Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (28)Ternyata banyak yang harus kukerjakan akibat kekosongan jabatan tempo hari. Beruntung, para karyawan wanita yang memang sudah kukenal sejak aku magang, banyak membantu. Terutama Siska dan Lola, Admin dan staff bagian keuangan yang bolak balik menanyakan, apakah ada yang bisa mereka bantu.Hingga tengah hari, barulah aku menyadari bahwa yang mereka lakukan, selain membantuku, memang modus supaya bisa lewat depan ruangan Banyu, karena kebetulan mereka harus melewatinya jika ingin ke ruanganku."Nggak keluar-keluar itu Pak Manager ya. Apa nggak makan siang?"Kudengar suara Lola yang bicara pada Siska dari balik partisinya."Hooh, banyak kerjaan kayaknya. Pak Ivan kan ninggalin peer.""Bisa-bisanya ya dia selingkuh sama Bu Ristie, padahal Bu Aya kurang apa coba? Cantik, kaya, ponakan Pak Bos langsung.""Sebelumnya kan bukan sama Bu Ristie. Bu Ristie mah setelah cermai, kali'... ""Sama aja. Siapapun ceweknya, Bu Ayara nggak pantas dikhianati kayak gitu.
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (29)Melayat Ayah Mertuaku. Papa.Papa mertuaku, Ayah Ivan, punya kebiasaan buruk yang sama dengan anak lelakinya. Bedanya, Mama tak mau mengambil jalan yang sama denganku. Entah karena terlalu cinta atau punya pertimbangan lainnya."Selamat sore, Bu, Assalamu'alaikum."Suara Banyu yang mengembalikan kesadaranku dari mengingat wajah Papa mertuaku itu."Oh, apakah temannya Aya?""Saya Banyu, Bu. Tepatnya, saya teman Cia, dan bawahan Aya di kantor."Wajah Ibu langsung sumringah. Jelas saja Ibu tahu siapa Banyu. Tak ada hari yang terlewat tanpa mendengarkan celoteh Cia tentangnya. Dan entah apa pula yang diceritakan Mbak Atik. Kulihat senyum dan kerlingan mata Ibu berbeda.Banyu meraih tangan Ibu dan menciumnya. Ibu mengangguk-angguk."Kenapa baru sekarang main kesini?""Em, baru dapat izin dari Aya, Bu."Aih.Ibu tertawa."Ya sudah, sering-seringlah main ya. Ayahnya Aya kadang mengeluh nggak punya lawan main catur karena dia kan lelaki sendiri di rumah ini."
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (30)Ketika cinta menyapa, semua terasa bagai berada di negeri dongeng. Langit malam di atas kepalaku yang bertabur bintang, purnama tanggal lima belas, dan senyumnya yang tertinggal di pelupuk mata. Hingga mobilnya menghilang di balik pagar, aku masih terpaku, Diam-diam merasakan hangat di pipi, dan turun ke dada."Aku tahu ini terlalu cepat, Aya. Tapi sejak pertama bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu. Hanya saja, saat itu aku betul-betul tak tahu siapa kamu.""Dan sampai saat inipun, kamu belum tahu siapa aku, Banyu. Apa saja yang sudah aku alami, dan sesakit apa luka yang pernah aku rasakan.""Aku tahu.""Bagaimana kamu tahu?" Aku memicingkan mata, "Aku yakin teman-temanku ataupun Mbak Atik tak akan demikian lancang bercerita tentang aku.""Bukan mereka tentu saja. Aku tahu dari sikapmu, tatapan matamu, dan suaramu."Aku tak mampu menjawab, melainkan mulai mengingat-ingat apa saja yang pernah kulakukan atau kukatakan padanya. "Aku yakin sesu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (31)PoV AYARAAneh, seperti dulu saat masih sekolah dan pertama kali menyukai seorang lelaki, aku semangat berangkat ke kantor. Jika dulu kala SMA aku dilanda demam sebab akan bertemu pujaan hati, kini, aku benar-benar diserang badai. Tentu saja, dulu, cintaku hanya cinta monyet, yang sekedar suka lalu dengan mudahnya lenyap ketika ada hal yang membuat kecewa. Tapi, cinta yang tumbuh kini adalah cinta orang dewasa. Cinta yang sebenarnya.Aku mematut setelan blazer hitam putih yang kupakai di depan cermin. Ini adalah warna favoritku. Dua warna yang tak lekang oleh waktu dan juga tak pernah ketinggalan zaman. Selalu pantas dipakai ke acara mana saja. Setelah memastikan pakaian itu melekat sempurna, kupasangkan juga jilbab segi empat berwarna hitam, yang membuat wajahku semakin cerah.Oh, apakah wajah cerah ini karena aku yang sedang berbunga-bunga? Apakah seharusnya aku memakai lipstik merah saja dari pada nude seperti ini? Apakah …Astaga. Berhenti Ayara!
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (32)"Banyu, Lucia bukan anak kandungku, bahkan, dia juga bukan anak kandung Ivan."Sesaat, matanya melebar, menatapku tak berkedip. Banyu menarik tanganku dan kami duduk berdampingan di dalam ruanganku. "Jadi, Lucia anak siapa?"Haruskah aku berkata jujur padanya? Saat ini, meski dia mengaku mencintaiku, kami belum terikat hubungan apapun. Apakah kejujuranku nantinya justru akan menjadi bumerang?Tapi, sejak dulu, aku orang yang paling memegang teguh sebuah kebenaran, meski itu amat menyakitkan."Ayara, dengarkan aku baik-baik. Aku tidak peduli meski kau benar-benar tak bisa mengandung seorang anakpun. Karena aku mencintaimu, Aya. Kita akan pergi berobat, kita akan berusaha sekuat tenaga. Tapi, jika Tuhan menakdirkan kita tak bisa menjadi orang tua, maka ada banyak bayi di luar sana yang butuh kasih sayang. Aku tak keberatan mengadopsi anak, asal bisa bersamamu."Dia mengatakan hal itu, sambil menggenggam kedua tanganku, menatap ke kedalaman mataku. Sun
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (33)"Kamu bicara dengan siapa?"Gadis itu terkejut."Ibu, em … ini. Adik saya di kampung."Aku menatapnya dengan seksama, lalu tersadar, bahwa dandanannya terlalu sempurna untuk seorang office girl yang mengaku baru datang dari kampung. Pipi dan keseluruhan wajahnya mulus sekali, dihiasi setitik tahi lalat hitam pekat di sebelum kiri. Bola matanya berwarna kecoklatan. Alisnya rapi, berbentuk tajam dan sedikit mencuat, khas wanita yang sudah pandai berdandan. Dia memakai lipstik warna merah yang terlalu mencolok dan leher yang menyembul dari balik kerah bajunya amat putih dan mulus.Aku meletakkan gelas yang masih penuh di atas wastafel dan beranjak mendekatinya."Siapa kamu?""Eh, apa?"Dia terkejut."Kamu tidak mirip seorang gadis yang baru datang dari kampung. Kamu pandai berdandan, dan langkahmu luwes serta gemulai.""Saya dulu di kampung pernah kerja di salon, Bu. Jadi saya memang bisa dandan. Maaf, saya tidak tahu kalau disini cleaning servis tidak
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (34)"Gita?""Baguslah kalau kau masih mengenaliku, Aya."Aku mundur selangkah, tanpa melepaskan tatapan darinya."Dan apa yang kau lakukan disini? Kita tak pernah terlibat masalah secara pribadi.""Memang tidak."Gita menghela napas panjang."Aya, sudah kukatakan padamu untuk hati-hati. Ivan masih hidup."Aku tertegun sejenak. Segala kecurigaanku selama ini, perasaan seolah-olah ada seseorang yang mengawasiku, akhirnya terjawab sudah. "Apa maksud kamu?""Ivan masih hidup, Aya. Dia menemuiku, hanya saja keadaannya sudah tak sempurna lagi. Seseorang membuatnya celaka dan nyaris mati.""Siapa seseorang itu? Dan bagaimana dia menemuimu.""Seseorang itu jelas bukan aku dan melihat kau terkejut seperti itu, aku asumsikan kalau bukan kau juga. Dia sendiri sampai saat ini masih menyelidikinya. Dan tentang bagaimana caranya menemuiku, sebaiknya kau tak perlu tahu."Aku menatap perempuan ini. Perempuan yang pernah kupergoki tidur dalam selimut yang sama dengan sua
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (35)PoV AYARA"Jangan takut, Aya. Ivan sekarang cacat. Dia nggak akan bisa ngapa-ngapain kamu makanya dia minta aku membantunya. Sembunyi saja, pukul dia sampai pingsan. Aku akan panggil polisi."Di tengah-tengah rasa sakit akibat terjatuh dan terjerembab dengan kepala terbentur di lantai, Kata-kata Gita kembali terngiang. Ivan memang cacat, wajahnya pun terlihat mengerikan. Tapi, dia tidak lemah. Dia masih bisa menjegalku dan melarikan diri. Atau mungkin aku yang terlalu lemah. Shock dan setengah tak percaya karena mendapati Ivan belum mati, membuatku sedikit gemetar dan kurang waspada. Dan oh, kenapa pula polisi datang dengan membunyikan sirine? Apa yang dilaporkan oleh Gita?Suara sirine mobil polisi nyaris tiba di halaman kantor. Pintu depan menjeblak terbuka dan ternyata yang masuk lebih dulu adalah sosok seseorang yang tak pernah kuduga."Ayara? Ya Allah, ada apa ini?"Banyu langsung memelukku yang baru saja berhasil berdiri. Dia membantuku duduk se