Acara berjalan dengan lancar.
Itu adalah impian setiap orang yang menyelenggarakan sebuah kegiatan. Begitu pula dengan keluarga Anggari yang sedang merayakan hari ulang tahun Jevano yang keenam belas ini. Sejauh ini, dari awal acara dimulai, semua baik-baik saja. Acara berjalan seperti semestinya dan suasana rumah utama Anggari itu sangat kondusif.
Setidaknya itu yang dilihat oleh para orang tua.
Suara musik yang diputar, mengalun syahdu dengan tempo sedang. Seperti yang telah disepakati oleh Jalan dan Juwita di Singapura, mereka merayakan ulang tahun Jevano dengan konsep classy. No DJ party biar Jevano enggak ajeb-ajeb, kalau kata Jamal.
Tamu undangan yang datang juga bukan orang biasa. Ada para i
Sudah larut malam dan Jevano masih belum masuk ke dalam kamarnya. Dia masih berada di halaman belakang rumah utama Anggari sambil memandangi para staf EO (Event Organizer) yang sedang bekerja setelah acara ulang tahunnya selesai. Dia duduk di antara anak tangga teras yang panjang. Biasanya, dulu saat ada acara yang digelar di sekitar tempat tinggalnya sebelum ini, dia selalu disuruh membantu para tetangga bersama ayahnya untuk merapikan sisa acara. Sekarang, dia hanya diperbolehkan untuk melihat."Mas Jevano ngapain masih di sini? Enggak masuk?" ucap salah satu staf wanita EO dengan ramah. Dia membawa peralatan makan yang sudah kosong.Jevano menggeser duduknya. Dia memberikan senyuman manisnya meskipun terasa lelah. "Maaf, mengganggu Kakak, ya?"Wanita itu menggel
Jamal dan Jevano saling memandang. Pikiran mereka kosong sekarang. Mereka sama-sama melihat ke benda yang ada di dalam kotak kaca itu. Satunya tipis satunya lagi seperti termometer."Karena Bunda ragu makanya tes dua kali." Juwita tersenyum malu. Dia menahan rasa bahagianya yang meluap-luap sekarang. Terlebih lagi dia melihat reaksi suami dan anaknya yang sangat menggemaskan sekarang. "Alhamdulillah. Hasilnya positif semua.""Bae." Jamal kehilangan kata-kata. Dia langsung berdiri dan menghampiri istrinya. Dia menyela rambut Juwita dan mengecup kening wanita itu. "Bae, kamu enggak lagi bercanda, kan?" tanya Jamal tetap masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar.Juwita menerima kecupan singkat di bibir suaminya. Dia mengangguk. "Aku hamil, Mas. Aku belum tah
Jevano merebahkan badan di sofa ruangan khusus di sekolahnya dengan kasar. Kakinya terasa kram dan hatinya butuh ketenangan. Karena itulah dia meletakkan kakinya di atas sandaran sofa dengan tubuh yang terbalik. Dia memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan kepenatan yang sudah dia rasakan di pagi hari ini. Mimpi apa semalam sampai dia harus capek begini."Kenapa lo?" tanya Haikal yang lebih dulu datang daripada Jevano.Jevano tidak langsung menjawab. Dia masih butuh untuk menyelaraskan napasnya. "Gue kira udah telat ini tadi."Haikal hanya mengangguk. Di sampingnya ada Arina yang sedang mengerjakan soal-soal latihan. Rani dan Syahid belum datang. Mereka berdua baru datang setelah beberapa saat."Jevano kenapa?
Arjuna langsung mengikuti langkah Jamal saat melihat direkturnya itu datang. Dia baru saja membereskan satu berkas penting yang berisikan informasi tentang rencana kolaborasi dengan agensi model milik ibu Arina, Diyanah."Kakak!" panggil Arjuna sambil memasuki ruangan Jamal. Dia langsung menghentikan langkahnya dan menggigit bibir bawahnya saat menyadari kesalahannya, memanggil atasan dengan sapaan santai di kantor. Apalagi dia tadi belum sepenuhnya masuk. "Hehehe. Maaf, kelepasan."Jamal menyalakan komputernya dan duduk. Dia menggeleng kecil karena kelakuan Arjuna yang tak berubah sedikit pun."Gimana Juwita?" Pria itu malah berbasa-basi."Cepetan. Ada apa?" Jamal membuka email yang terkirimkan kepadanya. Ban
Lukman terpaku dan segera melipat bibirnya saat melihat Jamal yang muncul di pintu depan rumah Juwita. Dia bisa bernapas sedikit lega karena suami Juwita itu tidak melihatnya sedang memegang perut sang istri. Sebenarnya, Juwita sedari tadi sudah memintanya terus untuk memegang perut wanita itu. Akan tetapi, Lukman merasa segan saja dengan Jamal meskipun pria itu tadi tidak ada di rumahnya."Loh, Jae? Kamu kenapa pulang, Sayang?"Jamal menatap Lukman dengan tatapan yang amat tajam. Gara-gara pria itu, dia harus meninggalkan pekerjaannya. "Aku, kan, udah bilang buat tunggu aku dulu, Bae." Dia sengaja membuat ucapannya semesra mungkin. Dia berhenti tepat di depan Juwita. Kedua tangannya menangkup pipi wanita tersebut dan memberikan kecupan yang cukup lama di kening.Mata Ju
Jevano menoleh ke belakang. Dia tadi mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Akan tetapi, saat dia periksa, tak ada siapa pun yang ada di sana. Hanya ada beberapa siswa Delta Pelita yang baru datang dan turun dari mobil mereka. Kepalanya sempat celingukan, mungkin orang yang memanggilnya itu tertutup oleh kendaraan, tapi tetap saja dia tidak mendapati ada orang yang menghadapnya sama sekali.Kepala pemuda itu miring sedikit. Dia akhirnya memutuskan kalau tadi dia mungkin salah dengar. Langkahnya diteruskan. Tatapannya tidak awas karena masih memikirkan intuisinya yang dia yakin benar. Dia tadi juga merasa kalau ada yang sedang mengawasinya. Dia yakin hampir seratus persen."Jangan bengong!" Seseorang merangkul pundak Jevano dan hampir melilit lehernya.Pemuda itu meno
Jamal terdiam di tempat saat merasakan tubuhnya direngkuh dengan erat oleh wanita yang baru saja dia temui itu. Untuk sekian detik, dia merasakan getaran di seluruh tubuhnya. Getaran yang sama seperti saat dia direngkuh oleh wanita yang dia cintai dulu. Getaran yang sama yang selalu membuatnya nyaman berada dalam pelukannya di masa lalu. Getaran yang sama yang membuatnya bisa memiliki anak manis nan pintar bernama Jevano.Sejatinya, semuanya juga sama. Dia sedang dipeluk oleh wanita yang sama dengan wanita yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Wanita yang telah memenangkan dirinya dan membuatnya memilih jalannya sendiri untuk berpisah dengan keluarga besarnya."Senang bertemu denganmu lagi, Sayang." Wanita itu berbisik di telinga Jamal.Suara itu tetap
"Pulang sama siapa lo?" tanya Haikal basa basi saat dia dan Jevano beriringan berjalan di lobi gedung pertama Delta Pelita. Dia merangkul Jevano yang terlihat lebih diam daripada biasanya. Tidak enak saja kalau dia ikut-ikutan diam juga."Bunda." Jevano menjawab dengan suara rendah. "Katanya Bunda bakalan jemput gue bareng pak sopir. Enggak tahu, Bunda sekarang doyan banget jemput, padahal udah dilarang sama Ayah."Haikal menepuk-nepuk lengan atas Jevano. "Itu namanya Bunda lo dah kangen antar jemput anaknya. Nikmatin aja, Jev. Selagi lo masih punya sosok ibu."Jevano mengangguk. Ucapan Haikal tadi sebenarnya sempat membuatnya tertegun. Dia memilih untuk diam dan menuruti apa yang dikatakan oleh temannya itu daripada memperpanjang percakapan mereka tentang sosok ibu. Hai
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.