Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (21)Aku melompat turun dari mobil, berjalan cepat, menyeruak kerumunan pejalan kaki, para pelayat yang kebanyakan hanya ingin tahu kasus kematian yang menghebohkan itu, dan berharap mendapat secuil berita. Karena kasak kusuk mereka kudengar dengan jelas, bahwa mereka sesungguhnya tak mengenal Ivan. Tapi aku tak peduli. Tujuanku adalah mencari lelaki tadi.Lelaki dengan pakaian serba hitam yang menyelinap diam-diam, keluar dari area pemakaman dan pergi tanpa menoleh.Namun, dia sudah tak ada. Satu persatu pelayat yang membawa kendaraan mulai pergi. Tinggal beberapa saja yang berjalan kaki, yang sepertinya penduduk sekitar makam. Aku menghela napas panjang, mengusap dada, berusaha menentramkan debaran jantung yang memukul-mukul dada. Kenapa aku seperti mengenalnya? Dan kenapa kehadiran sosoknya itu membuat jantungku berdebar kencang."Ada apa?"Ayah sudah ada disisiku. "Aku … aku sepertinya melihat dia yah.""Dia siapa?""Ivan."Ayah mengerutkan keningnya.
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (22)Entah bagaimana mulanya, Banyu langsung saja akrab dengan dua sahabatku. Sejak hari itu, beberapa kali kudengar mereka bertemu di kota, karena ternyata kebetulan, rumah Banyu tak terlalu jauh dari rumah Angga. Pembangunan Vila milik orang tuanya sudah selesai, dan dia hanya datang sesekali untuk liburan saja.Aku sendiri tetap menjaga jarak. Bagaimanapun, aku masih dalam masa iddah. Hari-hari lebih banyak kugunakan untuk menulis. Dalam keadaan hening, dan sedikit tertekan, tulisanku ternyata berpengaruh. Kisah thriller yang sedang kugarap menjadi hidup. Tapi sungguh, aku berharap bahwa di dunia nyata, hidupku jauh dari horor.Sampai hari itu tiba.Trisha datang ke rumah dan langsung menarikku masuk ke ruang kerja, sebuah ruangan kecil dengan pintu penghubung ke kamar pribadiku di lantai atas. Karena aku tak mau Cia terganggu dengan suara keyboard, namun aku ingin dia tahu kalau aku ada di dekatnya saat dia tidur, maka Ayah meminta tukang membuat pintu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (23)PoV IVANDua bulan lebih beberapa hari yang lalu, entahlah, aku lupa tepatnya. Bahkan aku telah nyaris kehilangan orientasi waktu seandainya Mama tak datang disaat yang tepat.Kala itu, aku keluar dari apartment Bu Ristie dengan hati bungah. Uang lima ratus juta ada di rekeningku. Di dalam lift, aku mentransfer kembali uang itu ke rekening Mama, Satu-satunya tempat menyembunyikan uang yang aman, karena aku yakin, Bu Ristie tidak akan membiarkan aku pergi begitu saja membawa uangnya. "Uang apa ini Ivan? Banyak sekali?""Simpan uang itu, Ma. Letakkan ATM-nya di kotak sepatu samping rumah dan jangan ada yang tahu. Bahkan, Diska dan Papa juga tak boleh tahu.""Ivan … Mama takut … "Mamaku, meski kemarin sempat menolakku tinggal di rumahnya, itu karena Gita. Mama tak mau tetangga bergunjing bahwa aku membawa perempuan lain ke rumah tanpa dinikahi. Lagipula, perempuan matre itu, langsung ambil langkah seribu saat tahu aku tak punya apa-apa lagi setelah semu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (24)PoV AYARATiga bulan telah berlalu, dan akhirnya masa iddahku selesai juga. Selama ini, suasana terasa amat tenang. Tak ada gangguan. Tak ada siapapun yang mengusik hidupku dan Cia. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku merasa bahwa suasana yang tenang ini menyimpan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.Kini, kesibukanku selain menulis adalah mengantar dan menjemput Cia ke sekolah taman kanak-kanaknya. Meski ada Mbak Atik di rumah, aku tetap melakukan sendiri segala urusan tentang Cia. Mandi, memakaikannya baju, mengantar dan menjemput sekolah, belajar dan bermain di rumah. Mbak Atik sampai mengeluh dia tak punya kerjaan."Saya pulang ke pantai aja deh. Disini nggak ada kerjaan," keluhnya."Emang kalau disana banyak kerjaan ya, Mbak? Ngintip tetangga sebelah."Mbak Atik tertawa."Tetangga sebelah kan kosong, orangnya disini kok, dikota.""Eh, yang bener?""Tuh kan, Mbak Aya penasaran."Aku mencubit pinggang Mbak Atik. Maksud hati menggodanya, malah ak
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (25)Kabar menyedihkan tentang siapa orangtua kandung Cia, membuat seisi rumah terdiam. Aku mempercayai cerita Jelita karena sempat bertanya langsung ke pihak rumah sakit tentang peristiwa kematian suami istri itu. Dan karena peristiwanya cukup menggemparkan, banyak pegawai rumah sakit yang mengingatnya."Lalu kabarnya, bayi itu dibawa pulang oleh seseorang yang mengaku sebagai kerabat Ayahnya. Bayi malang yang cantik sekali. Saya ingat, ada tanda lahir berbentuk bintang di pergelangan tangannya sebelah dalam."Dan kini, aku menatap anakku yang tertidur pulas, memandangi bintang kecil berwarna kehitaman yang ada di sebelah dalam pergelangan tangan kirinya. Air mataku menetes membayangkan di hari kelahirannya, dia langsung menjadi anak yatim piatu. Namun, sebagian sisi hatiku lega. Dia tak punya hubungan apapun dengan Ivan dan keluarganya.Aku teringat tatapan Mama yang aneh saat melihat bayi itu dulu. Beliau sama sekali tak mau nyentuh, apalagi menggendong
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (26)PoV IVAN"Jangan muncul dihadapan Ayara. Dia curiga kalau kau masih hidup, Ivan!"Suara panik Mama membuatku terkejut."Apa maksud Mama?"Aku meremas kertas pembungkus nasi, dan melemparkannya ke sudut ruangan, bergabung dengan sampah lainnya. Karena hanya beberapa kali diobati ke sangkal putung, kakiku belum pulih benar. Aku tak bisa datang kesana tepat waktu karena takut ada orang yang mengenaliku. Padahal, seluruh dunia hanya boleh tahu bahwa aku sudah mati."Ayara datang ke rumah dan mengatakan pada Mama bahwa tes DNA jenazahmu dengan Cia tidak cocok. Dia pikir, itu bukan kau.""Bagaimana dia melakukan tes DNA?" tanyaku geram. Ayara, adalah salah satu wanita yang paling tak bisa kutebak. Dulu, aku pulang membawa bayi dalam keadaan takut. Kupikir tadinya dia akan menolak dan membuang bayi itu entah kemana, mungkin ke panti asuhan. Tapi ternyata, dia menerima Lucia dengan mudah, menyayanginya sepenuh hati, tapi, mengambil kesempatan pada kata-kata
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (27)Tentu saja semua tak semudah yang kubayangkan. Apalagi dengan wajah mengerikan bak monster seperti ini. Bisa-bisa, petugas di meja reception itu kabur atau bahkan pingsan. Aku menendang ban sepeda motor dengan kesal. Motor ini juga menjadi masalah. Di tengah malam seperti ini, rasanya dingin sekali berkendara dengan motor. Sepertinya besok aku akan meminta Mama menarik uang secara bertahap sampai cukup untuk membeli sebuah mobil. Tak apa meski hanya mobil bekas, yang penting, aku bisa lebih leluasa pergi tanpa diketahui orang banyak. Oh, jangan lupa, sepertinya aku juga harus mulai berpikir untuk pindah karena para tetangga mulai curiga. Bagaimana kalau kugunakan saja uang itu untuk menyewa apartemen di sebelah Bu Ristie supaya bisa memata-matainya? Aku yakin sekali, perempuan tua sialan itu ada dibalik usaha pembunuhan terhadapku.Aku akhirnya pulang dengan tangan hampa, kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Di saat seperti ini, aku teringat pada kehi
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (28)Ternyata banyak yang harus kukerjakan akibat kekosongan jabatan tempo hari. Beruntung, para karyawan wanita yang memang sudah kukenal sejak aku magang, banyak membantu. Terutama Siska dan Lola, Admin dan staff bagian keuangan yang bolak balik menanyakan, apakah ada yang bisa mereka bantu.Hingga tengah hari, barulah aku menyadari bahwa yang mereka lakukan, selain membantuku, memang modus supaya bisa lewat depan ruangan Banyu, karena kebetulan mereka harus melewatinya jika ingin ke ruanganku."Nggak keluar-keluar itu Pak Manager ya. Apa nggak makan siang?"Kudengar suara Lola yang bicara pada Siska dari balik partisinya."Hooh, banyak kerjaan kayaknya. Pak Ivan kan ninggalin peer.""Bisa-bisanya ya dia selingkuh sama Bu Ristie, padahal Bu Aya kurang apa coba? Cantik, kaya, ponakan Pak Bos langsung.""Sebelumnya kan bukan sama Bu Ristie. Bu Ristie mah setelah cermai, kali'... ""Sama aja. Siapapun ceweknya, Bu Ayara nggak pantas dikhianati kayak gitu.
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (49)Angel Natasha, ternyata adalah sepupu Banyu yang baru selesai menamatkan sekolah menengah atasnya di Jakarta. Dia pulang ke kampung halaman kami, karena diterima kuliah di Universitas Lampung. Tapi, bukan itu yang membuat perutku mulas saat dikenalkan padanya. Sebagai adik sepupu, Angel terlalu manja pada Banyu."Sayang, Angel itu adik sepupuku," ujar Banyu tadi. Wajahku pastilah sudah merah padam. Aku cemburu pada sepupunya yang seorang anak kecil. Sungguh memalukan. Banyu lalu menggandeng tanganku dan Cia, berjalan beriringan menuju Villa Banyu. "Jangan bilang-bilang aku cemburu padanya," bisikku jengah sebelum Banyu mengetuk pintu."Hemm, jadi, kamu mengakui kalau kamu cemburu?" Banyu ikut berbisik di telingaku, takut kedengaran oleh Cia.Aku membelalakkan mata, dan Banyu malah berhenti melangkah, menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan menatap mataku dalam-dalam. Dan aku seperti terhipnotis, tak mampu mengalihkan pandangan dari matanya. "T
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (48)"Loh, Mbak Atik nggak ikut ke pantai? Banyu dan Cia berdua saja?"Aku terkejut saat melihat Mbak Atik ada di rumah, malah sedang ikutan membuat kacang bawang dengan Mbok Irah. Kacang itu cemilan favorit kami sekeluarga dan buatan Mbok Irah, tak ada duanya."Nggak, Mbak. Saya nggak enak. Masa' bertigaan aja kesananya."Aku tertawa, "Ya, nggak apa-apa, aku percaya kok sama Mbak Atik. Mbak Atik kan sayang sama aku, nggak mungkin mau nikung, hihihi … " Mereka berdua ikut tertawa."Lah, yang mau ditikungnya juga nggak mau loh, Mbak. Ya masa Mas ganteng mau turun level sih. Eh, tapi ngomong-ngomong, Mbak Aya jangan lempeng banget juga, Mbak. Tunjukin dikit kalau Mbak cinta sama Mas Banyu. Ada cemburu-cemburu dikit gitu."Sehabis mengatakan itu, Mbak Atik tertawa. Dia memang sudah seperti kakakku daripada hanya seorang ART. Aku tertawa."Aku malu, Mbak. Aku kan sudah pernah menikah. Dia belum. Aku nggak mau keliatan ngejar-ngejar dia, atau manja-manja. Aduh
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (47)PoV AYARAHari itu juga, polisi menggeledah rumah Diska, rumah peninggalan orang tuanya yang dia tempati sendirian sepeninggal kedua orang tua dan kakaknya. Selain polisi dan wartawan, kerumunan tetangga sekitar, bahkan orang-orang entah dari mana datang bergerombol, hingga menyebabkan Kemacetan sejauh setengah kilometer. Semua orang ingin tahu seperti apa kehidupan gadis cantik yang ternyata seorang pembunuh berdarah dingin itu. Dan keadaan semakin gempar, saat polisi keluar membawa sebuah kantong mayat berwarna kuning.Jenazah Gita ditemukan disana! Dalam keadaan diawetkan oleh campuran kapur sirih dan tembakau. Jenazah yang sudah berusia beberapa hari itu, ditidurkan diatas dipan kamar paling belakang.Aku menyaksikan semua itu di depan layar televisi. Duduk bersama Ayah dan Ibu dengan tubuh merinding sekujur badan. Membayangkan bagaimana Diska berhari-hari lamanya, berada satu rumah dengan sesosok mayat. Tidur dan makan sambil menghirup udara yang