"Belum tidur, Bae?" tanya Jamal langsung saat sambungan teleponnya bersambut. Dia sedang merebahkan tubuhnya sejenak di atas sofa, menunggu Arjuna yang sedang ijin ke kamar mandi. Kata pria itu, perutnya sakit habis mencoba makan pizza dengan saus jalapeno. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Jamal untuk menelepon sang istri.
"Kangen, Jae."
Jamal melebarkan matanya. Senyumannya mengembang. "Tunggu. Tunggu. Aku enggak salah dengar, kan?"
"Enggak." Suara Juwita terdengar serak.
"Hey, Bae. Kamu nangis?"
"Pengin."
"Bae, maaf. Aku enggak bisa pulang sekarang. Kalau kerjaannya udah kelar, aku langsung pulang.
Jevano dan teman-temannya melongo. Sejak dari pintu gerbang, mereka dibuat terpukau dengan taman villa High Hills milik Nyonya Anggari ini. Ada pepohonan yang menjulang tinggi dan juga berbagai tumbuhan bunga yang menghiasinya. Meskipun langit sudah gelap, penerangan yang ada di taman memberitahukan kepada mereka tentang hijaunya rumput yang terhampar di sana."Anjir ini villa apa mansion?" Haikal dan mulut blak-blakannya mewakili perasaan semua teman-temannya yang melihat ke luar jendela.Tadi, di depan sana ada tiga penjaga. Mereka melihat penjaga juga di pintu masuk bangunan tersebut. Di teras juga ada. Lampu yang menyorot bangunan tersebut membuatnya terlihat semakin megah dan seakan tidak nyata."Jevano, beneran ini villanya?" tanya Rani tanpa menoleh ke teman
Jamal mengaktifkan mode telepon nirkabel di mobilnya. Dia tidak mau menyiakan teknologi maju kendaraannya. Pun itu mempermudahnya untuk mengemudi."Halo, Bae. Kamu di rumah?" tanya Jamal langsung. Dia masih ingat perkataan istrinya yang tidak mau bertemu dengannya hari ini yang disampaikan tadi malam. Walaupun dia tahu itu hanya gurauan, tapi ... rasanya akan sangat mengecewakan saat tahu dengan benar bahwa ucapan istrinya adalah kebenaran."Iya. Emang kenapa, Jae?" Juwita baru saja selesai membuat kukis. Dia ingin mencoba resep dari kenalan mamanya yang menjual kue dan roti. Dia tidak berniat untuk menjajakannya ke orang lain, cukup keluarganya saja.Jamal menghela napas lega. "Syukurlah. Kamu enggak jadi ke butik, kan, hari ini? Sabtu, loh."
Jamal memarkirkan mobilnya di garasi dengan tenang, baik, dan tenteram. Dia menutup kembali gerbang yang telah dia buka sendiri itu. Langkahnya sangat mantap memasuki rumahnya. "Bae!" panggilnya bersemangat. Entah, sejak kantuknya hilang, dia jadi tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang malah berdebar sangat kencang saat ini. Rasanya dia ingin segera bertemu dengan sang istri dan melepas segala kerinduan yang sedari kemarin dia pendam sendiri."Apa?"Jamal terjingkat kaget. Juwita ada di balik pintu dan memasang senyuman lebarnya. Ah, wajah ayu itu, dia sangat merindukannya. Maka dengan segera, dia mendekap sang istri dan membawanya ke dalam pelukan erat. Dia membiarkan tas kantornya jatuh begitu saja di lantai. Paling isinya hanya berkas dan gawainya. Itu tidak terlalu penting dibandingkan dengan wanita yang membalas pel
Jamal duduk di kursi yang biasanya dia tempati ketika makan bersama. Dia menarik tangan Juwita untuk bisa mendudukkan wanita itu di pangkuannya. Juwita hampir oleng. Di tangannya ada sepiring nasi, lengkap dengan lauk dan pauknya."Hampir jatuh, loh, aku, Jae." Juwita menggigit hidung suaminya. Dia sangat kaget dengan kelakuan suaminya yang tidak tahu ukuran itu.Jamal malah terkekeh dan memeluk pinggang Juwita dengan erat. Dia meletakkan dagunya di atas pundak sang istri. "Ada aku. Jangan khawatir.""Jangan khawatir bagaimana? Kamu jelas-jelas tahu kalau aku sedang membawa piring. Kalau jatuh, kaki kita bisa terluka, ih," kesalnya."Udah, deh. Sini. Aaaa. Aku mau disuapin sama kamu." Jamal dan sikap manjanya ini me
Lima anak orang kaya itu merebahkan punggungnya ke kursi mobil dengan mengeluarkan napas lega. Ini sudah jam sepuluh dan mereka baru saja berangkat dari villa untuk menuju Jatim Park. Belum juga mereka ke sana, tapi sudah berkeringat dan terlihat capek. Padahal hawa Batu sangat dingin di pagi hari seperti ini. Bahkan saat siang hari pun masih dingin. Ah, memang mereka saja yang banyak tingkah."Drama banget, anjrit. Mau liburan aja susah amat." Haikal menggerutu. Dia duduk di samping Jevano di belakang. Syahid tetap di depan bersama sopir. Rani di tengah, bersama Arina. Gadis itu tidak mau duduk di samping Haikal."Gara-gara kamu, Kal." Rani protes. Dia meminum air mineral di botol yang dia bawa. Napasnya masih terengah."Ngapain gue? Kalian juga kagak ada yang ingetin g
Di kamar orang tua Jevano ....Juwita membuka matanya. Pertama kali yang dia lihat adalah wajah suaminya, Jamal. Seorang pria yang ternyata pernah dia temui saat masih dua belas tahun dan dia marahi pula. Kini pria itu terbaring di sisinya dengan napas yang sangat tenang. Pria ceroboh yang dia marahi karena bayinya yang menggigil itu berhasil membesarkan bayi tersebut dengan baik. Bahkan sangat baik hingga membuatnya tak ingin dikatakan bahwa anak duda itu bukan anaknya. Cukup rumit, tapi dia sangat menyayangi Jevano sepenuh hati.Juwita mengubah posisinya untuk miring ke Jamal. Dia ingin menghadap suaminya. Dia berhenti sejenak saat merasakan perih di antara selakangannya. Dia merasakan becek di sana. Akan tetapi, dia malah mengulaskan senyuman. Entah, ketakutannya akan rasa sakit dulu malah berubah jadi sebuah ketentraman d
Mobil Syahid terparkir dengan baik di bawah pohon. Meskipun hawa di kota ini tidak akan sepanas Surabaya ataupun gurun pasir, sopir Syahid lebih suka jika memarkir mobil di bawah pohon. Dia bisa bersantai di sana sambil menunggu tuan muda dan teman-temannya bermain."Ini, Pak. Dipakai aja. Nanti urusannya biar aku yang bilang ke Mama. Tenang aja." Syahid memberikan kartu ATM miliknya untuk sopirnya. Dia tidak lupa untuk mengedipkan matanya. Gaya sok ganjen begini memang terkadang membuat orang yang mengenal Syahid sebagai orang pendiam jadi jantungan. Masalahnya kedipan sebelah mata milik anak Pak Suwono ini cukup mematikan bagi jantung lemah. Saran, jangan pernah berteman dengan Syahid jika kalian tidak mau mati cepat."Weeh. Flex." Teman-temannya yang tadi saat berangkat hampir tawuran itu pun ngecengi dia. Tidak ingat kala
Napas mereka memburu. Peluh yang berjatuhan dari dahi membasahi tubuh mereka. Hawa dingin sekitar tak mampu membendung panasnya suhu tubuh mereka."Gila, anjir. Kenapa pasukannya juga banyak banget. Untung gue narik lo biar enggak keseret. Bisa enggak keluar-keluar kita." Haikal memegang dadanya yang berdegup kencang. Dia membungkuk dan menyangga badannya dengan memegang lutut. Begitu pula dengan Rani."Iya, anjir. Kayak mau mati aja. Untuk enggak koit di dalem." Rani ikut mengomentari.Syahid masih berdiri tegak. Dia bersedekap melihat kedua temannya yang mengoceh itu. Dia mencep. "Yang antusias siapa. Yang teriak-teriak siapa. Yang kena teriakan siapa." Dia mengusap-usap dan menjentikkan jari di sebelah telinganya, mengetes apakah bagian tubuhnya itu masih berfungsi.