Tapi gerakan tangan itu terhenti saat Masaki menemukan masker oksigen yang tergeletak di sampingnya.
Melihat itu, Ayu menyimpan ponsel di kantong rok secepat mungkin, lalu mendekati Masaki. Membantunya memasang masker. Tentu sebisa mungkin akan mencari kesempatan untuk mengembalikan ponsel itu.
Ayu kembali dilanda rasa bersalah saat melihat keadaan pria tua itu dari dekat. Ia bisa mendengar tarikan napas berat yang sulit. Keadaannya tidak baik-baik saja. Tapi tetap Ayu tidak bisa tulus bersimpati padanya.
“Kau masih di sini?” Masaki bertanya dengan suara serak dan teredam oleh masker. Tapi Ayu masih bisa mendengarnya.
“Ya. Shibata–san sedang ada urusan,” kata Ayu.
“Pembohong.”
“Apa?” Ayu tersinggung. Meski ia mendapat keuntungan lain dengan berada di s
“Kenapa tidak boleh? Itu ide yang bagus!”Kyoko langsung marah, karena Ryu malah melarangnya saat ia sudah menyetujui rencana itu.“Kyoko–chan, rencana itu berbahaya. Aku kemarin—”“Kalau berbahaya, kenapa kau mengatakannya padaku?!” Kyoko memotong.Ryu mendesah. Ia juga tidak ingin mengatakannya pada Kyoko sebenarnya, tapi ia tahu akan jadi masalah besar jika Hide sampai tahu, dan sudah jelas Kyoko juga tidak akan memaafkannya saat tahu dirinya menyimpan rencana yang sebenarnya bagus itu.“Mungkin kita bisa membuat rencana lain untuk—”“Tidak! Kau tahu itu rencana bagus.”Kyoko mengakuinya dengan tegas. Ia sebenarnya jengkel karena tidak memikirkan rencana seperti itu sejak awal, dan harus ‘dikalahkan’ ol
“Itu terdengar merdu sekali.” Ryu terdengar sangat riang. Tentu karena tujuannya tercapai.“Hmm…” Kyoko tak bisa berkata apa-apa lagi, jadi hanya bergumam sambil mengumpat dalam hati.“Apa kau langsung bekerja besok?” tanya Ryu.Meski tidak ada dalam skenario, tapi Kyoko bisa melihat akan dibawa kemana percakapan itu. Ia menjawab dengan lebih serius, karena mereka kembali pada jalur yang benar.“Ya, aku harus segera bekerja. Tidak mungkin bisa menghindar setelah cuti selama itu bukan?”Itu adalah pancingan, Ryu tentu mengerti.“Kau kembali bekerja lagi pada saat yang sangat tepat,” kata Ryu.“Apa maksudmu?” Kyoko bisa memperdengarkan suara tertarik dengan lebih baik,“Saat ini Sandaime sudah
Kyoko menatap semua orang yang mengepungnya, ingin melihat apakah ada orang yang dikenalinya, tapi tidak ada.Mereka semua asing, dan kini hampir bersamaan bergerak ke arahnya untuk meringkus.Tapi terdengar letupan, dan satu orang penyerangnya tiba-tiba saja luruh ke tanah, sementara matanya tetap terbuka.Dua orang temannya langsung mengalihkan perhatian dari Kyoko. Mencari apa yang menyebabkan teman mereka tumbang.Tapi belum sempat menemukan sumbernya, satu lagi menyusul jatuh. Kali ini jatuh menelungkup, dan Kyoko bisa melihat apa yang menyebabkannya tumbang. Bagian belakang kepala pria yang baru saja tumbang itu berdarah, dan kini mulai mengalir membasahi tanah. Luka besar menganganga di sana.Kyoko membelalak, lalu memalingkan kepala ke segala arah. Akhirnya lalu melihat Ryu berlari dengan pistol berperedam a
“Kau tunggu di sini saja di ruang lain. Jangan mengikutiku,” kata Ryu, kepada Kyoko yang sejak tadi berjalan di belakangnya.“Kenapa? Aku ingin mendengar pengakuannya?” Kyoko menunjuk Murakami yang terikat di sampingnya.Ryu bukan hanya mengikat tangannya tapi juga memplester mulutnya, karena Murakami terus memohon untuk tidak membawanya ke Hide. Tentu saja itu adalah permohonan yang hanya menghasilkan berisik. Ryu tidak akan mengabulkannya.“Jangan sekarang. Aku akan menceritakan apapun hal yang dikatakannya padamu nanti. Aku berjanji. Tapi kau tidak boleh mengikuti lebih dari ini,” pinta Ryu.Sambil menyentuh lengan Kyoko. Tidak sengaja, hanya kebiasaan karena ingin mencegah Kyoko maju lebih jauh.Ryu sudah akan meminta maaf, tapi Kyoko sama sekali tidak bergerak menepis. Ia han
“Saya tidak bohong!”Murakami kembali berseru sementara berusaha melepaskan tangan Hide dari lehernya, karena tercekik. Sebentar lagi mungkin ia akan mati oleh tangan kosong Hide, bukan katananya.“Nidaime yang menyuruh saya! Nidaime yang … pekerjaan itu milik Nidaime … semuanya penyelundupan itu!”Setelah Hide melonggarkan cengkramannya, Murakami mulai bicara. Semakin panjang kata yang diucapkannya, Hide semakin merasa ia mengigau.“Apa maksudmu ayahku yang menyuruhmu untuk menyelundupkan barang-barang itu? Kuryugumi tidak memiliki bisnis ilegal!” desis Hide,Hal ilegal yang dilakukan Kuryugumi—dan ichizoku lain adalah menyuap dan menguasai politik dengan uang, tapi semua bisnis mereka adalah putih. Semua perusahaan yang ada di bawah Kuryugumi mempunyai badan
“Apa yang kau lihat darinya? Kenapa kau ingin bersama Hide?”Masaki menanyakan hal menyebalkan lagi, padahal Ayu baru saja ingin berbuat baik padanya. Ia membawa Masaki berjalan-jalan. Mendorong kursi rodanya menyusuri taman rumah besar itu.Idenya sendiri, bukan dari Shibata. Karena kasihan saat melihatnya duduk menatap kejauhan di teras samping. Shibata tidak menemani karena ia pergi mengantar dokter yang telah menginap beberapa hari untuk merawatnya. Keadaan Masaki hari ini sudah lebih baik, maka dokter itu akhirnya pulang.Untuk ukuran musim gugur, hari ini sangat hangat. Idenya berjalan-jalan sebenarnya bagus. Ayu tentu saja berharap kegiatan hangat itu, akan membuat hati Masaki hangat juga. Sayangnya pria tua di atas kursi roda itu memang tidak pernah memilih opsi perdamaian saat sedang bersamanya. Ayu berharap ia akan
“Mungkin dia hanya iseng,” kata Yui, sambil menyisir rambutnya yang panjang,Ia tengah mengomentari cerita Ryu yang menjabarkan kisah dari Murakami. Tidak jauh berbeda dari Hide maupun Ryu, Yui tentu saja terkejut. Ia masih membahas, meski sudah beberapa jam berselang sejak Ryu menceritakannya.“Itu pendapat paling bodoh yang pernah aku dengar. Aku tidak tahu kau berbakat untuk menjadi bodoh,” sahut Hide.Yui mendecak lalu meraih katana yang ada di dashboard mobil, tapi Ryu yang ada di kursi kemudi langsung menyambar katana itu, dan meletakkannya kembali.“Tolong kalian jangan bertengkar. Aku sedang menyetir. Kita semua akan mati jika kalian terus bertengkar dalam mobil,” kata Ryu. Memohon dengan amat sangat agar mereka berdamai. Ia hanya ingin sampai di tujuan dengan damai.&ldqu
Dengan sangat perlahan, Ayu membantu Masaki untuk berbaring di atas futon. Ia tampak semakin lelah setelah beberapa saat bicara tentang Hayato dalam keadaan duduk tadi. Saat Ayu menawarkannya untuk berbaring, Masaki mengangguk.Sedikit kesulitan, karena meski sangat kurus, menurut Ayu, Masaki masih berat. Ayu tapi cukup terbantu karena Masaki masih bisa menggeser tubuhnya sendiri untuk mencari posisi yang pas untuk berbaring.“Apa Anda ingin minum?” tanya Ayu setelah merapikan selimutnya. Ia mendengar deru napas yang semakin keras.Masaki mengangguk, lalu Ayu mengambil botol minuman hangat dan memasang sedotan di sana. Masaki meminum beberapa teguk air hangat yang ada di botol itu dan tampak menghela nafas lebih lega.“Apa kau akan ada di sini?” tanya Masaki, sambil memejamkan mata.Ayu menga
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m