PLAK!
Ryu memejamkan mata saat tamparan mendarat di pipinya, lalu bersujud di hadapan Masaki, yang perlahan kembali duduk, jantungnya tidak mampu menahannya lama berdiri.
Tamparan itu masih harga yang murah menurut Ryu, daripada dia harus menerima apa yang diperintahkan Masaki padanya. Ia tidak akan mengkhianati Hide.
“Kau sudah tidak bisa menjaganya dan sekarang kau menolak permintaanku?!” bentak Masaki, sambil mengelus dada.
“Maaf, Nidaime. Saya rasa keputusan untuk mengangkat Ryu menjadi Sandaime benar-benar terlalu tergesa. Anda akan mendapat banyak pertentangan dari cabang keluarga lain.” Yui menyahut, sambil ikut bersujud di samping Ryu dengan kepala menempel pada tatami.
BRAK!
Masaki menggebrak meja, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya. Yui sama sekali ti
“Kita sebenarnya mau kemana?” tanya Ayu, saat mereka memasuki area penyeberangan ferry, setelah dua hari perjalanan.Sebelum ini Ayu sama sekali tidak percaya karena tidak terlalu peduli, dan memasrahkan semuanya pada Hide. Tapi saat mereka harus menyeberangi lautan, tentu saja Ayu jadi penasaran.“Kau belum bisa menembak? Kita menyeberang ke Hokkaido,” kata Hide, sambil menyerahkan tiket kepada petugas loket untuk memasuki kapal.Hide menekan pedal gas, dan membawa mobil ke area yang memang khusus ada untuk mobil dan truk yang akan menyebrang.“Ya, aku ingat sekarang. Kita tadi ada di Aomori, dan akan menyeberang ke Hokkaido.”Pengetahuan yang dibutuhkan Ayu kembali muncul berkat ucapan Hide. Kali ini tentang peta wilayah Jepang.Aomori berada di ujung utara p
“Apa kau menyukainya?” tanya Hide, sedikit khawatir karena Ayu sejak turun dari mobil hanya memandang rumah yang ada di depan mereka dan diam.Tapi setelah memutari mobil dan melihat wajah Ayu, Hide tahu ia bukan sedang diam. Ayu hanya sedang terlalu takjub. Matanya tampak berbinar riang.Rumah yang ada di depannya, tidak sangat bagus, tapi memiliki gaya klasik yang terlihat nyaman. Semua terbuat dari kayu dan bergaya rumah panggung seperti rumah Hide. Tapi sebenarnya dari segi luas dan bentuk masih sangat jauh dari rumah Hide yang dulu.Tapi Ayu tidak mengingat itu. Dalam ingatannya, hanya tersisa rasa nyaman saat melihat rumah dengan gaya yang sama.“Apa kau membeli ini?”Ayu bertanya, tapi tidak percaya Hide bisa melakukannya. Mereka kabur dengan begitu mendadak. Mustahil tidak bisa menyia
“A..apa maksudmu? Tentu kita tidur berpisah!” Ayu menyahut setelah sejenak terpana.Jika kemarin ia hanya tahu mereka sudah menikah, mungkin Ayu tidak akan ragu untuk membagi kamar bersama.Tapi untuk sekarang Ayu gugup luar biasa membayangkan mereka akan tidur dalam satu kamar. Jantungnya saat ini bahkan sudah memompakan terlalu banyak darah karena panik.“Hmm… Aku sedikit kecewa, tapi ya sudah kalau itu keputusanmu.” Hide mengangkat bahu.“Kecewa bagaimana? Kita memang belum menikah. Kita tidak… Oh…. Mmm… Apa kita…”Ayu menelan ludah, pertanyaannya tertinggal di tenggorokan. Menyangkut karena malu. Tapi sekaligus Ayu ingin tahu. Ayu berpura-pura mengambil ketel berdebu, memindahkannya ke wastafel agar terlihat sedang melakukan sesuatu.
“Ayumi-chan!”Terdengar panggilan dari arah luar, dan Ayu langsung meletakkan pisaunya. Ia sedang membersihkan ikan yang akan dimasak nanti untuk makan malam.“Ha–i!” Ayu menyahut sambil berjalan keluar, dan melihat Miura menunggunya di depan pintu sambil membawa keranjang yang sarat isi.“Aku ingin membagi sebagian hasil kebunku dengan kalian. Aku baru saja memetiknya tadi.” Miura mengangkat keranjang itu, menunjukkannya pada Ayu dengan wajah ceria.“Astaga, Miura–san. Ini banyak sekali. Aku… Aku tidak mungkin mendapatkannya dengan gratis.”Keranjang itu berisi dua ikat sawi hijau, lebih dari lima buah wortel yang masih segar dengan tanah merah menempel, jagung yang masih berkulit, sampai tomat segar yang tampak merah menggiurkan. Yang jela
Ayu mulai sedikit menyesal karena telah mengusulkan untuk mengikuti Miura tadi.Ayu sama sekali tidak punya pengalaman bertani dan harus mendapat banyak petunjuk sebelum bisa memanen kol dengan benar, tapi itupun bukan bagian yang membuat Ayu menyesal. Yang membuat Ayu ingin pulang saat ini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Miura dan para ibu yang lain.Tentu saja Miura tidak sendirian. Ada beberapa Ibu lain yang juga menolong untuk memanen kol di ladang itu, agar pekerjaannya cepat selesai. Bergabung dengan kelompok Miura dan Ayu, ada satu orang ibu yang kekuatan mengobrolnya sama dengan Miura. Dan semakin lama pembicaraan mereka menjadi terlalu berani, lalu bertanya tentang beraneka macam hal yang tidak ingin dijawab oleh Ayu. Ia tidak menyiapkan kebohongan sampai sangat mendetail tentang pernikahannya.“Jadi kau sudah menik
Kyoko menatap Ryu—yang baru saja keluar dari mobil—dari dinding kaca dan mendengus. Ryu tentu berjalan ke arah cafe tempatnya berada, tapi kemunculannya terlalu mencolok. Padahal Ryu yang mengatakan ingin pertemuan mereka tidak menarik perhatian, tapi kemunculannya saja sudah cukup untuk menarik perhatian.Kyoko jarang mengakui makhluk tiga dimensi sebagai tampan, tapi setelah bertemu kesekian kali hari ini, Kyokon tahu Ryu adalah tampan. Dia mempunyai aura hangat dan terlihat mudah didekati. Pantas kalau Misa sampai rela menjadi ketua fans club tidak resmi Ryusuke Sato. Banyak karyawan wanita yang memang tergila-gila padanya.Tapi karena ketampanannya itu, sudah jelas mereka akan sulit untuk melakukan pertemuan tersembunyi. Ia terlalu mencolok—dan terlalu ramah.Kyoko kembali mendengus, ketika Ryu tersenyum pada wanita
“Mereka bertanya tentang apa?”Hide yang sedang memotong ikan—membantu Ayu memasak makan malam, berbalik memandang Ayu yang duduk di meja makan. Ia sedang memetik bayam.Ayu ganti menceritakan harinya, setelah Hide bercerita tentang kejadian di tempat kerjanya tadi. Bagaimana ia tadi siang harus mengantar seseorang ke rumah sakit dengan tergesa memakai mobil.Ada ambulans di desa itu, tapi hanya satu dan rupanya salah satu bannya sedang kempes. Hide harus mengambil pekerjaan extra dan membawa pasien yang mengalami sesak napas ke kota terdekat.Harinya cukup seru, tapi Ayu rupanya juga tidak kalah seru. Padahal ia hanya pergi ke rumah Miura.“Mereka bertanya tentang detail pernikahan kita. Aku hampir saja mati tadi karena panik.”Ayu mengeluhkan apa yang terjadi padanya tadi siang, saat mengikuti Miura memanen ikan di belakang rumahnya.Kolam yang ada disana cukup luas, jadi Miura memanggil beberapa temann
Ayu membuka jendela mobil, membiarkan hembusan angin mengusik rambut dan seluruh bagian wajahnya. Angin itu sangat segar, kemungkinan nol polusi. Ayu sama sekali tidak meragukan kualitasnya dan menghirup udara sedalam mungkin.Bahkan ketika mereka sudah hampir sampai di kota Shiretoko, udara tetap terasa segar. Kota berukuran sedang di sebelah utara desa Utoro itu tidak terlalu ramai, tapi jelas menunjukkan lebih banyak tanda kehidupan dari pada Utoro.Dan kota itu, adalah kota besar paling dekat yang bisa di dicapai dari Utoro dengan mudah. Tapi itupun akan memakan waktu paling tidak tiga jam.“Ini luar biasa!” Ayu mengeluarkan sedikit rasa antusias yang sejak tadi terpendam dalam dadanya, sambil memandang sekitar. Sama sekali jauh dari keramaian kota Karuizawa—satu-satunya kota yang ada dalam ingatan Ayu, tapi cukup banyak yang bisa dilihat.“Air terjun!” Ayu menunjuk aliran air deras yang turun dari lereng bukit kecil di s