“Seharusnya memang kita menyelesaikan dia dulu sebelum mengurus Abe kemarin.”
Ryu berkomentar setelah mendengar cerita Hide tentang apa yang terjadi di rumah sakit. Ryu baru saja sampai di Osaka—hampir bersamaan dengan Hide dan Ayu yang pulang dari rumah sakit.
“Abe lebih berbahaya karena dia mengancam nyawa Yumi. Aku tidak bisa menunda saat dia mulai bertanya-tanya tentang Ishida. Terlalu berbahaya untuk Yumi.” Hide tidak akan merasa salah telah menangani Abe terlebih dulu.
“Yah, paling tidak kerusakannya tidak terlalu parah,” kata Ryu. Mengingat Ayu tetap utuh.
“Tidak parah karena aku belum bicara pada Yumi semenjak pulang tadi. Keparahan itu akan berubah jika kami bicara.” Hide mengeluh. Ia tahu Ayu akan marah saat mereka bicara nanti.
“Pakai saja kartu
Ayu membantu mengencangkan kain gendongan Natsu pada bahu Shogo dan tersenyum puas. Natsu sudah ada dalam posisi yang aman. Shogo adalah wanita paling tua di Kuryugumi saat ini. Usianya kurang lebih berjarak tujuh tahun lebih muda dari Masaki.Untuk upacara Omiyamairi—yaitu upacara mengunjungi kuil pertama kali saat bayi berusia seratus hari—seharusnya Natsu berada dalam gendongan neneknya saat nanti dibawa ke depan altar, tapi tentu hal itu mustahil. Karena itu Ayu meminta Shogo untuk menggantikan. Ia sangat gembira, dan sejak tadi terus menggoda Natsu dan membuat matanya melebar girang.“Matanya mirip sekali dengan Nidaime. Sandaime tidak terlalu mirip, tapi Natsu–chan memiliki wajah Nidaime juga.”Ayu hanya bisa tersenyum saat mendengarnya, dan sengaja menghindar agar Shogo tidak melihat matanya dengan lebih jelas. Ayu tahu mata Natsu sangat mirip dengannya. Akan merepotkan untuk menjelaskan hubungannya dengan Masaki jik
“Kita itu ada dimana?!” Kyoko mendengus kesal, sambil menyingkirkan cabang pohon menghalangi jalan setapak yang dilewatinya.“Aku tidak tahu. Kau yang lebih lama tinggal di sini. Aku harap kau yang lebih tahu.”Ryu di belakangnya menjawab dengan santai. Ia tidak tampak marah maupun susah. Jauh berbeda dari Kyoko.“Jangan coba menyalahkanku! Kau yang tadi berbelok ke arah jalan setapak! Kau yang membawaku ke sini!” bentak Kyoko, sambil berbalik dan menunjuk Ryu.Sudah jelas ia tidak akan menerima tuduhan bersalah itu.“Membawa? Apa tadi aku memaksamu untuk mengikutiku? Kau mengikuti dengan rela. Jangan membuatku terdengar seperti orang yang menculikmu.”Ryu juga tidak ingin disalahkan. Ia memang memiliki ide agar mereka berbelok ke arah jalan setapak saat mer
“Tidak seharusnya kau meminum sebanyak ini.” Ryu mengeluh sambil mengangkat kotak itu agar jauh dari Kyoko.“Eh? Jangan! Aku masih mau!” Kyoko menahan bagian bawah kotak itu sambil mengernyit marah.“Ini minuman untuk menghangatkan tubuh. Bukan untuk mabuk. Kau sudah meminum banyak, jadi cukup. Tidak lagi.” Ryu melepaskan tangan Kyoko dari kotak sementara membawanya menjauh.“Jangan… Aku masih mau… Kau jahat sekali!” Tadi Kyoko membentak, kini merengek sambil menarik tangan Ryu. Persis anak kecil yang tengah meminta mainan.“Boleh ya? Ini enak… Pokoknya enak sekali.” Kyoko mengentakkan kaki ke lantai beberapa kali, dan itu membuat Ryu panik. Ia tidak tahu seberapa kuat lantai kayu kuil tua itu. Kalau rapuh maka kaki Kyoko akan mampu menjebol lanta
“Jangan membuang airnya. Susah sekali menghangatkannya.”Ryu menyayangkan Kyoko yang menyemburkan air hangat tadi. Karena minimnya alat, Ryu harus menghangatkannya memakai botol, dan harus berhati-hati agar tidak pecah.Tapi Kyoko tidak peduli dengan air, sambil mengusap bibirnya ia menatap Ryu yang sudah kembali duduk. Wajah Ryu sangat tenang. Tidak menampakkan tanda kegilaan yang merupakan tebakan Kyoko pertama saat mendengar kata menikah itu.“Apa udara dingin membekukan otakmu sampai mengkerut?” tanya Kyoko dengan wajah heran.“Pagi ini memang dingin, tapi saat ini otakku baik-baik saja. Api ini cukup menghangatkanku tadi malam.”Ryu menunjuk perapian menyala yang beraroma semakin lezat karena daging kelinci itu mulai matang.“Kalau otakmu masih normal, kenapa
“Dia dihukum selama dua puluh lima tahun atas percobaan pembunuhan.”Ryu duduk di hadapan Hide—melaporkan hasil persidangan Karin, kepada Hide yang tengah memangku Natsu. Ia menyingkirkan kelopak sakura yang menyangkut di rambut Natsu.“Aku sudah katakan jangan membahas hal buruk saat aku bersama Natsu.” Hide mendesis.Ia punya peraturan baru, yaitu melarang siapapun untuk membahas sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan maupun hal-hal buruk saat dirinya sedang bersama dengan Natsu.Bukan berarti bayi berumur kurang dari lima bulan itu akan mengerti, tapi tidak membuat Hide peduli. Ia tetap meminta siapapun untuk berhati-hati.“Tapi aku sedang menyampaikan berita gembira. Ini tentang Karin yang dihukum. Ini bukan hal yang buruk,” sanggah Ryu.“Apa pun yang
“Hmm…” Ryu mengeluarkan keheranannya dalam gumaman.“Kau ingin mengatakan apa? Katakan saja.” Kyoko tidak marah. Ia hanya tegang.Ini pertama kalinya ia pulang setelah hampir delapan tahun pergi dari rumahnya—dalam keadaan tidak baik. Kyoko perlu menenangkan diri sebelum mereka memasuki rumah itu.“Kau tinggal di kuil?”Ryu menunjuk Torii—pintu gerbang kuil Shinto yang menjadi pembatas antara kawasan suci dengan kawasan tempat tinggal manusia, berwarna merah yang ada di dekat tempat mereka berhenti. Sesuai dengan petunjuk Kyoko.Mereka terbang ke Fukuoka tadi pagi, karena jaraknya memang jauh dari Osaka. Ryu ragu Kyoko akan menyuruhnya berhenti di sembarang tempat. Tapi jelas ia tidak akan siap kalau mereka akan berhenti di depan kuil.“Ya, aku
“Astaga! Ternyata …” Megumi menggelengkan kepala sambil tersenyum mendengar alasan yang dibuat oleh Ryu itu.“Pantas saja kalian sampai tak punya waktu untuk memberi kabar sebelum sampai ke sini,” katanya. Tentu saja alasan Ryu itu sangat cocok dengan keadaan di mana mereka harus terburu-buru menikah.“Benar, begitu…” Ryu tersenyum sambil meraih tangan Kyoko menggenggamnya. Tangan itu tentu saja sangat dingin.“Apa kau ingin duduk di dalam, atau mungkin ke dokter?”Ryu memberi penawaran yang terdengar normal, tapi sebenarnya ia sedang meminta pertimbangan dari Kyoko tentang mereka harus bagaimana. Apakah pergi atau tetap tinggal melanjutkan rencana.“Duduk saja di dalam. Aku akan baik-baik saja,” kata Kyoko. Meski keadaannya sangat buruk, tapi
Kyoko memandang tubuh yang terbaring miring dengan mata tertutup di geladak kapal yang mereka tumpangi. Tidak mengatakan apapun, tapi jelas melihatnya tidak berdaya seperti itu membuatnya tidak mual.Tidak ada kemungkinan pria itu bisa menyakitinya, rasa mualnya hilang begitu saja, meski sekarang tempatnya berdiri terus bergoyang karena gelombang laut yang cukup tinggi.“Sialan!” Terdengar umpatan dari Ryu dan itu mengherankan. Ia biasanya jarang mengumpat. Tapi kali ini merasa perlu karena ternyata ia mengalami mabuk laut. Ryu belum pernah menaiki kapal seumur hidup, dan kini tahu kalau hal itu adalah ide buruk. Setelah ini ia tidak akan pernah melakukan perjalanan di atas air lagi.“Lemah,” ejek Hide, tapi tangannya sambil mengulurkan obat anti mabuk.“Eh? Kau membawanya?” Ryu tentu kaget.