POV RESTI
Dua hari berlalu aku kembali ke rumah memantau keadaan dari kejauhan. Mendadak aku cemas melihat mba Arum sekarang tinggal di rumah bareng Luna dan mas Tama, takut-takut Luna juga perlakukan mba Arum sepertiku sebelumnya. Hatiku terenyuh saat melihat ibuk diajak jalan mbak Arum pakai kursi roda ke halaman rumah.
"Wanita itu? Mana dia?" lirihku. Hari sudah mulai gelap, mba Arum membawa masuk lagi ibuk ke dalam. Aku pun beranjak hendak pergi kembali ke rumah Irfan. Sekitar jarak lima meter aku melihat Luna turun dari taxi. Secepat kilat aku sembunyi di balik pohon.
"Ini sudah hari keberapa, aku belum juga bisa membujuk mas Tama, aku harus bagaimana?" gerutunya berjalan menuju pagar. Di bawah pohon ini minim pencahayaan, mungkin jika aku berdiri dari sini Luna akan melihatku seperti penampakan.
"Mba.. Luna," desisku memanggilnya, sontak saja langkah wanita itu terhenti dan membalik dengan gemetar. Aku tertunduk denga
PART POV RESTI Darahku serasa terhenti saat melihat pembunuh itu berada di depan pintu, aku tak menyangka dia bisa mengetahui keberadaanku, pria itu tertawa renyah melangkah masuk. "Jj-jangan mendekat!" bentakku mendorong pintu sontak saja pria itu menghempas pintu kuat hingga aku terjatuh. "Sayang sekali, aku harus habisi kamu malam ini cantik...," desisnya menyeret lenganku lagi untuk berdiri, aku gemetar dan coba berontak. "Lepas!" hardikku berusaha lepas dari cengkramannya. "Kalo di lihat-lihat kamu cantik juga?" desisnya memandangi dengan nafsu, aku jijik dan sekuat tenaga berontak. Pria itu menyeretku ke kamar hingga jemariku dapat menjangkau vas di lemari, secepat kilat aku layangkan ke kepalanya, Membuat cengkramannya terlepas dan tampak oleng memegangi kepalanya yang telah bersimbah darah. Seketika aku nanar melihatnya dan coba berlari keluar. Namun, aku salah, pria itu lebih sigap menangkis la
POV ARUM Mas Tama dia sangat kecewa padaku, hingga dia memilih diamkan aku di rumah, disini dirumah Hadi aku belum terbiasa, lagipula aku belum bercerai dengan mas Tama. Aku gundah entah apa pilihan yang harus aku ambil. "Arum?" sapa mas Hadi membuyarkan lamunanku di taman rumahnya. Sontak aku menoleh dan berkata. "Ya mas, sehabis mengantar Caca tadi les. Aku pilih balik lagi, ini sudah sore mas. Aku harus kembali pulang," tuturku, sedikit wajah mas Hadi berubah. "Pulang kemana? Ini rumahmu Arum," tekannya tak habis pikir. Aku berdesih sedikit dan berucap. "Mas aku males bahas yang beginian. Berapa kali aku katakan padamu mas. Aku belum bercerai dan aku masih istrinya mas Tama," ujarku, mas Hadi menghela nafas berat dan beranjak mengambil sesuatu.
POV ARUM'Mas Hadi maaf, aku diamkan mas seperti ini mas, mas memang yang terbaik tapi kita tidak di takdirkan untuk bersama, mas benar aku begitu mencintai mas Tama hingga aku tidak bisa membuat keputusan. Aku hanya ingin tinggal dengannya sekarang, entah kenapa aku tidak tega untuk membuat dia terluka. Aku sudah terbiasa denganya kami melalui susah dan senang bersama aku tau betapa rapuhnya mas Tama sekarang, aku tidak ingin pergi aku ingin bersama mas Tama hingga dia terasa sempurna saat bersamaku. Namun entah kenapa ada kalut dalam hatiku yang tak bisa aku artikan. Aku masih merasa bimbang.'"Arum!" bentak Risa membuyarkan lamunanku, aku menoleh ke pintu. Wajah temanku sudah tampak tak bersahabat aku coba memandanginya datar dan membuang muka. Palingan dia ingin membahas mas Hadi."Aku tak habis pikir ya sama kamu Rum? Kamu kembali kesini dan m
POV ARUMHanya satu kata yaitu gundah!, aku berniat untuk membalas mereka semua, tapi nyatanya aku terjebak dalam permainanku. Aku bahkan tak bisa membalas lebih kejam ataupun setara, kenapa begitu mudahnya aku bisa menghapus semua luka-luka itu yang tersemat bak duri menancap bertahun-tahun.***Sore ini aku menghampiri Resti di kamarnya, ia tampak melamun memandang jauh keluar jendela. Aku menghampirinya karena sempat bingung kenapa seharian dia tidak keluar kamar."Ada apa? Kamu sangat terlihat bersedih semenjak hari itu?" tanyaku, Resti menoleh menyunggingkan senyum."Tak ada apa-apa mbak, Resti hanya ingin sendiri saja," tukasnya, aku menghenyak di kasurnya dan coba melihat mimik wajahnya lebih dekat."Sepertinya ada yang menganggu pikiranmu?" desisku.
POV ARUM"Duduk!" perintah mas Hadi. Dengan langkah gontai aku melangkah dan menghenyak."Kurasa saya tidak perlu mengajukan banyak pertanyaan lagu untukmu," ujarnya, aku masih bungkam."Karena saya sudah tahu betul bagaimana cara kerjamu. Tapi sekarang kembali lagi padamu, apa kamu masih ingin bekerja untukku?" tanyanya, aku sedikit menghela nafas dan coba melihat wajahnya."Aku datang untuk interview, aku berharap bapak bisa profesional disini," tukasku, mas Hadi tampak manggut-manggut."Oke baiklah, saya akan profesional. Mengingat saya cukup mengenalmu, dan selama yang saya tahu, kamu cukup berpengalaman dan memiliki kinerja bagus," ucapnya sambil memandangku lekat. Aku masih tak habis pikir melihat raut wajahnya, dan bahasa dia yang tidak bersahabat, apa it
"Dari mana saja kamu Rum?" bentak mas Tama saat aku memasuki pintu rumah. Aku melirik jam didinding sudah menunjukan pukul 23:45 malam."Tadi aku..." ucapanku di cegat oleh mas Tama."Tadi apa? Kerja apa hingga larut malam begini? Kamu baru kerja beberapa hari saja sudah pulang larut malam begini." bentakknya,."Mas, yang jelas aku tak ngapa-ngapain, tadi itu Risa menghubungiku ngajakan nongkrong, hingga lupa waktu."ujarku, muka Mas Tama memerah meredam amarahnya, entah apa alasannya dia gak mau mendebatku lagi. Aku menghela nafas panjang dan membuntutinya kekamar.***POV TAMAArum aku tau kehadiran dia dirumah ino tak lebih hanya mengasihani aku, aku salah jika memohon padanya untuk tetap tinggal hati pikirannya sekarang tak lagi denganku. Aku sering temui ia melamun dirumah ini, dan bahkan dia sangat
POV HADISelepas mengurus salah satu perusahaanku itu, aku kembali menemui Caca di rumah, dia pasti sangat marah padaku karena tak membawa Arum. Tapi tak apa, semoga ke depannya aku bisa meyakinkan putriku itu nanti."Papa..." teriak Caca saat aku baru turun dari mobil, gadisku itu berlari ke garasi mengejarku."Ya sayang?" sambutku langsung merangkul dan menggendongnya, tawa riang dan senyum Caca sejenak mengusir lelahku."Kok Caca panggil Pipi, papa nak?" tanyaku menurunnkannya."Mulai hari ini, Caca akan panggil Pipi, Papa ya? Kan Caca panggil Mama sama Mama Arum. Biar cocok," ujarnya, mendadak aku bungkam."Oh, iya Pa? Mama mana? Tadi Caca dah telpon Mama?" ucapnya lagi, kembali aku gendong putriku itu masuk kerumah."
POVARUMMalam berlalu, sang fajar berkunjung juga mengusik tenangku. Ini pagi pertama aku hidup seorang diri, mataku sembab karena menangis semalaman. Sedih saja saat mengingat garis nasib yang sudah tertorehkan. Kecintaanku pada mas Tama membutakan segalanya, aku menghancurkan banyak hati demi untuk hati seorang Tama. Aku telah membuang kebahagiaanku bersama mas Hadi demi dia. Kini aku seorang diri tanpa cinta tanpa keluarga. Mas Hadi sudah tak sudi melihatku. Ini memang kesalahanku. Aku benci mas Tama! Aku benci hidupku."Pagi neng?" sapa buk Hasna saat aku hendak menaiki mobil."Pagi Buk, mari buk saya berangkat kerja dulu ya?""Iya Neng, Hati-hati," sahutnya, aku menyu
.... POV HADI"Mama maafin papa ya?" ujar putriku mendekat dan menggenggam pergelengan tangan Arum erat. Arum masih bungkam hingga dia tampak dilema, istriku berdesih dan coba menarik tangannya yang aku genggam erat, matanya tampak merintikan air mata deras."Tolong berikan aku kesempatan lagi mah."lirihku. Sedikit Arum menyibak belahan rambutnya dan menghela nafas sesak. Caca yang juga menunggu jawaban dari Arum itu juga ikut bersimpuh di sampingku."Mama, caca maunya Mama Arum yang tinggal bersama Caca. Maafkan Caca mah, Caca gak akan manja lagi. Caca akan berusaha mandiri supaya tidak merepotkan mama lagi" ujarnya. Arum bergerak memegangi bahu Caca dan membawanya berdiri."Sayang...., kamu jangan begini. Sama sekali mama tidak pernah di repotkan oleh Caca." ujarnya. Arum menoleh padaku dan berkata."Pergil
POV RESTITing nong.Bunyi bel bergema Asih tampak meninggalkan Arabela yang tengah tertidur dan segera beranjak ke pintu."Nona Cassandra Resnya ada?" tanyanya, darahku berdesir saat mendengar suara mas Aldi. Bergegas aku bersiap dan berdiri sembari menghela nafas untuk menghilangkan nervousku."Ada Tuan, silahkan." ujar Inem. Mas Aldi masuk aku menyambutnya dengan gaun hitam di tambah dengan aksen bling-bling yang menempel di lengan, leher dan telingaku sengaja aku pake perhiasan brilian putih senada agar penampilanku terlihat berkesan dan elegan. Sedikit mas Aldi terpana melihat aku berdiri di hadapannya."Aku fikir, kamu tidak akan datang Tuan" ujarku menggunakan bahasa inggris. Sedikit mas Aldi senyum tipis dan berkata."Aku sudah janji. Kita sudah sangat dekat belakangan, aku tida
Pov Resti."Aku tidak akan salah lagi, kamu Resti." lirih mba Arum meremas bahuku. Reflek aku memeluk dan menagis di pelukannya."Mba..." lirihku, mba Arum mendekap dan mengelus rambutku lembut."Aku hampir saja tidak mengenali mu Res? Kamu hebat sekali bisa sesukses ini." lirih mba Arum mengecup pucuk kepalaku. Mba Arum mendorongku pelan dan berkata sembari mengelus wajahku."Apa yang terjadi Res? Kenapa kamu menghilang? Kamu bilang kamu sudah punya anak? Kamu sudah menikah? Dengan siapa? Lantas hubunganmu bersama Aldi bagaimana? Sungguh mba sangat ingin tau semuanya Resti." ucapnya mencecarku dengan pertanya'an."Ceritanya panjang mba? , anakkku dia seumuran sama Andra. Aku pergi ke london saat hamil Arabela, aku menemui temanku disana, hingga ia tawari aku pekerja'an dan menjadi Casandra Res." jelasku. Mba Arum masih
"Aku tidak mengerti dengan takdir. Setelah perceraianku dengan Tania, aku bahkan tak bisa menjalani hidup lagi dengan normal. Lucu bukan? Tania yang berbuat salah tapi seolah aku yang dapat karmanya."ucapnya terkekeh. Kembali ia berucap dengan lirih sembari mengingat seseorang." Tuhan pernah bawa seseorang memberi sedikit warna dihidupku. Namun dia hanya sekedar hadir sebentar lalu pergi."ucapnya. Mba Arum tampak memperhatikan wajahnya mas Aldi dengan seksama."Sepertinya kamu begitu mencintainya?" tanya mba Arum. Sedikit mas Aldi mengangguk dan berkata."Ya, sangat. Hanya saja sekarang aku coba menyerah dan ikhlaskan dia." tuturnya sejenak hatiku rasanya teranyuh. Sungguh aku tidak ingin mas Aldi melupakanku. Aku harus kembali tapi aku bingung bagaimana mengahadirkan Resti yang dulu lagi dalam hidupnya suami. Atau aku langsung jujur saja? Entahlah aku menemuinya lain waktu saja. Aku sedi
POV RESTIDi depan kaca riasku di sebuah studio pemotretan terbaik di kota london ini aku menatap nanar pantulanku sembari pikiranku melayang jauh hingga ke indonesia. Bagaimana bisa aku kembali secepat mungkin ke indonesia sedangkan aku masih punya kontrak kerja dua bulan lagi. Dan Irfan akan segera berrtunangan dua minggu lagi. Aku masih sangat sibuk disini, mbak Arum? Dari sekian banyaknya wanita di dunia ini kenapa harus mbak Arum. Tapi saat aku melihat mata mas Aldi waktu itu. Dia tidak mungkin melupakanku semudah itu. Aku harus ingatkan dia lagi tentang Resti. Tanpa pikir panjang aku coba menghubungi mas Aldi.Tuuuut Tuuut....!Terdengar panggilan itu tersambung."Halo?"ucapnya"Halo Tuan indonesia?"sapaku dengan bahasa inggris terdengar mas Aldi terkekeh."Hay nona apa kabar?"tanyanya
POV HADI.Lelucon macam apa ini, apa yang dikatakan Arum sangat menyayat hatiku. Bagaimana bisa aku hadiri sidang perceraian. Siang ini aku tak bisa berbuat banyak selain menyendiri lagi di kamar, aku rapuh sekali, aku tidak mau bercerai dengan Arum rasanya hatiku sangat lelah sekali. Aku ingin berkeluh kesah pada Arum tentang hatiku entah bagaimana caranya membuat dia yakin bahwa aku belum membagi perasaanku ataupun cintaku. Cumbuan itu hanya naluriah yang tak bisa aku artikan. Aku resah sekali saat ini aku menyesal. Sekarang semua sudah terlanjur kacau begini. Aku benar-benar lelah. Dalam lamunanku itu terdengar bunyi mobil memasuki garasi sontak aku tersadar dan melihat siapa yang datang bersama mobilku itu. Aku beranjak ke balkon melihat keadaan dibawah bisa aku lihat putriku turun dari mobil dengan wajah lemes. Segera aku hampiri dia ke pintu."Caca... Kamu dari mana aja nak bareng kang supir?" tanyaku.
POV ARUM.Setelah melepas mas Tama pergi Aldi mengantarku kerumah. Aku terdiam sejenak melihat rumah itu, rumah ini masih terlihat bagus dan rapi. Karna memang aku selalu sewa jasa pekerja untuk membersihkannya tiap hari. Sedikit aku menghela nafas dan coba membuka kunci pintu itu."Kamu yakin bakal disini sendirian?" tanya Aldi yang Ikut juga masuk sembari menggendong Andra. Sebelumnya Andra sempat rewel bersamaku hingga Aldi mengmbilnya dan anak itu anteng lagi."Nanti aku akan hubungi Inem Al, dia pembantuku sebelumnya. Semoga saja dia masih bisa bekerja denganku." ujarku. Aldi mengangguk."Maaf aku belum sempat belanja, belum ada apa-apa di dapur. Kamu duduklah Al. Sini Andranya." ucapku mengambil anakku di gendongannya."Tak apa Rum, dia anteng sama aku." ujarnya. Aku mendegup dan coba kembali berkata gugup.&n
POV HADIDengan langkah gontai aku coba melangkah ke mobil. Dadaku terasa sakit aku bingung mau menyusul Arum yang pergi bersama Aldi sekarang atau kembali pulang, bahkan aku tidak tau bagaimana bicara pada Caca nanti yang ada di rumah, sungguh Aku masih belum percaya kalau Arum mengetahui ini, bisa-bisanya rumah tanggaku hancur dalam sekejap. Padahal aku tidak pernah ingin berniat mengkhianatinya, aku masih menjaga batasanku hingga sejauh ini. Aku tidak bisa jika Arum pergi dan beranggapan bahwa aku telah berkhianat."Oh Tuhan tolong aku "lirihku dengan mata berkaca-kaca dengan berat hati aku menyalakan mesin mobil dan melaju pulang.Sesampai di rumah. Tanpa kata sepatah katapun aku berlalu kekamar, aku kesal membanting semua yang ada. Berkali-kali aku coba mengusap wajahku agar tidak terlihat lemah. Namun aku tidak bisa. Aku terhenyak di kasur dengan air mata merintik.&
POV ARUMTuhan tolong beri aku kekuatan, semalam aku dapati mas Hadi pergi keluar dan kembali sebelum shubuh. Selama umur pernikahan kami, baru kali ini ia lakukan itu padaku. Aku sudah yakin mas Hadi telah membagi cintanya, entah bagaimana caranya aku kuat semalaman. Aku sudah muak. Aku tidak sanggup lagi menderita. Aku harus beberkan ke media. Publik terlanjur menuduh aku yang buruk. Padahal aku hanya korban dari segala pelik ini. Mas Hadi entah bagaimana rasanya hatiku sekarang. Kamu membagi cinta untuk mantan istrimu. Segala dongeng indah tentang kita di masa lalu itu hanyalah sebuah hiburan belaka untuk bisa aku kenang. Aku nanar menunggu wartawan datang ke ruang utama."Permisi selamat pagi Mbak Arum?" tanya salah seorang wartawan, aku sedikit tersintak dari lamunanku, tadinya aku fikir aku akan beberkan skandal mas Hadi. Tapi tak adil rasanya jika aku permalukan suamiku dihadapan publik. Lagi pula ini baru pertama ka