“Kau tunggu di sini saja di ruang lain. Jangan mengikutiku,” kata Ryu, kepada Kyoko yang sejak tadi berjalan di belakangnya.
“Kenapa? Aku ingin mendengar pengakuannya?” Kyoko menunjuk Murakami yang terikat di sampingnya.
Ryu bukan hanya mengikat tangannya tapi juga memplester mulutnya, karena Murakami terus memohon untuk tidak membawanya ke Hide. Tentu saja itu adalah permohonan yang hanya menghasilkan berisik. Ryu tidak akan mengabulkannya.
“Jangan sekarang. Aku akan menceritakan apapun hal yang dikatakannya padamu nanti. Aku berjanji. Tapi kau tidak boleh mengikuti lebih dari ini,” pinta Ryu.
Sambil menyentuh lengan Kyoko. Tidak sengaja, hanya kebiasaan karena ingin mencegah Kyoko maju lebih jauh.
Ryu sudah akan meminta maaf, tapi Kyoko sama sekali tidak bergerak menepis. Ia han
“Saya tidak bohong!”Murakami kembali berseru sementara berusaha melepaskan tangan Hide dari lehernya, karena tercekik. Sebentar lagi mungkin ia akan mati oleh tangan kosong Hide, bukan katananya.“Nidaime yang menyuruh saya! Nidaime yang … pekerjaan itu milik Nidaime … semuanya penyelundupan itu!”Setelah Hide melonggarkan cengkramannya, Murakami mulai bicara. Semakin panjang kata yang diucapkannya, Hide semakin merasa ia mengigau.“Apa maksudmu ayahku yang menyuruhmu untuk menyelundupkan barang-barang itu? Kuryugumi tidak memiliki bisnis ilegal!” desis Hide,Hal ilegal yang dilakukan Kuryugumi—dan ichizoku lain adalah menyuap dan menguasai politik dengan uang, tapi semua bisnis mereka adalah putih. Semua perusahaan yang ada di bawah Kuryugumi mempunyai badan
“Apa yang kau lihat darinya? Kenapa kau ingin bersama Hide?”Masaki menanyakan hal menyebalkan lagi, padahal Ayu baru saja ingin berbuat baik padanya. Ia membawa Masaki berjalan-jalan. Mendorong kursi rodanya menyusuri taman rumah besar itu.Idenya sendiri, bukan dari Shibata. Karena kasihan saat melihatnya duduk menatap kejauhan di teras samping. Shibata tidak menemani karena ia pergi mengantar dokter yang telah menginap beberapa hari untuk merawatnya. Keadaan Masaki hari ini sudah lebih baik, maka dokter itu akhirnya pulang.Untuk ukuran musim gugur, hari ini sangat hangat. Idenya berjalan-jalan sebenarnya bagus. Ayu tentu saja berharap kegiatan hangat itu, akan membuat hati Masaki hangat juga. Sayangnya pria tua di atas kursi roda itu memang tidak pernah memilih opsi perdamaian saat sedang bersamanya. Ayu berharap ia akan
“Mungkin dia hanya iseng,” kata Yui, sambil menyisir rambutnya yang panjang,Ia tengah mengomentari cerita Ryu yang menjabarkan kisah dari Murakami. Tidak jauh berbeda dari Hide maupun Ryu, Yui tentu saja terkejut. Ia masih membahas, meski sudah beberapa jam berselang sejak Ryu menceritakannya.“Itu pendapat paling bodoh yang pernah aku dengar. Aku tidak tahu kau berbakat untuk menjadi bodoh,” sahut Hide.Yui mendecak lalu meraih katana yang ada di dashboard mobil, tapi Ryu yang ada di kursi kemudi langsung menyambar katana itu, dan meletakkannya kembali.“Tolong kalian jangan bertengkar. Aku sedang menyetir. Kita semua akan mati jika kalian terus bertengkar dalam mobil,” kata Ryu. Memohon dengan amat sangat agar mereka berdamai. Ia hanya ingin sampai di tujuan dengan damai.&ldqu
Dengan sangat perlahan, Ayu membantu Masaki untuk berbaring di atas futon. Ia tampak semakin lelah setelah beberapa saat bicara tentang Hayato dalam keadaan duduk tadi. Saat Ayu menawarkannya untuk berbaring, Masaki mengangguk.Sedikit kesulitan, karena meski sangat kurus, menurut Ayu, Masaki masih berat. Ayu tapi cukup terbantu karena Masaki masih bisa menggeser tubuhnya sendiri untuk mencari posisi yang pas untuk berbaring.“Apa Anda ingin minum?” tanya Ayu setelah merapikan selimutnya. Ia mendengar deru napas yang semakin keras.Masaki mengangguk, lalu Ayu mengambil botol minuman hangat dan memasang sedotan di sana. Masaki meminum beberapa teguk air hangat yang ada di botol itu dan tampak menghela nafas lebih lega.“Apa kau akan ada di sini?” tanya Masaki, sambil memejamkan mata.Ayu menga
Hide menunduk di samping Masaki, memeriksa leher dan tangannya.“PANGGIL DOKTER!” Hide berseru dan Ryu yang mengikuti perintahnya.“Otou-san!” Seperti Ayu, Hide menepuk bahu dan pipi Masaki. Tidak ada tanggapan.“Oksigen!” Hide berseru, sementara melangkahkan kaki di atas tubuh Masaki dan menekan kedua tangannya di dada Masaki. Ia menghitung dengan cermat dan memompa. Menekan dada itu dengan konstan, mencoba mengembalikan napas Masaki.Yui yang datang mengambil tabung oksigen portable dan memasangnya, menekan ampul untuk mengalirkan udara ke tubuh Masaki, bergantian dengan Hide yang terus menekan.Tapi perlahan, masker itu terjatuh dari tangan Yui, hanya menyisakan tangannya yang gemetar.“Apa yang kau lakukan?! Teruskan!” Hide berseru pada Yui yang bersimpu
Ayu kebingungan. Ia tidak bisa memutuskan apakah harus merasa sedih, panik, takut atau gembira. Situasi yang dihadapinya begitu asing.Ia memandang ke belakang, melihat iring-iringan paling tidak sepuluh mobil—termasuk mobil jenazah yang ada di bagian tengah.Dan yang mengiringi mereka bukan hanya mobil biasa, Ayu tadi melihat mobil polisi berada di bagian paling depan untuk membuka jalan agar mereka bisa lebih cepat sampai, juga ada mobil polisi yang melintas di samping mereka bergantian.Ayu merasa mengecil, merasa tidak berada di tempat yang tepat. Dunia yang bukan miliknya.“Ada apa?” tanya Hide saat melihat Ayu menatap keluar jendela dan juga ke belakang mobil bergantian.Ayu menggeleng lalu tersenyum. “Tidak ada. Aku hanya ingin melihat keadaan."Ayu tidak akan mengeluhkan apapun pada Hide saat ini. Tidak ingin menambah sedikit pun beban untuknya. Hide tidak menyebut apapun semenjak mereka memasuki mobil, dan it
Ayu mengelus mofuku yang dipakainya. Benda itu terasa sangat asing. Kimono berwarna hitam pekat seluruhnya—bahkan obi-nya juga berwarna hitam—itu belum pernah sekalipun dipakai olehnya. Ayu yakin itu. Ia belum pernah menghadiri pemakaman siapapun yang mengharuskannya memakai mofuku.Ayu mematut dirinya di cermin, memeriksa rambutnya. Rambutnya masih terlalu pendek untuk digelung ke atas, jadi Ayu hanya menyisir biasa. Yang terpenting tentu saja menutupi bekas lukanya agar tidak menarik perhatian.Ayu berpaling saat mendengar pintu shoji terbuka. Terlihat Hide yang sudah berganti dengan jas berwarna hitam pekat juga, kemeja putih dan dasi. Pakaian resmi berkabung untuk pria.“Apa kau sudah siap?” tanya Hide, sambil menghampiri Ayu.“Ya, sudah selesai,” kata Ayu.“Kita keluar
“Sandaime … Maaf, tapi siapa …”Hide melirik, menjatuhkan pandangan pada orang yang berani bertanya itu, dan ia langsung diam. “Maaf.”Hide tidak perlu mengatakan apapun, dan ia merasa telah melakukan kesalahan. Dan semua orang kurang lebih bersikap sama. Mereka langsung menunduk atau paling tidak berpura-pura tidak memandang.Hide tentu saja membatalkan niatnya untuk masuk, dan kembali menarik Ayu ke ruangan lain. Untuk sementara ini cukup. Berkabung dan sikap sangar akan mengamankan Ayu, tapi jelas ia harus menjawab pertanyaan semacam itu nanti—paling tidak masih nanti.“Kau tidak perlu menjawab apapun jika ada orang yang bertanya. Aku yang akan mengurus semua itu nanti,” kata Hide, sambil membuka pintu ruangan lain. Dan untung saja tidak ada siapapun di sana. Ruang bac