Mobil Syahid terparkir dengan baik di bawah pohon. Meskipun hawa di kota ini tidak akan sepanas Surabaya ataupun gurun pasir, sopir Syahid lebih suka jika memarkir mobil di bawah pohon. Dia bisa bersantai di sana sambil menunggu tuan muda dan teman-temannya bermain.
"Ini, Pak. Dipakai aja. Nanti urusannya biar aku yang bilang ke Mama. Tenang aja." Syahid memberikan kartu ATM miliknya untuk sopirnya. Dia tidak lupa untuk mengedipkan matanya. Gaya sok ganjen begini memang terkadang membuat orang yang mengenal Syahid sebagai orang pendiam jadi jantungan. Masalahnya kedipan sebelah mata milik anak Pak Suwono ini cukup mematikan bagi jantung lemah. Saran, jangan pernah berteman dengan Syahid jika kalian tidak mau mati cepat.
"Weeh. Flex." Teman-temannya yang tadi saat berangkat hampir tawuran itu pun ngecengi dia. Tidak ingat kala
Napas mereka memburu. Peluh yang berjatuhan dari dahi membasahi tubuh mereka. Hawa dingin sekitar tak mampu membendung panasnya suhu tubuh mereka."Gila, anjir. Kenapa pasukannya juga banyak banget. Untung gue narik lo biar enggak keseret. Bisa enggak keluar-keluar kita." Haikal memegang dadanya yang berdegup kencang. Dia membungkuk dan menyangga badannya dengan memegang lutut. Begitu pula dengan Rani."Iya, anjir. Kayak mau mati aja. Untuk enggak koit di dalem." Rani ikut mengomentari.Syahid masih berdiri tegak. Dia bersedekap melihat kedua temannya yang mengoceh itu. Dia mencep. "Yang antusias siapa. Yang teriak-teriak siapa. Yang kena teriakan siapa." Dia mengusap-usap dan menjentikkan jari di sebelah telinganya, mengetes apakah bagian tubuhnya itu masih berfungsi.
Arifin berdehem. Dia melirik ke arah Jevano sejenak. Sepertinya ada yang salah dengan pertanyaan yang baru saja dia dengar. Atmosfer udara Batu yang dingin ini malah terasa sedikit gerah. "Oh, Karina itu temennya Jevano dulu yang suka sama dia. Suka banget kejar-kejar dia sampai Jevano kesel sendiri. Tapi, Jevano sekarang udah beda kasta hahaha. Mereka udah enggak ketemu lagi. Malah ada yang namanya Arina sekarang."Jevano membulatkan matanya. Masnya ini sekali ngomong bikin hatinya tidak karuan. Masalahnya bisa semua hal yang sengaja dia sembunyikan dan tidak dia bahas jadi ketahuan oleh teman-temannya. Astaga, dia harus bagaimana kalau begini. Masa mau mengusir masnya. Dia aja masih kangen dengan lelaki itu."Hahaha. Enggak usah dipikirin. Teman aku di sana, kok." Jevano yang kikuk berusaha mengalihkan perhatian. Untu
Juwita melihat ke arah Jamal yang masih belum lengkap berpakaian dari atas kasur. Setelah melewati hari yang panas berdua saja di rumah, atas kasur dan di kamar mandi, mereka akhirnya melepas tautan yang seakan tidak ingin terurai itu."Pakai kaos?" tanya Juwita yang bersandar di kepala kasur beralaskan bantal empuk miliknya. Kakinya menyilang ke guling. Rasa intinya masih sakit dan perih. Padahal dia sudah berendam air hangat bersama Jamal tadi. Ya ... meskipun setelah itu dia harus mendapatkan gempuran lagi."Kalau enggak pakai kaos, aku harus pakai apa?" tanya Jamal yang merasa aneh dengan pertanyaan istrinya."Shirtless? Lebih sexy, Jae." Juwita menggigit telunjuknya.Jamal menoleh ke istrinya dengan cepat. Dia
Jevano pulang. Entah Jamal harus senang karena akan bertemu dengan anaknya dan bisa berbincang lagi setelah tiga hari tidak bertemu. Apalagi dia mendapatkan kabar dari Juwita kalau Jevano ingin tidak ikut liburan bersama teman-temannya karena kangen. Atau ... dia harus sedih karena kini dia tidak bisa berduaan lagi bersama Juwita untuk menjelajahi rumah mereka ini dengan cinta dan kasih mereka. Dilema memang mantan duda satu ini. Dia terhitung pengantin baru tapi anaknya sudah besar. Malahan Jevano sudah masuk umur pubertas. Sudah waktunya diberikan pelajaran tentang pengolahan hati, jiwa, dan hasrat yang akan bercampur aduk dalam satu waktu."Jae, kamu kenapa melamun?" Juwita mendekati Jamal yang duduk di balik meja kerjanya di lantai dua. Suaminya baru saja menyelesaikan meeting dadakan bersama dewan komisaris perusahaan. Untung saja meeting dilakukan secara online. Dia tidak usah repot-repot untuk menin
Jamal bersantai di teras dengan secangkir kopi setelah menyelesaikan kegiatan merapikan rumput halaman. Ternyata pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh anaknya lumayan terasa juga di badannya. Tak ada Jevano di rumah saat akhir pekan seperti ini juga agak susah ternyata. Tiba-tiba saja dia teringat dengan bocah itu. Bagaimana kabar Jevano di sana sekarang?Saat dia seperti itu, netranya menangkap siluet mobil hitam yang berhenti di depan gerbang rumahnya. Dengan sedikit penasaran, dia bangkit dan menghampiri ke gerbang. Senyumannya berkembang saat tahu siapa yang baru saja datang."Ayah!" seru Jevano saat mendengar suara gerbang dibuka. Dia sedikit berlarian keluar dari mobil. Lelaki itu langsung memeluk ayahnya dengan erat.Teman-temannya yang lain melongo. Ternyata Jevano sedekat itu dengan ayahnya. Mere
Hari ini Juwita mengantarkan Jevano seperti biasanya. Sebenarnya tadi Jamal ingin mereka satu mobil saja karena pria itu juga ingin berangkat bareng bersama Jevano dan Juwita. Namun, sepertinya dia harus menunda acara berangkat bareng itu hingga saat ini. Arjuna meneleponnya dan mengatakan bahwa mereka harus sampai di bandara kurang dari jam sembilan. Walhasil, Jamal harus mempersiapkan kebutuhannya terlebih dahulu sebelum akhirnya harus pergi ke luar kota. Entah sampai berapa hari.Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi empuk kelas utama pesawat yang ditumpanginya. Di sebelahnya ada Arjuna yang masih sibuk dengan tab yang dia bawa. Pria di sampingnya ini terlihat sangat santai, berbeda dengannya yang masih berdebar. "Kamu enggak takut, Arjuna?" tanya Jamal ke pria itu?Arjuna mengangkat kepalanya. "Apa? Takut apaan?" Dia malah celingukan ke kanan dan ke ki
Juwita dan Hellen benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan sangat baik. Mereka ke salon, belanja kebutuhan rumah, dan shopping. Untuk ke salon dan shopping baju sudah mereka lakukan. Tinggal belanja kebutuhan rumah dan juga nongkrong di kafe sampai datang waktu menjemput Jevano."Lo enggak ajak Jevano ke mall lagi?" Hellen ingat saat Juwita menceritakan tentang si bocah diajak oleh sahabatnya tersebut ke mall pertama kali. Kalau membayangkan jevano yang dia kenal sekarang dengan apa yang dulu diceritakan oleh Juwita ... rasanya geli dan gemas sendiri. Pasti wajah Jevano sangat lucu."Sekarang, bukan gue lagi yang ngajak ke mall. Dia yang maksa mau jalan-jalan ke mana aja sama gue sama ayahnya. Tuh anak kalau punya tekad, enggak bakalan nyerah sampai dapet apa yang dia mau." Juwita sedang memilih bawang bombay."
Mimik wajah Juwita yang sedang panik memang tidak bisa disembunyikan. Gurat kekhawatiran terukir sempurna di muka ayu wanita itu. Bekas air matanya masih terlihat. Hidung dan pipinya masih memerah. Matanya pun masih bengkak."Tapi enggak papa, kan, Dok? Jevano masih boleh beraktivitas seperti biasanya?" tanya Juwita sebenarnya sangat ingin mengatakan yang sebaliknya. Akan tetapi, dia juga harus menjaga cara mendidik Jevano dari Jamal. Dia boleh khawatir tapi, tidak boleh berlebihan juga. Sangat sulit sebenarnya, apalagi di keadaan sekarang."Masih, kok. Tangan Jevano tidak begitu parah. Hanya bergeser sedikit dan sudah ditangani dengan baik. Mungkin seminggu juga bisa pulih kembali." Keterangan dari dokter itu membuat hati Juwita lega.Wanita itu meraih pundak anaknya dan mencium kening lelaki itu dengan penuh sayan
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.