Jevano memukul pundak ayahnya saat pria itu hendak memeluk dan mengajaknya berjalan bersama. Jamal tertawa melihat kelakuan anaknya ini. Dia tetap menempel Jevano dan merangkul pundak anaknya itu. Dia mencium pipi Jevano lalu puncak kepala pemuda tersebut.
"Makasih," ucap Jamal dengan senyum lebarnya.
Jevano melirik ayahnya. Dia menghentikan langkah dan bersendekap. Tatapannya serius. "Lain kali jangan kayak gitu. Kalau aku juga mau gimana?"
Jamal menjitak kepala anaknya. "Nikah!"
Jevano mengaduh. Kepalanya dielus oleh sang ayah yang tertawa terbahak.
"Jangan aneh-aneh." Jamal mengecup kepala anaknya lagi.
Sesuai dengan apa yang sudah direncanakan oleh Jamal, dia dan Juwita mengantarkan Jevano ke rumah utama Keluarga Anggari untuk menitipkan anaknya tersebut setelah selesai packing di hari yang sama. Arjuna memberinya kabar bahwa keberangkatan menuju Singapura dimajukan jam sembilan malam. Jadi, dia dan Juwita mengantar Jevano jam tujuh malam ke rumah utama. Dengan sukacita, Tuan dan Nyonya Anggari menyambut cucu mereka. Apalagi Tuan Anggari, dia sampai meninggalkan burung murai kesayangannya demi menemui sang cucu yang baru datang."Hai, Jevano!" Tuan Anggari seperti sedang menyapa anak kecil. Dia melebarkan kedua tangannya dan mendekati sang cucu dengan wajah yang amat sangat semringah. Kakek satu ini memang agak lain."Hai, Kakek." Jevano menyapa denganriang tapi tetap kalem. Dia mendekati kakeknya dan membalas pelukan
Saat tiba di Singapura, Jamal dan Juwita tidak bisa berbagi kamar hotel yang sama. Mereka sudah dipesankan kamar hotel oleh klien mereka masing-masing, Jamal oleh calon koleganya dan Juwita oleh agensi model yang mengundangnya. Jarak antara hotel mereka pun jauh. Dunia memang mengharuskan mereka untuk bekerja giat terlebih dahulu sebelum bersenang-senang.Arjuna tertawa bahagia saat mendorong koper miliknya dan milik Jamal. Dia sungguh puas menertawakan wajah kecewa Jamal dan Juwita yang tadi dia lihat saat mereka harus berpisah. "Makanya, kerja, ya, kerja. Bulan madunya jangan dicampur dengan yang lain. Entar manisnya enggak kerasa." Dia menempelkan kartu pass kamar dan membuka pintu.Jamal mendorong pintu dengan kaki setengah menendang. Dia meraih leher Arjuna dari belakang dan menyeret pria itu untuk masuk. "Puas, hah? Pua
Jevano pulang dijemput oleh sopir pribadi yang disiapkan oleh neneknya. Dia memasuki rumah utama keluarga Anggari dengan santai. Rasanya dia ingin segera merebahkan diri di kasur saja sebelum nanti belajar dan ... tentu saja main game. Dia harus menghilangkan penat setelah ditanyai banyak hal oleh guru pembimbingnya, Bu Felecia. Dulu, dia mengira dengan ada guru pembimbing (tak hanya guru BK) akan sangat membantu. Tapi, sekarang pemikirannya berubah, menurutnya itu sangat merepotkan."Cucu Kakek udah pulang? Enggak jadi ke hypermarket?" Suara Tuan Anggari membuat Jevano menghentikan langkahnya di ruang tengah. "Wajah kamu kenapa lesu kayak gitu?"Jevano mengerucutkan bibirnya dan berjalan menuju sang kakek. Dia duduk di sebelah sang kakek yang sedang bersantai dengan buku bacaannya. "Capek, Kek. Ditanya terus sama guru pembim
Jevano, Syahid, dan Haikal membawa dua troli penuh ke kasir. Ini juga sudah lewat diskusi panjang dan kesepakatan bersama. Rasanya malu juga bawa barang belanjaan segini banyak. Mana isinya cuma makanan ringan dan minuman kemasan lagi. Mereka kayak sedang memperlihatkan bagaimana remaja yang suka ngemil. Untung mereka tidak gemuk dan cukup berotot. Paling cuma Haikal yang punya kepala bunda dan pipi chubby."Lo beneran bawa debit, kan, ya? Masa iya kita mau kredit kek gini." Haikal tidak mau malunya bertambah."Tenang. Gue bawa dompet, kok. Udah gue cek semua. Kalau enggak bawa pun gue bawa hp. Bisa langsung bayar online." Jevano memeriksa kantongnya dan aman."Atau kalau enggak, ya, minjem kamu dulu, Kal." Syahid memberikan solusi yang membuat senyuman Jevano terulas le
Juwita membuka matanya. Dia mengatur pernapasan dengan perlahan hingga kesadarannya kembali penuh. Matanya menatap langit-langit yang cukup asing di memorinya. Dia baru ingat kalau tidak sedang berada di kamarnya.Tangan lentik itu meraih gawai yang tergeletak asal di sampingnya. Dia menyalakan benda itu dan melihat pukul berapa sekarang. Ternyata masih terlalu pagi untuk bangun dan dia hanya tidur dua jam semalam. Seingatnya dia berangkat tidur jam satu. Sekarang masih jam tiga dan dia tidak merasakan kantuk sama sekali. Astaga, padahal badannya terasa remuk semua seperti ini. Sepertinya dia harus memasukkan spa di daftar jadwalnya di Singapura ini.Juwita bangkit dari kasur sambil membawa gawainya dan menuju kamar mandi. Kemarin malam dia hanya sempat membilas badannya saja tanpa sanggup membersihkan secara keseluruhan. Bad
Jadwal padat, menghadiri acara demi acara, bertemu dengan banyak manusia, berpose di hadapan banyak kamera flash, tersenyum seharian meskipun tenaga hampir habis adalah definisi dari melelahkan yang sesungguhnya. Jamal dan Juwita telah menyelesaikan jadwal mereka di hari kelima. Mereka sama-sama kembali ke hotel masing-masing menggunakan mobil pribadi yang sudah disiapkan oleh perusahaan. Punggung mereka bersandar dengan nyaman ke jok, melepaskan lelah yang menghinggapi seluruh tubuh mereka. Mata mereka terpejam dan napas mereka perlahan mulai teratur."Kak, aku akan terbang besok pagi ke Indonesia. Ada yang mau dititipin?" tanya Arjuna kepada Jamal yang duduk di sampingnya.Jamal membuka matanya. Dia menoleh ke arah manager sekaligus asistennya ini. "Dititipin buat siapa?"
Hari ini adalah hari di mana Jamal dan Juwita bertemu. Malam ini adalah malam saat mereka harus segera melepas rindu. Mereka sudah mengatur rencana dan jadwal apa saja yang akan mereka lakukan berdua selama sembilan hari yang tersisa di Singapura. Berawal dari check in ke hotel yang sama hingga memilih kamar dengan pelayanan terbaik. Tentu saja mereka tidak akan menyiakan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama di sini. Termasuk di atas kasur.Suara napas Juwita dan Jamal terdengar bersahut-sahutan. Kegiatan ranjang memang pilihan yang tepat untuk melepaskan rindu. Pria itu merebahkan tubuhnya di sebelah sang istri. Senyumannya terulas sangat lebar di bibir. Dia menarik Juwita ke dalam pelukan dan mendekap wanita yang dicintainya itu dengan erat. Dia mencium bibir istrinya lalu kening. "Aku tahu kamu pasti sudah muak, Juwita. Tapi, aku tidak akan berhenti mengatakan bahwa aku
Jevano berjalan di lobi sekolah dengan lemas. Kedua tangannya dia sakukan di celana. Kepalanya menunduk. Kakinya setengah menendang udara. Dia persis sekali seperti orang galau yang kelaparan tapi semua warung tutup. Percuma saja punya uang kalau tak ada yang dimakan. Sama dengan dirinya, percuma saja sudah punya bunda tapi tidak ada telepon untuk menanyai kabarnya.Seperti Jevano yang tak acuh biasanya, dia tidak mempedulikan bisik-bisik para siswa yang sedang memandang ke arahnya. Dia bisa mendengar dengan jelas malahan apa yang mereka ucapkan tapi sekedar melirik saja Jevano sungguh malas. Dia tak punya energi sekarang. Entah apa itu energi."Jev!"Barulah saat mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya, dia mengangkat wajah. Tubuhnya hampir oleng dan terja
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.