“Apa dia sudah datang?” tanya Ryu, saat melihat Inoue yang berdiri menyambutnya.
“Sudah. Sangat tepat waktu. Tidak lebih satu menit pun,” jawab Inoue, sekaligus menyindir.
Ryu hanya bisa tersenyum masam, karena memang ia bersalah.
Ryu terlambat. Ia harus mengurus sesuatu dulu di Shingi Fusaya dan baru bisa meninggalkan kantornya setelah setengah jam lewat dari perjanjiannya dengan Kyoko. Keterlambatannya fatal. Tak punya waktu untuk berbasa-basi dengan Inoue, Ryu bergegas membuka pintu kantor Hide.
Ryu memang meminta Inoue untuk mengatur pertemuan di kantor Hide, yang jelas akan kosong sampai beberapa minggu ke depan.
Kyoko yang menunggu di dalam, bergegas berdiri dan tampak terkejut melihat Ryu.
“Anda…”
“Ya, aku yang akan men
Kyoko sedikit tersentak dan memandang Ryu saat dia menyebut ‘menyukai’, tapi kemudian sadar Ryu hanya bermaksud menyebut secara umum, tidak ada dalam artian istimewa. Tidak masuk akal juga jika tiba-tiba Ryu mengucapkan hal seperti itu.“Dan aku setuju dengan itu. Pekerjaan Perdana Menteri yang ini buruk sekali. Jika dia masih punya malu, seharusnya mengundurkan diri saja.” Ryu menyetujui pendapat Kyoko, dan mengangguk puas.“Setelah ini, aku harap kau bisa membantuku memenangkan perdebatan apapun dengan Hide,” kata Ryu.“Hah? Apa?” Kyoko kebingungan.“Lupakan.” Ryu mengibaskan tangan. Terlalu dini untuk membahas itu.“Soal perdana menteri yang tadi—dia buruk, tapi kau tidak bisa menyalahkannya pada Hide saja, karena ada klan lain yang juga terl
“Perban lagi!”Ayu menolak, saat perawat akan meninggalkannya. Ia ingin perawat itu kembali membebat kepalanya seperti kemarin.“Tanaka–san, ini sudah tidak perlu. Luka bekas operasinya sudah membaik.” Perawat itu tersenyum. Balutan seluruh kepala itu tidak lagi diperlukan. Saat ini hanya tertinggal perban kotak yang menutup bagian samping belakang kepalanya.Tapi perawat itu mengerti kenapa Ayu meminta hal aneh itu. Ayu saat ini sedang meraba seluruh kepalanya dengan wajah menahan tangis. Dari rabaan itu, Ayu tahu jika rambut di kepalanya tidaklah rata. Panjang pendek tidak sama, dan Ayu bisa menebak dibawah perban itu, akan botak sama sekali.“Aku pasti tampak buruk,” gumam Ayu dengan lirih.“Maaf. Kami kemarin harus mempersiapkan operasi Anda dengan sedikit tergesa. Jadi tidak sempat menyamakan potongan.” Perawat itu mengelus bagian rambut Ayu yang masih panjang sampai ke bawah bahu.&
“Oh, maafkan aku. Seharusnya aku tidak membahasnya.” Ayu kembali mencoba menoleh. Ingin menghibur Hide. Meski tidak melihat wajahnya, tapi Ayu merasa suara Hide sedikit berubah.“Sudah lama. Mereka meninggal sudah lama. Saat aku enam tahun.”Usia muda yang seharusnya bisa dengan mudah melupakan beberapa kejadian. Sayangnya Hide masih mengingat dengan jelas kejadian itu, dengan sangat detail.“Apa dia tinggal di kota ini? Maksudku ayah angkatmu?” Ayu tidak akan membahas yang sudah meninggal tentunya.“Tidak. Dia ada di Osaka, dan ia sudah berumur sembilan puluh empat tahun. Tidak bisa lagi bepergian jika tidak sangat terpaksa.”“Oh.. Ya… begitu rupanya.”Hide bisa merasakan tubuh Ayu sedikit lebih rileks setelah itu. Hide menambahkan penjel
“Hati-hati.” Hide dengan sigap menangkap Ayu, yang nyaris saja terjerembab. Hide ada di samping Ayu memang untuk tujuan itu.Kemarin Ayu mulai belajar untuk berjalan, dan mulai terlihat jika gerakan Ayu tidaklah normal seperti dulu. Keseimbangannya belum stabil. Dokter saraf mengatakan hal itu bisa saja dilatih, tapi memang akan butuh waktu.“Silakan beristirahat dulu jika lelah,” kata perawat yang mendampingi terapi.“Tidak. Aku ingin mencoba lagi.” Ayu menolak tawaran itu dan kembali berjalan.Hide membiarkannya. Ia tahu bagaimana tekad Ayu saat sudah menginginkan sesuatu dan berniat. Yang bisa dilakukannya adalah mendukung. Hide hanya merapatkan jaraknya, agar bisa menangkap Ayu dengan lebih cepat. Setelah mencoba yang keempat kali, akhirnya Ayu bisa menyelesaikan jarak tanpa terpeleset a
“Hai!”Kyoko menghentikan langkah, saat mendengar panggilan itu. Terutama karena ada mobil yang berhenti di sebelahnya. Sebuah mobil convertible—tapi atapnya masih tertutup, berwarna merah menyala dan sudah jelas mewah. Kyoko mengernyit saat melihat Ryu melambai dari dalam.“Aku datang menjemputmu. Kita akan melakukan perjalanan panjang hari ini.” Ryu membuka kacamata hitam yang dipakainya dan tersenyum manis.“Untuk apa? Kita sudah sepakat untuk bertemu di Karuizawa.” Kyoko menggeleng.Ryu akan membawanya menemui Ayu hari ini, sesuai kesepakatan. Ryu akhirnya punya waktu senggang. Sedang Kyoko sendiri waktunya sangat senggang. Ia sudah secara resmi mengundurkan diri dari Shingi Fusaya, tapi belum mendapat tugas dari Hide. Waktunya sangat luang.Tapi seharusnya mereka bertem
“Mereka akan datang sebentar lagi,” kata Hide, sambil meletakkan ponsel dan berdiri. Ryu baru saja memberi kabar mereka sudah dekat.“Oh!” Ayu menyingkirkan nampan makanan yang ada di depannya. Hide menerima, dan memindahkannya ke meja.“Kenapa kau terlihat gugup sekali?” tanya Hide, saat melihat Ayu merapikan rambut yang sekarang sudah sangat pendek. Bahkan lebih pendek dari Hide. Tidak terlihat jauh berbeda meskipun Ayu merapikannya berulang kali.“Aku melupakannya juga, sama seperti dirimu. Kita sudah menikah, jadi kau lebih bisa menerima keanehan itu, tapi bagaimana jika dia tidak bisa. Dia mungkin akan marah padaku. Dia tidak akan menyukaiku lagi.” Ayu tidak ingin gelisah, tapi sekali lagi Ayu tidak mengerti kenapa ia merasa harus berhati-hati saat akan bertemu dengan temannya.
Hide kali ini memaki dalam hati, sesuai dugaan. Sakura datang membawa kabar buruk.“Undangan untuk kapan?” tanya Hide.“Seminggu lagi! Rencana sinting macam apa ini?!” Sakura jelas terdengar panik.“Kau berpura-puralah sakit atau apa, mundurkan jadwal itu. Tidak perlu memilih undangan. Pernikahan itu tidak akan terjadi,” kata Hide.“Kau pikir gampang melakukannya?! Ibuku sudah sangat bersemangat menghubungi puluhan butik yang bersedia membuat gaun pernikahan kilat!” bentak Sakura.“Mundurkan satu atau dua hari. Aku akan membatalkan pernikahan itu!” Hide menyudahi panggilan itu, dengan kasar.Meski Sakura telah bertindak benar dengan menghubunginya, tapi bentakannya, membuat amarah Hide semakin buruk.Hide menunduk, berpikir keras. Pali
Ayu melirik ke arah Hide, karena ia melamun. Mereka sudah selesai sarapan dan masih ada beberapa waktu sebelum sesi terapi hariannya dimulai.Biasanya Hide akan mengajaknya mengobrol, menjawab pertanyaan tentang apa saja yang ingin diketahuinya, tapi hari ini ia diam. Ayu sempat melihatnya mengetik pesan yang cukup panjang, tapi setelah itu meletakkan ponsel, dan tampak berpikir.Hide terus memandang ke arah meja, sambil mengangkat cangkir teh di tangannya. Tapi cangkir itu tidak pernah bergerak, hanya melayang di udara tanpa menyentuh bibirnya.“Mm… Hide… Anata–san..” Ayu memperbaiki panggilannya.Beberapa hari ke belakang, Ayu belum pernah sekalipun memanggil Hide, karena percakapan mereka terjadi secara alami tanpa perlu Ayu memanggil.Tapi selain belum perlu, Ayu merasa salah saat memanggil Hide dengan nama saja, baik itu dengan tambahan –kun, –chan, atau —san, maka Ayu sekarang mencoba