*Otaku : Otaku adalah istilah bahasa Jepang yang digunakan untuk menyebut orang yang betul-betul menekuni hobi. Sejak paruh kedua dekade 1990-an, istilah Otaku mulai dikenal di luar Jepang untuk menyebut penggemar berat subkultur asal Jepang seperti anime dan manga
“Aku sudah memilih yang paling cantik. Seharusnya kau puas dengan pilihanku.”Ryu mencoba terdengar bersemangat dan ceria saat Hide menghubunginya. Itu untuk mengurangi kejengkelan Hide.“Ini saatnya kau berharap benar-benar menjadi kucing jadi nyawamu ada sembilan,” kata Hide.“Jangan begitu. Ini hanya percobaan.” Ryu mengeluh.Hide tentu saja kembali mengabaikan kiriman file yang berisi data wanita yang sekiranya pantas untuk menjadi istrinya—kiriman dari ayahnya.Maka Ryu yang akhirnya mencoba untuk memilih dan dan membuat janji. Jika sampai sekali lagi Masaki tahu Hide tidak melakukan perintahnya, maka mungkin bukan hanya Hide yang akan mendapat masalah, tapi juga dirinya. Ryu melakukan kerepotan itu untuk kedamaian hidupnya juga. Dia yang ‘memaksa’ Hide meluangkan waktu siang itu untuk menemui wanita—pilihan Ryu.Hide tentu saja sangat tidak setuju, tapi Hide baru mengetahui jadwal itu beberapa jam lalu. Inoue dengan sengaja memberitahu jadwal makan siang ini, saat dirinya sampai
“Tidak bisa. Maaf, Endo-san. Saya sedikit sibuk besok. Salah satu keluarga saya akan berkunjung ke Tokyo dan saya harus menemaninya.”Ayu mengarang kebohongan di tempat, nyaris tanpa berkedip maupun ragu. Ini karena ia benar-benar panik. Siapa yang mengira Endo masih akan mencarinya setelah acara hanami itu? Masih dengan rasa percaya diri yang sama, Endo tiba-tiba menghampirinya dan mengajaknya keluar. Itu terlalu berani.Ayu tadi sedang dalam perjalanan menuju ruangannya yang biasa setelah dari HRD untuk menyerahkan berkas cuti, tapi kemudian bertemu dengan Endo dan pria itu meminta waktu bicara empat mata. Dan isi pembicaraannya berupa ide buruk.Ayu tidak merasa memberi lampu hijau apapun pada Endo untuk ia bisa mendekat. Ayu benar-benar tidak menduga Endo mengira dirinya menikmati obrolan mereka saat di Osaka. Seingat Ayu, dirinya membalas obrolan Endo dengan setengah hati. Sinyalnya seharusnya jelas.“Benarkah? Sayang sekali. Bagaimana dengan hari minggu?” Endo tidak mudah menyera
Dan bukan hanya berantakan. Melihat cara berjalannya yang tidak lurus, serta matanya yang merah, Ayu menduga Kaito mabuk. Hanya masih kuat untuk berdiri dan mengenali dirinya.“Siapa lagi ini?” Kyoko bertanya dengan heran.Dia belum pernah melihat maupun bertemu Kaito, sekilas pun tidak, karena Kaito dulu biasanya menunggu Ayu di stasiun yang ada di dekat rumah Hide. Baru kali ini Kaito menunggunya di stasiun yang ada di dekat Shingi Fusaya. Ayu pernah membawanya kesini sekali, jadi Kaito masih mengingatnya.“Dia mencarimu bukan?” Kyoko kembali bertanya, karena Ayu hanya diam memandang pria yang kini terhuyung menghampirinya.“Tidak usah pedulikan. Dia hanya orang tidak penting.” Ayu meraih tangan Kyoko dan berjalan cepat. Tidak ingin berhenti untuk Kaito. Tapi pria itu masih cukup gesit. Melihat Ayu berjalan cepat, ia berlari dan menghadangnya. Ayu sampai nyaris menabraknya.“Ayumi, aku mohon. Kau harus mendengarku dulu.” Kaito memohon dengan wajah memelas.“Kyoko, apa kau percaya pad
“Setan apa?” Kyoko ikut berbisik kebingungan, tapi saat melihat Kaede yang nyaris berlari menghampiri Ayu, Kyoko dengan mudah paham. Wajah Kaede tampak menyeramkan.Satu hal disadari oleh Ayu sekarang saat memandangnya, Kaede kecil. Ayu tahu dirinya tidak termasuk golongan orang yang tinggi. Kyoko saja lebih tinggi darinya, dan ternyata Kaede lebih pendek darinya. Ayu tidak mengerti kenapa dulu begitu takut padanya. Tapi tentu sekarang tidak lagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia tidak perlu bersikap hormat pada Kaede maupun menjaga perasaannya. Bukan kewajibannya lagi.“Dasar wanita jalang!” Kaede memaki dengan tangan terayun.“Hei!” Untung saja Kyoko waspada dan menangkap tangan itu sebelum mencapai pipi Ayu. Tapi Ayu sendiri juga tidak diam seperti dulu, dia menjauh untuk menghindar.“Apa itu? Kau ingin menyakiti orang di depan umum?” Kyoko marah, sambil menurunkan tangan Kaede dan memberinya sedikit dorongan. Tidak peduli berapa usia Kaede, dia kasar menurutnya,“Aku hanya ingi
“Jalang itu menunjukkan wajah aslinya sekarang. Aku lega dia tidak lagi menjadi penghuni rumah ini.”Kaede masih melanjutkan omelannya sepanjang perjalanan ke rumah. Meski Karin dan Kaito sama sekali tidak menanggapi, ia masih terus tetap mengomel mencela Ayu.“Kau bawa ke kamar.” Kaede menyuruh sopir yang memapah Kaito ke dalam.Sopir itu mengangguk dan membawa Kaito masuk ke kamar. Kaito tadi tertidur di mobil, setelah tadi mengamuk saat dibawa ke klinik untuk merawat lukanya—yang ternyata tidak dalam, dan kini sudah tenang. Kaito hanya memandang sedikit bingung ke arah sekitar. Pengaruh alkohol mulai menghilang dari otaknya.“Kau seharusnya tidak usah ikut tadi. Akhirnya kau malah harus mendengar ucapan kasar dari wanita itu! Menjijikkan.” Kaede mengelus bahu Karin.“Kau tak perlu mendengarkannya. Sudah jelas Kaito tidak mungkin pergi mencarinya. Aku yakin dia merayu Kaito untuk datang padanya. Tidak tahu malu!” Kaede sama sekali tidak mendengar maupun ingin mempercayai penjelasan
“Kita harus bertemu.”“Kau siapa?” Hide mengernyit karena tidak mengenali suara maupun nomor yang menghubunginya itu. Hide jarang menyimpan nomor siapapun di ponselnya, karena malas. Itu termasuk tugas Inoue.“Astaga! Sakura. Aku tunanganmu!” Seruan kesal terdengar dari ujung lain.“Oh, ya. Aku ingat.” Hide akhirnya bisa mencocokkan wajah dan suara.“Syukurlah. Itu luar biasa,” sindir Sakura.“Dari mana kau mendapatkan nomorku?” Hide tidak ingat mereka bertukar nomor saat bertemu kemarin. Pertemuan mereka terlalu singkat dan padat.“Tentu saja dari data omiai yang diberikan orang tuaku, dan seharusnya milikku juga ada padamu!” Sakura terdengar gemas.“Oh, begitu rupanya.” Hide tidak mungkin tahu karena tidak pernah melihat data apapun dari Sakura—kecuali data keburukannya yang diberikan oleh Inoue kemarin.“Kau benar-benar tidak peduli padaku ya?” Sakura terdengar geli.“Tentu. Dan bukankah memang harusnya seperti itu?” Hide membalas santai.“Memang. Aku juga tidak peduli padamu, tapi
“Terima kasih.” Ayu mengucapkan terima kasih pada sopir taksi yang membantunya membawa Kyoko turun, lalu melambai padanya saat pergi.Ayu bersyukur mereka mendapat sopir taksi yang ramah, jadi tidak kesulitan membawa Kyoko turun.“Eh?” Ayu baru berbalik untuk membantunya, tapi ternyata Kyoko sudah berjalan terseok masuk. Apartemen Kyoko berada di lantai dasar, jadi masih mudah baginya untuk masuk.“Kau baik-baik saja?” tanya Ayu.“Ya, pulang saja.” Kyoko menyahut sambil menutup pintu. Ayu bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya. Kyoko akan menghempaskan diri di ranjang, dan tidur sampai besok pagi. Seperti biasa, Ayu akan membawa sup untuknya besok, untuk mengurangi sakit kepalanya.Setelah memastikan Kyoko aman, Ayu kemudian menyebrang, menuju apartemennya sendiri.Dengan hati-hati menghindari beberapa kubangan dan juga tanah lembek di halaman depan gedung apartemennya. Hujan yang turun siang tadi, meninggalkan banyak sisa air di halaman yang tidak rata.Ayu lalu menaiki tangga
Jeritan Ayu terhenti, dan memandang dengan takjub saat Hide menyambar leher Endo, mendorongnya ke belakang dengan satu tangan. Dalam kerumitan itu, Hide masih sempat menangkap tubuh Ayu yang nyaris terjatuh karena hilang keseimbangan. “Hide…” Ayu ingin bicara, ingin bertanya, tapi semua tertelan kelegaan. Air mata Ayu menetes tanpa disadarinya, sementara terus memandang Hide dengan tidak percaya. “Apa…” Pertanyaan Hide terhenti, saat melihat pipi Ayu yang memar dan pakaiannya yang robek. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi. Bibir Hide menipis menahan emosi, sambil perlahan berdiri lebih tegak. “Kau bisa berdiri?” tanya Hide. Ayu mengangguk, dan menghapus air matanya. Tanpa perlu disuruh, Ayu bergeser ke belakang punggung Hide yang kini menghadap Endo. Pria itu sedang berdiri, sambil menggosok lehernya. Dorongan tangan Hide membuat lehernya terasa terhantam oleh besi. “Kau jangan ikut campur! Ini urusanku dengan…Hkk!” Endo tidak bisa menyelesaikan kalimat, karena Hide sudah ke
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m