Jevano menoleh dengan cepat dan menyembunyikan gawainya. Dia melotot ke arah temannya itu, isyarat untuk diam. Syahid berdiri di belakangnya sambil membawa minuman empat gelas di tangannya. Kedua lelaki itu saling memandang dan mengedipkan mata beberapa hitungan. Mereka berdua sama-sama kaget dan melongo.
"Kalian berdua kalau dilihat-lihat mirip juga. Malah udah kayak anak kembar," ucap pak sopir yang beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil minuman di tangan tuan mudanya.
"Siapa, Pak?" tanya Arina yang datang dan meletakkan dua bungkus makanan di tangannya di atas meja bundar yang tersedia.
"Mas Syahid sama Mas Jevano ini." Pria empat puluh tahun itu berisyarat dengan dagunya kepada dua lelaki yang masih membeku di tempat masing-masing. Syahid berdiri di belakang J
"Belum tidur, Bae?" tanya Jamal langsung saat sambungan teleponnya bersambut. Dia sedang merebahkan tubuhnya sejenak di atas sofa, menunggu Arjuna yang sedang ijin ke kamar mandi. Kata pria itu, perutnya sakit habis mencoba makan pizza dengan saus jalapeno. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Jamal untuk menelepon sang istri."Kangen, Jae."Jamal melebarkan matanya. Senyumannya mengembang. "Tunggu. Tunggu. Aku enggak salah dengar, kan?""Enggak." Suara Juwita terdengar serak."Hey, Bae. Kamu nangis?""Pengin.""Bae, maaf. Aku enggak bisa pulang sekarang. Kalau kerjaannya udah kelar, aku langsung pulang.
Jevano dan teman-temannya melongo. Sejak dari pintu gerbang, mereka dibuat terpukau dengan taman villa High Hills milik Nyonya Anggari ini. Ada pepohonan yang menjulang tinggi dan juga berbagai tumbuhan bunga yang menghiasinya. Meskipun langit sudah gelap, penerangan yang ada di taman memberitahukan kepada mereka tentang hijaunya rumput yang terhampar di sana."Anjir ini villa apa mansion?" Haikal dan mulut blak-blakannya mewakili perasaan semua teman-temannya yang melihat ke luar jendela.Tadi, di depan sana ada tiga penjaga. Mereka melihat penjaga juga di pintu masuk bangunan tersebut. Di teras juga ada. Lampu yang menyorot bangunan tersebut membuatnya terlihat semakin megah dan seakan tidak nyata."Jevano, beneran ini villanya?" tanya Rani tanpa menoleh ke teman
Jamal mengaktifkan mode telepon nirkabel di mobilnya. Dia tidak mau menyiakan teknologi maju kendaraannya. Pun itu mempermudahnya untuk mengemudi."Halo, Bae. Kamu di rumah?" tanya Jamal langsung. Dia masih ingat perkataan istrinya yang tidak mau bertemu dengannya hari ini yang disampaikan tadi malam. Walaupun dia tahu itu hanya gurauan, tapi ... rasanya akan sangat mengecewakan saat tahu dengan benar bahwa ucapan istrinya adalah kebenaran."Iya. Emang kenapa, Jae?" Juwita baru saja selesai membuat kukis. Dia ingin mencoba resep dari kenalan mamanya yang menjual kue dan roti. Dia tidak berniat untuk menjajakannya ke orang lain, cukup keluarganya saja.Jamal menghela napas lega. "Syukurlah. Kamu enggak jadi ke butik, kan, hari ini? Sabtu, loh."
Jamal memarkirkan mobilnya di garasi dengan tenang, baik, dan tenteram. Dia menutup kembali gerbang yang telah dia buka sendiri itu. Langkahnya sangat mantap memasuki rumahnya. "Bae!" panggilnya bersemangat. Entah, sejak kantuknya hilang, dia jadi tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang malah berdebar sangat kencang saat ini. Rasanya dia ingin segera bertemu dengan sang istri dan melepas segala kerinduan yang sedari kemarin dia pendam sendiri."Apa?"Jamal terjingkat kaget. Juwita ada di balik pintu dan memasang senyuman lebarnya. Ah, wajah ayu itu, dia sangat merindukannya. Maka dengan segera, dia mendekap sang istri dan membawanya ke dalam pelukan erat. Dia membiarkan tas kantornya jatuh begitu saja di lantai. Paling isinya hanya berkas dan gawainya. Itu tidak terlalu penting dibandingkan dengan wanita yang membalas pel
Jamal duduk di kursi yang biasanya dia tempati ketika makan bersama. Dia menarik tangan Juwita untuk bisa mendudukkan wanita itu di pangkuannya. Juwita hampir oleng. Di tangannya ada sepiring nasi, lengkap dengan lauk dan pauknya."Hampir jatuh, loh, aku, Jae." Juwita menggigit hidung suaminya. Dia sangat kaget dengan kelakuan suaminya yang tidak tahu ukuran itu.Jamal malah terkekeh dan memeluk pinggang Juwita dengan erat. Dia meletakkan dagunya di atas pundak sang istri. "Ada aku. Jangan khawatir.""Jangan khawatir bagaimana? Kamu jelas-jelas tahu kalau aku sedang membawa piring. Kalau jatuh, kaki kita bisa terluka, ih," kesalnya."Udah, deh. Sini. Aaaa. Aku mau disuapin sama kamu." Jamal dan sikap manjanya ini me
Lima anak orang kaya itu merebahkan punggungnya ke kursi mobil dengan mengeluarkan napas lega. Ini sudah jam sepuluh dan mereka baru saja berangkat dari villa untuk menuju Jatim Park. Belum juga mereka ke sana, tapi sudah berkeringat dan terlihat capek. Padahal hawa Batu sangat dingin di pagi hari seperti ini. Bahkan saat siang hari pun masih dingin. Ah, memang mereka saja yang banyak tingkah."Drama banget, anjrit. Mau liburan aja susah amat." Haikal menggerutu. Dia duduk di samping Jevano di belakang. Syahid tetap di depan bersama sopir. Rani di tengah, bersama Arina. Gadis itu tidak mau duduk di samping Haikal."Gara-gara kamu, Kal." Rani protes. Dia meminum air mineral di botol yang dia bawa. Napasnya masih terengah."Ngapain gue? Kalian juga kagak ada yang ingetin g
Di kamar orang tua Jevano ....Juwita membuka matanya. Pertama kali yang dia lihat adalah wajah suaminya, Jamal. Seorang pria yang ternyata pernah dia temui saat masih dua belas tahun dan dia marahi pula. Kini pria itu terbaring di sisinya dengan napas yang sangat tenang. Pria ceroboh yang dia marahi karena bayinya yang menggigil itu berhasil membesarkan bayi tersebut dengan baik. Bahkan sangat baik hingga membuatnya tak ingin dikatakan bahwa anak duda itu bukan anaknya. Cukup rumit, tapi dia sangat menyayangi Jevano sepenuh hati.Juwita mengubah posisinya untuk miring ke Jamal. Dia ingin menghadap suaminya. Dia berhenti sejenak saat merasakan perih di antara selakangannya. Dia merasakan becek di sana. Akan tetapi, dia malah mengulaskan senyuman. Entah, ketakutannya akan rasa sakit dulu malah berubah jadi sebuah ketentraman d
Mobil Syahid terparkir dengan baik di bawah pohon. Meskipun hawa di kota ini tidak akan sepanas Surabaya ataupun gurun pasir, sopir Syahid lebih suka jika memarkir mobil di bawah pohon. Dia bisa bersantai di sana sambil menunggu tuan muda dan teman-temannya bermain."Ini, Pak. Dipakai aja. Nanti urusannya biar aku yang bilang ke Mama. Tenang aja." Syahid memberikan kartu ATM miliknya untuk sopirnya. Dia tidak lupa untuk mengedipkan matanya. Gaya sok ganjen begini memang terkadang membuat orang yang mengenal Syahid sebagai orang pendiam jadi jantungan. Masalahnya kedipan sebelah mata milik anak Pak Suwono ini cukup mematikan bagi jantung lemah. Saran, jangan pernah berteman dengan Syahid jika kalian tidak mau mati cepat."Weeh. Flex." Teman-temannya yang tadi saat berangkat hampir tawuran itu pun ngecengi dia. Tidak ingat kala
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.