sekarang sudah jauh berkurang. Itu saja keluhannya secara fisik. Untuk pikiran—Ayu tidak bisa menjelaskan.“Tentu saja kau akan pusing. Kau punya luka di kepala.”Ayu menyukai keramahan dokter itu saat ia menerangkan dengan lembut. Ayu lalu meraba perban di kepalanya dengan wajah bingung.“Apa yang terjadi padaku? Apa aku jatuh?” tanya Ayu, berharap penjelasan saat itu juga.Tapi rupanya dokter it
“Apa ini akan permanen?” Hide langsung bertanya hal yang ingin diketahuinya, begitu Hayashi dan dirinya, sampai di luar kamar.Hayashi mengusap rambutnya yang putih dan kerutan di keningnya bertambah.“Jawabannya, aku tidak tahu.” Hayashi menyebut jawaban jujurnya sambil menghela napas panjang.Kalau tidak ingat Hayashi sudah berjasa sangat besar untuk membuat Ayu sembuh, Hide mungkin akan membentaknya dengan kata tidak berguna.Adalah tugasnya untuk membuat diagnosa atas keadaan Ayu, bukan menjadi tidak tahu. Adalah bagian Hide untuk tidak menjadi tidak tahu.“Mungkin jawaban ini tidak akan memuaskanmu.” Hayashi rupanya melihat bagaimana Hide menahan emosinya.“Tapi aku benar-benar tidak bisa memberi jawaban pasti. Dokter syaraf yang dulu bekerja sama denganku me
Ayu menatap Hide yang berjalan masuk, dan kembali harus meletakkan tangan di dadanya. Ayu merasa tidak normal karena jantungnya merespon dengan sangat bersemangat. Atau mungkin sosok pria itu tidak normal. Ayu tidak bisa membayangkan proses bagaimana dia menikah dengan pria yang begitu… tampan.Ayu mengakuinya. Ryu yang tadi bersamanya tampan, manis dengan wajah bersih. Wajah Hide jelas berkebalikan dari itu.Hide tampan, tapi tidak manis dan terlihat kasar oleh cambang yang mungkin berumur beberapa hari. Tapi sisi liar itu jelas membuatnya gila. Ayu merasakan perutnya mendadak hangat saat mata gelap itu memandangnya.Ayu ingin berpaling—tidak sanggup menahan pesona berlebihan itu, tapi memutuskan untuk tetap memandang. Akan sedikit aneh jika dirinya berpaling tiba-tiba. Dan seharusnya mereka suami istri. Ayu ingin cepat mem
“Kau kenapa?” Ayu semakin bertambah heran, saat melihat Hide menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan.“Maaf, sebentar.” Hide perlu menenangkan diri. Ketakutan yang dirasakannya tadi nyata. Ia sudah bersiap menghadapi Ayu yang mengeluh kesakitan, dan jelas sudah mengkhawatirkan luka bekas operasinya.Tapi Ayu ternyata benar-benar kosong. Harapannya ada yang terkabul. Sedikit warna cerah terlihat di antara semua hitam yang menyelimutinya.“Apa kau baik-baik saja?” Ayu kembali bertanya sambil menyentuh tangan Hide, yang perlahan mengendurkan cengkraman.“Ya, aku baik-baik saja. Semua baik-baik saja.” Senyuman Hide yang datang, kembali membuat jantung Ayu meronta. Ayu dengan reflek menutup bibir Hide.“Jangan tersenyum seperti itu,” keluh Ayu. Hide bertanya
“Apa dia sudah datang?” tanya Ryu, saat melihat Inoue yang berdiri menyambutnya. “Sudah. Sangat tepat waktu. Tidak lebih satu menit pun,” jawab Inoue, sekaligus menyindir. Ryu hanya bisa tersenyum masam, karena memang ia bersalah. Ryu terlambat. Ia harus mengurus sesuatu dulu di Shingi Fusaya dan baru bisa meninggalkan kantornya setelah setengah jam lewat dari perjanjiannya dengan Kyoko. Keterlambatannya fatal. Tak punya waktu untuk berbasa-basi dengan Inoue, Ryu bergegas membuka pintu kantor Hide. Ryu memang meminta Inoue untuk mengatur pertemuan di kantor Hide, yang jelas akan kosong sampai beberapa minggu ke depan. Kyoko yang menunggu di dalam, bergegas berdiri dan tampak terkejut melihat Ryu. “Anda…” “Ya, aku yang akan men
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m