Hide tentu saja langsung menuju jalan tol. Ia harus sampai di luar kota sebelum ayahnya melakukan hal paling gila—yaitu meminta polisi melakukan pemeriksaan di jalan. Skala besar tapi mungkin dilakukan. Hide harus keluar dari Karuizawa sebelum hal itu terjadi.
Selama setengah jam pertama, perjalan itu sunyi.
Ayu masih kebingungan, tapi ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mencoba berpegangan erat. Cara menyetir Hide menakutkan.
“Sebentar.” Hide menghentikan mobil saat mereka sampai di persimpangan jembatan tol. Hide menepi di jalur darurat, dan turun.
Ia menatap ke bawah, ke arah jalan raya yang ada di bawah jembatan tol. Saat menemukan sasaran yang tepat, Hide merogoh ponselnya. Ponsel itu bergetar sejak tadi dan diabaikan tentunya. Hide melihat Ayahnya menghubungi. Berita pelariannya sudah sampai ke Osaka.
Hide menatapnya layar yang menyala itu sejenak, sebelum melepaskan ponsel itu ke bawah. Ponsel itu tidak jatuh di
Hide tersenyum, lalu meraih dagu Ayu. Membuatnya menoleh memandangnya.“Aku bukannya tidak ingin mencium, tapi kau sadar bukan kalau aku laki-laki? Kau pikir apa yang aku inginkan setelah menciummu?” tanya Hide.Jawaban muncul dalam kepala Ayu dengan sangat cepat, dan perlahan ia melepaskan tangan Hide, karena ingin berpaling. Wajahnya terlalu merah,“Jadi sekarang kau mengerti kenapa aku tidak mungkin melakukannya saat kau sedang sakit,” kata Hide, melengkapi.Ayu terus menunduk, dan jawaban itu berhasil membungkamnya dengan mudah. Tawa Hide kembali terdengar, tapi sedikit terpotong oleh pelayan yang membawa makanan pesanan mereka.“Kenapa kita harus lari? Kita lari dari apa?” tanya Ayu, setelah pelayan itu pergi. Ayu sudah terlalu malu untuk membahas ciuman lagi, dan akhirnya be
“Aku sudah…”Ayu yang baru membuka pintu kamar mandi, terdiam karena melihat Hide tergeletak di depan pintu samping kamar yang terbuka. Ia berbaring, tertidur di tatami tanpa menutup pintu setelah mencoba untuk memasukkan udara segar ke kamar.Ryokan itu tidak hanya bergaya klasik, tapi juga bangunannya memang tua. Ada sedikit aroma apak saat tadi mereka masuk. Tapi Ayu tidak mempunyai keluhan selain hal itu. Meski bangunan itu tua bentuknya tetap indah mereka mendapat kamar di samping taman, dan kamar mandinya masih sempurna. Ia tidak akan meminta lebih lagi.Dengan langkah perlahan, Ayu mengambil selimut di atas dua futon yang telah terhampar dan menyelimutkannya pada tubuh Hide. Ayu mematikan lampu, tapi tidak menutup pintu. Membiarkan udara malam sejuk masuk.Ayu duduk di samping tubuh Hide, dan memandan
PLAK!Ryu memejamkan mata saat tamparan mendarat di pipinya, lalu bersujud di hadapan Masaki, yang perlahan kembali duduk, jantungnya tidak mampu menahannya lama berdiri.Tamparan itu masih harga yang murah menurut Ryu, daripada dia harus menerima apa yang diperintahkan Masaki padanya. Ia tidak akan mengkhianati Hide.“Kau sudah tidak bisa menjaganya dan sekarang kau menolak permintaanku?!” bentak Masaki, sambil mengelus dada.“Maaf, Nidaime. Saya rasa keputusan untuk mengangkat Ryu menjadi Sandaime benar-benar terlalu tergesa. Anda akan mendapat banyak pertentangan dari cabang keluarga lain.” Yui menyahut, sambil ikut bersujud di samping Ryu dengan kepala menempel pada tatami.BRAK!Masaki menggebrak meja, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya. Yui sama sekali ti
“Kita sebenarnya mau kemana?” tanya Ayu, saat mereka memasuki area penyeberangan ferry, setelah dua hari perjalanan.Sebelum ini Ayu sama sekali tidak percaya karena tidak terlalu peduli, dan memasrahkan semuanya pada Hide. Tapi saat mereka harus menyeberangi lautan, tentu saja Ayu jadi penasaran.“Kau belum bisa menembak? Kita menyeberang ke Hokkaido,” kata Hide, sambil menyerahkan tiket kepada petugas loket untuk memasuki kapal.Hide menekan pedal gas, dan membawa mobil ke area yang memang khusus ada untuk mobil dan truk yang akan menyebrang.“Ya, aku ingat sekarang. Kita tadi ada di Aomori, dan akan menyeberang ke Hokkaido.”Pengetahuan yang dibutuhkan Ayu kembali muncul berkat ucapan Hide. Kali ini tentang peta wilayah Jepang.Aomori berada di ujung utara p
“Apa kau menyukainya?” tanya Hide, sedikit khawatir karena Ayu sejak turun dari mobil hanya memandang rumah yang ada di depan mereka dan diam.Tapi setelah memutari mobil dan melihat wajah Ayu, Hide tahu ia bukan sedang diam. Ayu hanya sedang terlalu takjub. Matanya tampak berbinar riang.Rumah yang ada di depannya, tidak sangat bagus, tapi memiliki gaya klasik yang terlihat nyaman. Semua terbuat dari kayu dan bergaya rumah panggung seperti rumah Hide. Tapi sebenarnya dari segi luas dan bentuk masih sangat jauh dari rumah Hide yang dulu.Tapi Ayu tidak mengingat itu. Dalam ingatannya, hanya tersisa rasa nyaman saat melihat rumah dengan gaya yang sama.“Apa kau membeli ini?”Ayu bertanya, tapi tidak percaya Hide bisa melakukannya. Mereka kabur dengan begitu mendadak. Mustahil tidak bisa menyia
“A..apa maksudmu? Tentu kita tidur berpisah!” Ayu menyahut setelah sejenak terpana.Jika kemarin ia hanya tahu mereka sudah menikah, mungkin Ayu tidak akan ragu untuk membagi kamar bersama.Tapi untuk sekarang Ayu gugup luar biasa membayangkan mereka akan tidur dalam satu kamar. Jantungnya saat ini bahkan sudah memompakan terlalu banyak darah karena panik.“Hmm… Aku sedikit kecewa, tapi ya sudah kalau itu keputusanmu.” Hide mengangkat bahu.“Kecewa bagaimana? Kita memang belum menikah. Kita tidak… Oh…. Mmm… Apa kita…”Ayu menelan ludah, pertanyaannya tertinggal di tenggorokan. Menyangkut karena malu. Tapi sekaligus Ayu ingin tahu. Ayu berpura-pura mengambil ketel berdebu, memindahkannya ke wastafel agar terlihat sedang melakukan sesuatu.
“Ayumi-chan!”Terdengar panggilan dari arah luar, dan Ayu langsung meletakkan pisaunya. Ia sedang membersihkan ikan yang akan dimasak nanti untuk makan malam.“Ha–i!” Ayu menyahut sambil berjalan keluar, dan melihat Miura menunggunya di depan pintu sambil membawa keranjang yang sarat isi.“Aku ingin membagi sebagian hasil kebunku dengan kalian. Aku baru saja memetiknya tadi.” Miura mengangkat keranjang itu, menunjukkannya pada Ayu dengan wajah ceria.“Astaga, Miura–san. Ini banyak sekali. Aku… Aku tidak mungkin mendapatkannya dengan gratis.”Keranjang itu berisi dua ikat sawi hijau, lebih dari lima buah wortel yang masih segar dengan tanah merah menempel, jagung yang masih berkulit, sampai tomat segar yang tampak merah menggiurkan. Yang jela
Ayu mulai sedikit menyesal karena telah mengusulkan untuk mengikuti Miura tadi.Ayu sama sekali tidak punya pengalaman bertani dan harus mendapat banyak petunjuk sebelum bisa memanen kol dengan benar, tapi itupun bukan bagian yang membuat Ayu menyesal. Yang membuat Ayu ingin pulang saat ini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Miura dan para ibu yang lain.Tentu saja Miura tidak sendirian. Ada beberapa Ibu lain yang juga menolong untuk memanen kol di ladang itu, agar pekerjaannya cepat selesai. Bergabung dengan kelompok Miura dan Ayu, ada satu orang ibu yang kekuatan mengobrolnya sama dengan Miura. Dan semakin lama pembicaraan mereka menjadi terlalu berani, lalu bertanya tentang beraneka macam hal yang tidak ingin dijawab oleh Ayu. Ia tidak menyiapkan kebohongan sampai sangat mendetail tentang pernikahannya.“Jadi kau sudah menik