“Perban lagi!”
Ayu menolak, saat perawat akan meninggalkannya. Ia ingin perawat itu kembali membebat kepalanya seperti kemarin.
“Tanaka–san, ini sudah tidak perlu. Luka bekas operasinya sudah membaik.” Perawat itu tersenyum. Balutan seluruh kepala itu tidak lagi diperlukan. Saat ini hanya tertinggal perban kotak yang menutup bagian samping belakang kepalanya.
Tapi perawat itu mengerti kenapa Ayu meminta hal aneh itu. Ayu saat ini sedang meraba seluruh kepalanya dengan wajah menahan tangis. Dari rabaan itu, Ayu tahu jika rambut di kepalanya tidaklah rata. Panjang pendek tidak sama, dan Ayu bisa menebak dibawah perban itu, akan botak sama sekali.
“Aku pasti tampak buruk,” gumam Ayu dengan lirih.
“Maaf. Kami kemarin harus mempersiapkan operasi Anda dengan sedikit tergesa. Jadi tidak sempat menyamakan potongan.” Perawat itu mengelus bagian rambut Ayu yang masih panjang sampai ke bawah bahu.
&
“Oh, maafkan aku. Seharusnya aku tidak membahasnya.” Ayu kembali mencoba menoleh. Ingin menghibur Hide. Meski tidak melihat wajahnya, tapi Ayu merasa suara Hide sedikit berubah.“Sudah lama. Mereka meninggal sudah lama. Saat aku enam tahun.”Usia muda yang seharusnya bisa dengan mudah melupakan beberapa kejadian. Sayangnya Hide masih mengingat dengan jelas kejadian itu, dengan sangat detail.“Apa dia tinggal di kota ini? Maksudku ayah angkatmu?” Ayu tidak akan membahas yang sudah meninggal tentunya.“Tidak. Dia ada di Osaka, dan ia sudah berumur sembilan puluh empat tahun. Tidak bisa lagi bepergian jika tidak sangat terpaksa.”“Oh.. Ya… begitu rupanya.”Hide bisa merasakan tubuh Ayu sedikit lebih rileks setelah itu. Hide menambahkan penjel
“Hati-hati.” Hide dengan sigap menangkap Ayu, yang nyaris saja terjerembab. Hide ada di samping Ayu memang untuk tujuan itu.Kemarin Ayu mulai belajar untuk berjalan, dan mulai terlihat jika gerakan Ayu tidaklah normal seperti dulu. Keseimbangannya belum stabil. Dokter saraf mengatakan hal itu bisa saja dilatih, tapi memang akan butuh waktu.“Silakan beristirahat dulu jika lelah,” kata perawat yang mendampingi terapi.“Tidak. Aku ingin mencoba lagi.” Ayu menolak tawaran itu dan kembali berjalan.Hide membiarkannya. Ia tahu bagaimana tekad Ayu saat sudah menginginkan sesuatu dan berniat. Yang bisa dilakukannya adalah mendukung. Hide hanya merapatkan jaraknya, agar bisa menangkap Ayu dengan lebih cepat. Setelah mencoba yang keempat kali, akhirnya Ayu bisa menyelesaikan jarak tanpa terpeleset a
“Hai!”Kyoko menghentikan langkah, saat mendengar panggilan itu. Terutama karena ada mobil yang berhenti di sebelahnya. Sebuah mobil convertible—tapi atapnya masih tertutup, berwarna merah menyala dan sudah jelas mewah. Kyoko mengernyit saat melihat Ryu melambai dari dalam.“Aku datang menjemputmu. Kita akan melakukan perjalanan panjang hari ini.” Ryu membuka kacamata hitam yang dipakainya dan tersenyum manis.“Untuk apa? Kita sudah sepakat untuk bertemu di Karuizawa.” Kyoko menggeleng.Ryu akan membawanya menemui Ayu hari ini, sesuai kesepakatan. Ryu akhirnya punya waktu senggang. Sedang Kyoko sendiri waktunya sangat senggang. Ia sudah secara resmi mengundurkan diri dari Shingi Fusaya, tapi belum mendapat tugas dari Hide. Waktunya sangat luang.Tapi seharusnya mereka bertem
“Mereka akan datang sebentar lagi,” kata Hide, sambil meletakkan ponsel dan berdiri. Ryu baru saja memberi kabar mereka sudah dekat.“Oh!” Ayu menyingkirkan nampan makanan yang ada di depannya. Hide menerima, dan memindahkannya ke meja.“Kenapa kau terlihat gugup sekali?” tanya Hide, saat melihat Ayu merapikan rambut yang sekarang sudah sangat pendek. Bahkan lebih pendek dari Hide. Tidak terlihat jauh berbeda meskipun Ayu merapikannya berulang kali.“Aku melupakannya juga, sama seperti dirimu. Kita sudah menikah, jadi kau lebih bisa menerima keanehan itu, tapi bagaimana jika dia tidak bisa. Dia mungkin akan marah padaku. Dia tidak akan menyukaiku lagi.” Ayu tidak ingin gelisah, tapi sekali lagi Ayu tidak mengerti kenapa ia merasa harus berhati-hati saat akan bertemu dengan temannya.
Hide kali ini memaki dalam hati, sesuai dugaan. Sakura datang membawa kabar buruk.“Undangan untuk kapan?” tanya Hide.“Seminggu lagi! Rencana sinting macam apa ini?!” Sakura jelas terdengar panik.“Kau berpura-puralah sakit atau apa, mundurkan jadwal itu. Tidak perlu memilih undangan. Pernikahan itu tidak akan terjadi,” kata Hide.“Kau pikir gampang melakukannya?! Ibuku sudah sangat bersemangat menghubungi puluhan butik yang bersedia membuat gaun pernikahan kilat!” bentak Sakura.“Mundurkan satu atau dua hari. Aku akan membatalkan pernikahan itu!” Hide menyudahi panggilan itu, dengan kasar.Meski Sakura telah bertindak benar dengan menghubunginya, tapi bentakannya, membuat amarah Hide semakin buruk.Hide menunduk, berpikir keras. Pali
Ayu melirik ke arah Hide, karena ia melamun. Mereka sudah selesai sarapan dan masih ada beberapa waktu sebelum sesi terapi hariannya dimulai.Biasanya Hide akan mengajaknya mengobrol, menjawab pertanyaan tentang apa saja yang ingin diketahuinya, tapi hari ini ia diam. Ayu sempat melihatnya mengetik pesan yang cukup panjang, tapi setelah itu meletakkan ponsel, dan tampak berpikir.Hide terus memandang ke arah meja, sambil mengangkat cangkir teh di tangannya. Tapi cangkir itu tidak pernah bergerak, hanya melayang di udara tanpa menyentuh bibirnya.“Mm… Hide… Anata–san..” Ayu memperbaiki panggilannya.Beberapa hari ke belakang, Ayu belum pernah sekalipun memanggil Hide, karena percakapan mereka terjadi secara alami tanpa perlu Ayu memanggil.Tapi selain belum perlu, Ayu merasa salah saat memanggil Hide dengan nama saja, baik itu dengan tambahan –kun, –chan, atau —san, maka Ayu sekarang mencoba
“Sudah cukup lumayan, tapi memang harus sering berhati-hati. Saya yakin fungsi reflek berjalannya akan kembali normal.”Dokter saraf yang ada di samping Hide memberi kepastian. Hide memintanya datang dan bicara tentang detail pelatihan yang harus dilakukan Ayu. Hide sudah memastikan ia mengingat semua, tanpa ada yang terlewat,“Terima kasih atas penjelasannya.” Hide mengulurkan tangan, dan dokter itu terlihat sedikit kaget. Hide bukannya pernah membentaknya, tapi tidak juga ramah selama ini. Ucapan terima kasih dan jabat tangan itu cukup mengagetkan.“Tentu. Saya harap Tanaka-san akan cepat sehat.” Dokter itu berbasa-basi pada umumnya, lalu berpamitan keluar dari ruang terapi.Hide juga kembali pada Ayu yang sedang menyelesaikan sesi berjalannya yang terakhir. Saat latihan seperti ini Ayu ha
Hide tentu saja langsung menuju jalan tol. Ia harus sampai di luar kota sebelum ayahnya melakukan hal paling gila—yaitu meminta polisi melakukan pemeriksaan di jalan. Skala besar tapi mungkin dilakukan. Hide harus keluar dari Karuizawa sebelum hal itu terjadi.Selama setengah jam pertama, perjalan itu sunyi.Ayu masih kebingungan, tapi ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mencoba berpegangan erat. Cara menyetir Hide menakutkan.“Sebentar.” Hide menghentikan mobil saat mereka sampai di persimpangan jembatan tol. Hide menepi di jalur darurat, dan turun.Ia menatap ke bawah, ke arah jalan raya yang ada di bawah jembatan tol. Saat menemukan sasaran yang tepat, Hide merogoh ponselnya. Ponsel itu bergetar sejak tadi dan diabaikan tentunya. Hide melihat Ayahnya menghubungi. Berita pelariannya sudah sampai ke Osaka.Hide menatapnya layar yang menyala itu sejenak, sebelum melepaskan ponsel itu ke bawah. Ponsel itu tidak jatuh di