Ayu melirik ke arah Hide, karena ia melamun. Mereka sudah selesai sarapan dan masih ada beberapa waktu sebelum sesi terapi hariannya dimulai.
Biasanya Hide akan mengajaknya mengobrol, menjawab pertanyaan tentang apa saja yang ingin diketahuinya, tapi hari ini ia diam. Ayu sempat melihatnya mengetik pesan yang cukup panjang, tapi setelah itu meletakkan ponsel, dan tampak berpikir.
Hide terus memandang ke arah meja, sambil mengangkat cangkir teh di tangannya. Tapi cangkir itu tidak pernah bergerak, hanya melayang di udara tanpa menyentuh bibirnya.
“Mm… Hide… Anata–san..” Ayu memperbaiki panggilannya.
Beberapa hari ke belakang, Ayu belum pernah sekalipun memanggil Hide, karena percakapan mereka terjadi secara alami tanpa perlu Ayu memanggil.
Tapi selain belum perlu, Ayu merasa salah saat memanggil Hide dengan nama saja, baik itu dengan tambahan –kun, –chan, atau —san, maka Ayu sekarang mencoba
“Sudah cukup lumayan, tapi memang harus sering berhati-hati. Saya yakin fungsi reflek berjalannya akan kembali normal.”Dokter saraf yang ada di samping Hide memberi kepastian. Hide memintanya datang dan bicara tentang detail pelatihan yang harus dilakukan Ayu. Hide sudah memastikan ia mengingat semua, tanpa ada yang terlewat,“Terima kasih atas penjelasannya.” Hide mengulurkan tangan, dan dokter itu terlihat sedikit kaget. Hide bukannya pernah membentaknya, tapi tidak juga ramah selama ini. Ucapan terima kasih dan jabat tangan itu cukup mengagetkan.“Tentu. Saya harap Tanaka-san akan cepat sehat.” Dokter itu berbasa-basi pada umumnya, lalu berpamitan keluar dari ruang terapi.Hide juga kembali pada Ayu yang sedang menyelesaikan sesi berjalannya yang terakhir. Saat latihan seperti ini Ayu ha
Hide tentu saja langsung menuju jalan tol. Ia harus sampai di luar kota sebelum ayahnya melakukan hal paling gila—yaitu meminta polisi melakukan pemeriksaan di jalan. Skala besar tapi mungkin dilakukan. Hide harus keluar dari Karuizawa sebelum hal itu terjadi.Selama setengah jam pertama, perjalan itu sunyi.Ayu masih kebingungan, tapi ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mencoba berpegangan erat. Cara menyetir Hide menakutkan.“Sebentar.” Hide menghentikan mobil saat mereka sampai di persimpangan jembatan tol. Hide menepi di jalur darurat, dan turun.Ia menatap ke bawah, ke arah jalan raya yang ada di bawah jembatan tol. Saat menemukan sasaran yang tepat, Hide merogoh ponselnya. Ponsel itu bergetar sejak tadi dan diabaikan tentunya. Hide melihat Ayahnya menghubungi. Berita pelariannya sudah sampai ke Osaka.Hide menatapnya layar yang menyala itu sejenak, sebelum melepaskan ponsel itu ke bawah. Ponsel itu tidak jatuh di
Hide tersenyum, lalu meraih dagu Ayu. Membuatnya menoleh memandangnya.“Aku bukannya tidak ingin mencium, tapi kau sadar bukan kalau aku laki-laki? Kau pikir apa yang aku inginkan setelah menciummu?” tanya Hide.Jawaban muncul dalam kepala Ayu dengan sangat cepat, dan perlahan ia melepaskan tangan Hide, karena ingin berpaling. Wajahnya terlalu merah,“Jadi sekarang kau mengerti kenapa aku tidak mungkin melakukannya saat kau sedang sakit,” kata Hide, melengkapi.Ayu terus menunduk, dan jawaban itu berhasil membungkamnya dengan mudah. Tawa Hide kembali terdengar, tapi sedikit terpotong oleh pelayan yang membawa makanan pesanan mereka.“Kenapa kita harus lari? Kita lari dari apa?” tanya Ayu, setelah pelayan itu pergi. Ayu sudah terlalu malu untuk membahas ciuman lagi, dan akhirnya be
“Aku sudah…”Ayu yang baru membuka pintu kamar mandi, terdiam karena melihat Hide tergeletak di depan pintu samping kamar yang terbuka. Ia berbaring, tertidur di tatami tanpa menutup pintu setelah mencoba untuk memasukkan udara segar ke kamar.Ryokan itu tidak hanya bergaya klasik, tapi juga bangunannya memang tua. Ada sedikit aroma apak saat tadi mereka masuk. Tapi Ayu tidak mempunyai keluhan selain hal itu. Meski bangunan itu tua bentuknya tetap indah mereka mendapat kamar di samping taman, dan kamar mandinya masih sempurna. Ia tidak akan meminta lebih lagi.Dengan langkah perlahan, Ayu mengambil selimut di atas dua futon yang telah terhampar dan menyelimutkannya pada tubuh Hide. Ayu mematikan lampu, tapi tidak menutup pintu. Membiarkan udara malam sejuk masuk.Ayu duduk di samping tubuh Hide, dan memandan
PLAK!Ryu memejamkan mata saat tamparan mendarat di pipinya, lalu bersujud di hadapan Masaki, yang perlahan kembali duduk, jantungnya tidak mampu menahannya lama berdiri.Tamparan itu masih harga yang murah menurut Ryu, daripada dia harus menerima apa yang diperintahkan Masaki padanya. Ia tidak akan mengkhianati Hide.“Kau sudah tidak bisa menjaganya dan sekarang kau menolak permintaanku?!” bentak Masaki, sambil mengelus dada.“Maaf, Nidaime. Saya rasa keputusan untuk mengangkat Ryu menjadi Sandaime benar-benar terlalu tergesa. Anda akan mendapat banyak pertentangan dari cabang keluarga lain.” Yui menyahut, sambil ikut bersujud di samping Ryu dengan kepala menempel pada tatami.BRAK!Masaki menggebrak meja, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya. Yui sama sekali ti
“Kita sebenarnya mau kemana?” tanya Ayu, saat mereka memasuki area penyeberangan ferry, setelah dua hari perjalanan.Sebelum ini Ayu sama sekali tidak percaya karena tidak terlalu peduli, dan memasrahkan semuanya pada Hide. Tapi saat mereka harus menyeberangi lautan, tentu saja Ayu jadi penasaran.“Kau belum bisa menembak? Kita menyeberang ke Hokkaido,” kata Hide, sambil menyerahkan tiket kepada petugas loket untuk memasuki kapal.Hide menekan pedal gas, dan membawa mobil ke area yang memang khusus ada untuk mobil dan truk yang akan menyebrang.“Ya, aku ingat sekarang. Kita tadi ada di Aomori, dan akan menyeberang ke Hokkaido.”Pengetahuan yang dibutuhkan Ayu kembali muncul berkat ucapan Hide. Kali ini tentang peta wilayah Jepang.Aomori berada di ujung utara p
“Apa kau menyukainya?” tanya Hide, sedikit khawatir karena Ayu sejak turun dari mobil hanya memandang rumah yang ada di depan mereka dan diam.Tapi setelah memutari mobil dan melihat wajah Ayu, Hide tahu ia bukan sedang diam. Ayu hanya sedang terlalu takjub. Matanya tampak berbinar riang.Rumah yang ada di depannya, tidak sangat bagus, tapi memiliki gaya klasik yang terlihat nyaman. Semua terbuat dari kayu dan bergaya rumah panggung seperti rumah Hide. Tapi sebenarnya dari segi luas dan bentuk masih sangat jauh dari rumah Hide yang dulu.Tapi Ayu tidak mengingat itu. Dalam ingatannya, hanya tersisa rasa nyaman saat melihat rumah dengan gaya yang sama.“Apa kau membeli ini?”Ayu bertanya, tapi tidak percaya Hide bisa melakukannya. Mereka kabur dengan begitu mendadak. Mustahil tidak bisa menyia
“A..apa maksudmu? Tentu kita tidur berpisah!” Ayu menyahut setelah sejenak terpana.Jika kemarin ia hanya tahu mereka sudah menikah, mungkin Ayu tidak akan ragu untuk membagi kamar bersama.Tapi untuk sekarang Ayu gugup luar biasa membayangkan mereka akan tidur dalam satu kamar. Jantungnya saat ini bahkan sudah memompakan terlalu banyak darah karena panik.“Hmm… Aku sedikit kecewa, tapi ya sudah kalau itu keputusanmu.” Hide mengangkat bahu.“Kecewa bagaimana? Kita memang belum menikah. Kita tidak… Oh…. Mmm… Apa kita…”Ayu menelan ludah, pertanyaannya tertinggal di tenggorokan. Menyangkut karena malu. Tapi sekaligus Ayu ingin tahu. Ayu berpura-pura mengambil ketel berdebu, memindahkannya ke wastafel agar terlihat sedang melakukan sesuatu.
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m