*Hanko Jitsuin : Stempel identitas yang digunakan untuk dokumen resmi. Kepemilikannya disahkan oleh balai kota.
“Kau yakin tidak ingin ke dokter?” Kyoko menatap Ayu, bertanya untuk kesekian kali.Ayu pusing dan mual sejak sore tadi. Ayu sudah meminum obatnya, tapi mungkin terlambat. Makan siangnya sudah kembali keluar, dan kini menyisakan pusing menyakitkan dan rasa kaku di perutnya.“Tidak perlu. Aku hanya perlu istirahat.” Ayu jelas tidak ingin ke dokter karena tidak ingin menjelaskan kehamilannya pada Kyoko.“Ck, kau itu membuat repot saja.” Kyoko tampak bersungut-sungut, tapi dia tidak melepaskan Ayu, dan kini membawa Ayu masuk ke gerbong kereta.Ayu mengira Kyoko hanya akan mengantarnya duduk, tapi ternyata Kyoko juga ikut duduk.“EH? Keretamu bukan yang ini.” Ayu mengingatkan karena memang tujuan mereka berlawanan.“Kau pikir aku akan membiarkanmu sendiri? Kalau terjadi apa-apa padamu aku yang akan repot. Seluruh beban kerjamu akan jatuh padaku,” omel Kyoko.Ayu tersenyum. Tentu saja mengerti jika itu tadi adalah cara Kyoko untuk menyatakan dia khawatir.“Terima kasih,” kata Ayu sambil me
Tapi Kaito malah mendecak—semakin marah. “Aku sudah mengatakan padamu tadi, Aku ingin memperbaiki pernikahan kita. Aku ingin kita tetap bersama. Tidak ini alasan yang cukup?” Kaito mulai membentak. “Dan kenapa kau tidak langsung setuju dan gembira? Seharusnya kau gembira kita bisa bersama lagi. Aku sudah bersedia mengorbankan kekayaan dan nama untukmu!” Ayu meremas mantelnya semakin kencang, kali ini karena menyesal. Menyesal telah meminta mereka berdua untuk keluar dari rumah Nakamura, karena malah membuat Kaito menganggap permintaan itu sebagai beban, bukan jalan keluar. Saat Kaito menyebut pengorbanan, Ayu jelas saja marah. “Kenapa kau malah sekarang mempertanyakan apapun keputusanku untuk bersamamu? Jangan katakan jika ini semua adalah alasan saja, lalu yang sebenarnya kau benar-benar sudah gila, dan mencintai pamanmu itu,” tuduh Kaito. “KAITO-KUN!” Ayu berseru marah dan berdiri. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut, Ayu bersandar pada adrenalin dan memandang Kaito tajam. “K
Ayu membuka mata dan langsung tersentak bangun. Teringat sesuatu yang penting. Malam kemarin, Ayu masuk dalam keadaan letih luar biasa—karena keadaan kepalanya, dan makan secepat mungkin.Ramen buatan Hide lezat dan hangat, Ayu menghabiskan semuanya. Lalu setelah itu Ayu tidur. Tidur dengan amat nyenyak tanpa mimpi sedikitpun, dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Ayu masih malas dan memutuskan untuk berpikir sambil memejamkan mata, karena alarmnya belum berbunyi. Dan saat itulah kesadaran menghampiri Ayu. Satu pikiran yang kemarin dia lupakan. Hanko dan juga surat perceraian.Ayu menyibak selimut, meninggalkan futon-nya tergelar di lantai, berjalan menyusuri lorong rumah. Saat ini masih sangat pagi, karena suasana masih belum terlalu terang saat melewati taman di bagian tengah. Tapi Ayu tidak peduli. Kemarahan yang tadi malam tidak sanggup muncul karena sakit kepalanya, kini mendidih.“OJI-SAN!”Ayu menggeser pintu shoji kamar Hide sampai membuka dengan kasar, dan saat itu juga ke
Ayu merasa jengah. Sangat jengah, karena dokter kandungan yang mereka kunjungi ternyata cukup sibuk. Ayu tidak keberatan mengantri, tapi saat harus mengantri bersama ibu hamil yang lain, Ayu menjadi sangat canggung. Dalam keadaan menunggu, tentu akan ada obrolan ringan tentang berapa usia kehamilan, anak ke berapa, nama anak, dan juga berapa lama telah menikah. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin dijawab oleh Ayu, karena dia tidak mengharapkan anak yang saat ini dikandungnya untuk ada. Ayu tidak pernah berpikir untuk memberi nama julukan kepada anaknya, dan sedikit tidak peduli berapa usia kehamilannya. Dan yang jelas Ayu tidak akan bisa menjawab berapa usia pernikahannya dengan Hide karena mereka tidak menikah. Nama Ayu yang sudah kembali menjadi Tanaka mengaburkan kenyataan itu. Dengan otomatis mereka dianggap sebagai suami istri. Untungnya Hide sangat ahli untuk menebar aura gelap di sekitar tubuhnya. Jadi setelah beberapa jawaban singkat dan dingin—yang tentu berupa kebohonga
“Aku ingin bersyukur untuk itu, karena mungkin itu yang terbaik.” Hayashi mengusap wajahnya terlihat lebih lega, tapi tidak dengan Hide.“Saya… beberapa hari lalu mencoba mengingatkan Ayu tentang itu.” Hide mengucapkannya dengan sangat perlahan, karena tahu apa yang diperbuatnya adalah salah. Terdengar Hayashi mendesis.“Itu sangat ceroboh, Tanaka-san. Aku bukan ahli jiwa tapi kau tidak boleh mengusik ketenangan itu. Kau juga ikut bersusah payah memberi ingatan baru padanya. Jangan merusaknya.”Hide mengangkat kepalanya. “Tidak bisakah, Anda…”“Kau tahu itu tidak mungkin. Aku dokter, bukan pembawa keajaiban. Aku mengambil tumor dalam kepala Ayu, dan itu saja. Segala ingatan kacau dan lainnya, adalah efek samping dari trauma, Tanaka-san. Itu bukan lagi keahlianku. Kau harus bicara pada psikiater, bukan aku.” Hayashi kembali terlihat menyesal.“Apa kau sudah menemui psikiaternya?” tanya Hayashi.Jawabannya adalah belum, dan Hide memilih untuk tidak menjawabnya. tapi Hayashi tahu apa mak
“Tidak mengherankan.” Hide kini mengerti kenapa tiba-tiba Kaito mengirimkan surat perceraian itu.Dia membutuhkan status perceraian untuk mengesahkan pernikahannya dengan Karin. Dan jelas pria sampah itu tidak mengatakan apapun pada Ayu tentang pernikahan, karena tidak mungkin Ayu akan bersikap biasa saja saat tahu.Dan akan lebih baik jika terus seperti itu. Jika sampai sedikit saja Kaito mengatakan tentang pernikahannya dengan Karin, Hide akan mempertimbangkan untuk merobek bibirnya. Ayu tidak mungkin bisa menerimanya dengan mudah. Dikhianati dua orang sekaligus adalah amat sangat buruk.“Tapi untuk apa dia menemui Ayu?” Hide kembali bergumam. Tidak mengerti kenapa Kaito merasa perlu menemui Ayu jumat kemarin. Seharusnya dia bergelut saja dengan ular betina mata duitan itu.Tapi kemudian Hide menggelengkan kepala, tidak peduli dan tidak ingin berpikir tentang masalah yang memusingkan lainnya.Bukan urusannya jika pria bernyali tak lebih besar dari debu itu ingin bergaul dengan bunga
“Eh…” Ayu melepaskan tangan Hide, sambil mengutuk dalam hati. Itu tadi tidak sengaja.“Ada apa?” Hide tentu saja juga kebingungan, sama seperti Ayu yang tidak menyangka tangannya akan lancang.Ayu memang ingin melarang Hide berangkat tapi seharusnya tidak sampai seperti itu. Ayu ingin Hide menunda keberangkatan, karena tidak ingin semua makanan yang telah disiapkannya menjadi percuma. Segala kerja kerasnya menyiapkan acara di ruang tengah tidak akan berguna jika Hide berangkat begitu saja.“Hmmm…” Ayu hanya bergumam ragu, sambil menyelipkan rambutnya di belakang telinga.“Ada apa denganmu?” Hide tentu saja paham jika Ayu sedang menyimpan sesuatu karena kegelisahan itu.Tapi kemudian Ayu menggeleng. “Aku… aku hanya ingin tahu kapan kau akan kembali.” Ayu berusaha terdengar senormal.“Mungkin dua atau tiga hari lagi. Itu saja yang ingin kau ketahui?” Hide merasa jika tidak seharusnya Ayu gelisah jika hanya ingin tahu tentang itu.Ayu mengangguk, lalu dengan canggung mengundurkan langkahn
Hide turun setelah orang yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk, berlari dan membuka pintu mobil untuknya. Hide bisa membuka pintu sendiri, tapi memilih menunggu karena masalah kepantasan. Hide melepaskan kacamata hitam dan mengancingkan jas agar penampilannya lebih rapi, lalu berjalan masuk. “Tanaka-sama*.” Ada orang yang menyambutnya, membungkuk. “Anda sendirian?” tanyanya dengan heran, karena melihat tidak ada siapapun di belakang Hide. “Inoue tidak akan datang, dan Sato akan datang nanti,” kata Hide. Pria yang menyambutnya tersenyum paham. “Silakan,” katanya. Sambil mengantar Hide ke arah lift. Pertemuan yang akan dihadirinya mengambil tempat di ruang konferensi yang ada di lantai atas gedung itu. Jika bisa, Hide ingin sekali mewakilkan pertemuan ini, tapi sayang yang kehadirannya diwajibkan. Paling tidak untuk memastikan dirinya masih hidup. Dan memang masalah yang akan dibahas hari ini memang cukup penting. Hide tidak peduli sebenarnya, tapi ini adalah kewajibanny
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m