Jadwal padat, menghadiri acara demi acara, bertemu dengan banyak manusia, berpose di hadapan banyak kamera flash, tersenyum seharian meskipun tenaga hampir habis adalah definisi dari melelahkan yang sesungguhnya. Jamal dan Juwita telah menyelesaikan jadwal mereka di hari kelima. Mereka sama-sama kembali ke hotel masing-masing menggunakan mobil pribadi yang sudah disiapkan oleh perusahaan. Punggung mereka bersandar dengan nyaman ke jok, melepaskan lelah yang menghinggapi seluruh tubuh mereka. Mata mereka terpejam dan napas mereka perlahan mulai teratur.
"Kak, aku akan terbang besok pagi ke Indonesia. Ada yang mau dititipin?" tanya Arjuna kepada Jamal yang duduk di sampingnya.
Jamal membuka matanya. Dia menoleh ke arah manager sekaligus asistennya ini. "Dititipin buat siapa?"
Hari ini adalah hari di mana Jamal dan Juwita bertemu. Malam ini adalah malam saat mereka harus segera melepas rindu. Mereka sudah mengatur rencana dan jadwal apa saja yang akan mereka lakukan berdua selama sembilan hari yang tersisa di Singapura. Berawal dari check in ke hotel yang sama hingga memilih kamar dengan pelayanan terbaik. Tentu saja mereka tidak akan menyiakan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama di sini. Termasuk di atas kasur.Suara napas Juwita dan Jamal terdengar bersahut-sahutan. Kegiatan ranjang memang pilihan yang tepat untuk melepaskan rindu. Pria itu merebahkan tubuhnya di sebelah sang istri. Senyumannya terulas sangat lebar di bibir. Dia menarik Juwita ke dalam pelukan dan mendekap wanita yang dicintainya itu dengan erat. Dia mencium bibir istrinya lalu kening. "Aku tahu kamu pasti sudah muak, Juwita. Tapi, aku tidak akan berhenti mengatakan bahwa aku
Jevano berjalan di lobi sekolah dengan lemas. Kedua tangannya dia sakukan di celana. Kepalanya menunduk. Kakinya setengah menendang udara. Dia persis sekali seperti orang galau yang kelaparan tapi semua warung tutup. Percuma saja punya uang kalau tak ada yang dimakan. Sama dengan dirinya, percuma saja sudah punya bunda tapi tidak ada telepon untuk menanyai kabarnya.Seperti Jevano yang tak acuh biasanya, dia tidak mempedulikan bisik-bisik para siswa yang sedang memandang ke arahnya. Dia bisa mendengar dengan jelas malahan apa yang mereka ucapkan tapi sekedar melirik saja Jevano sungguh malas. Dia tak punya energi sekarang. Entah apa itu energi."Jev!"Barulah saat mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya, dia mengangkat wajah. Tubuhnya hampir oleng dan terja
Acara berjalan dengan lancar.Itu adalah impian setiap orang yang menyelenggarakan sebuah kegiatan. Begitu pula dengan keluarga Anggari yang sedang merayakan hari ulang tahun Jevano yang keenam belas ini. Sejauh ini, dari awal acara dimulai, semua baik-baik saja. Acara berjalan seperti semestinya dan suasana rumah utama Anggari itu sangat kondusif.Setidaknya itu yang dilihat oleh para orang tua.Suara musik yang diputar, mengalun syahdu dengan tempo sedang. Seperti yang telah disepakati oleh Jalan dan Juwita di Singapura, mereka merayakan ulang tahun Jevano dengan konsep classy. No DJ party biar Jevano enggak ajeb-ajeb, kalau kata Jamal.Tamu undangan yang datang juga bukan orang biasa. Ada para i
Sudah larut malam dan Jevano masih belum masuk ke dalam kamarnya. Dia masih berada di halaman belakang rumah utama Anggari sambil memandangi para staf EO (Event Organizer) yang sedang bekerja setelah acara ulang tahunnya selesai. Dia duduk di antara anak tangga teras yang panjang. Biasanya, dulu saat ada acara yang digelar di sekitar tempat tinggalnya sebelum ini, dia selalu disuruh membantu para tetangga bersama ayahnya untuk merapikan sisa acara. Sekarang, dia hanya diperbolehkan untuk melihat."Mas Jevano ngapain masih di sini? Enggak masuk?" ucap salah satu staf wanita EO dengan ramah. Dia membawa peralatan makan yang sudah kosong.Jevano menggeser duduknya. Dia memberikan senyuman manisnya meskipun terasa lelah. "Maaf, mengganggu Kakak, ya?"Wanita itu menggel
Jamal dan Jevano saling memandang. Pikiran mereka kosong sekarang. Mereka sama-sama melihat ke benda yang ada di dalam kotak kaca itu. Satunya tipis satunya lagi seperti termometer."Karena Bunda ragu makanya tes dua kali." Juwita tersenyum malu. Dia menahan rasa bahagianya yang meluap-luap sekarang. Terlebih lagi dia melihat reaksi suami dan anaknya yang sangat menggemaskan sekarang. "Alhamdulillah. Hasilnya positif semua.""Bae." Jamal kehilangan kata-kata. Dia langsung berdiri dan menghampiri istrinya. Dia menyela rambut Juwita dan mengecup kening wanita itu. "Bae, kamu enggak lagi bercanda, kan?" tanya Jamal tetap masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar.Juwita menerima kecupan singkat di bibir suaminya. Dia mengangguk. "Aku hamil, Mas. Aku belum tah
Jevano merebahkan badan di sofa ruangan khusus di sekolahnya dengan kasar. Kakinya terasa kram dan hatinya butuh ketenangan. Karena itulah dia meletakkan kakinya di atas sandaran sofa dengan tubuh yang terbalik. Dia memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan kepenatan yang sudah dia rasakan di pagi hari ini. Mimpi apa semalam sampai dia harus capek begini."Kenapa lo?" tanya Haikal yang lebih dulu datang daripada Jevano.Jevano tidak langsung menjawab. Dia masih butuh untuk menyelaraskan napasnya. "Gue kira udah telat ini tadi."Haikal hanya mengangguk. Di sampingnya ada Arina yang sedang mengerjakan soal-soal latihan. Rani dan Syahid belum datang. Mereka berdua baru datang setelah beberapa saat."Jevano kenapa?
Arjuna langsung mengikuti langkah Jamal saat melihat direkturnya itu datang. Dia baru saja membereskan satu berkas penting yang berisikan informasi tentang rencana kolaborasi dengan agensi model milik ibu Arina, Diyanah."Kakak!" panggil Arjuna sambil memasuki ruangan Jamal. Dia langsung menghentikan langkahnya dan menggigit bibir bawahnya saat menyadari kesalahannya, memanggil atasan dengan sapaan santai di kantor. Apalagi dia tadi belum sepenuhnya masuk. "Hehehe. Maaf, kelepasan."Jamal menyalakan komputernya dan duduk. Dia menggeleng kecil karena kelakuan Arjuna yang tak berubah sedikit pun."Gimana Juwita?" Pria itu malah berbasa-basi."Cepetan. Ada apa?" Jamal membuka email yang terkirimkan kepadanya. Ban
Lukman terpaku dan segera melipat bibirnya saat melihat Jamal yang muncul di pintu depan rumah Juwita. Dia bisa bernapas sedikit lega karena suami Juwita itu tidak melihatnya sedang memegang perut sang istri. Sebenarnya, Juwita sedari tadi sudah memintanya terus untuk memegang perut wanita itu. Akan tetapi, Lukman merasa segan saja dengan Jamal meskipun pria itu tadi tidak ada di rumahnya."Loh, Jae? Kamu kenapa pulang, Sayang?"Jamal menatap Lukman dengan tatapan yang amat tajam. Gara-gara pria itu, dia harus meninggalkan pekerjaannya. "Aku, kan, udah bilang buat tunggu aku dulu, Bae." Dia sengaja membuat ucapannya semesra mungkin. Dia berhenti tepat di depan Juwita. Kedua tangannya menangkup pipi wanita tersebut dan memberikan kecupan yang cukup lama di kening.Mata Ju