Jamal menutup pintu kamar Juwita di lantai dua rumah utama Keluarga Anggari itu dengan pelan. Kamar itu otomatis menjadi kamarnya juga. Keadaan rumah juga hening. Dia tidak mau membuat kegaduhan meskipun hanya suara pintu. Saat mengangkat pandangannya, keningnya berkerut karena mendapati anak laki-lakinya berdiri tak jauh dari sana. Kini, di rumah besar itu hanya tinggal keluarga kecilnya dan para pelayan. Kedua mertuanya sudah pergi sedari tadi. Bahkan Tuan Anggari sengaja mempercepat kepergiannya dengan sang istri dan tidak membiarkan wanita itu untuk mengetahui tentang kejadian yang anaknya alami. Bisa gawat nanti. Mungkin Jamal harus berterima kasih kepada mertuanya untuk itu. Jevano mendekat dengan langkah bimbang. Dia sedikit menggigit bibir bawahnya. Beberapa jemarinya tertaut sedikit bergetar. "Ayah," sapanya yang terdengar seperti tawanan yang bersalah. Jamal menghadap penuh ke anaknya. "Ada apa, Jev?" tanyanya santai. Dia melihat gelagat anakn
Saat Jamal diajak ke ruang kerja Tuan Anggari tadi, Jevano kebingungan akan melakukan apa. Dia harus menghadapi nenek dan bundanya tanpa sang ayah. Berkat inisiatif yang dikombinasikan dengan kebiasaannya di rumah, dia pun mendekati Juwita. "Ada yang perlu dibantu, Tante?" tanyanya datar. Juwita yang sedang sibuk dengan semangka utuh pun menoleh. Dia tersenyum. "Enggak, sayang. Kamu duduk aja di situ sambil nunggu ini selesai. Kamu suka semangka?" tanya Juwita dengan penuh kehangatan. Jevano diam dan menoleh ke sana kemari. Para pelayan memberesi piring dan makanan sisa. Dia melihat ke arah dapur, melihat pelayan menyisihkan makanan sisa ke tempat yang lain. Entah mengapa hatinya agak sakit melihat itu. Apakah ini yang biasa dilakukan para pelayan itu, menyisihkan makanan untuk mereka makan? Pun kenapa mereka tidak makan bersama tadi? Rasanya hatinya tercabik. Orang kaya memang berbeda, ya? Juwita yang merasakan tidak ada pergerakan dari Jevano pun menoleh ke arah anaknya. Lalu di
Juwita membuka matanya. Kesadarannya belum sempurna kembali. Tadi siang, dia tertidur setelah menghubungi bawahannya di butik dan mengabarkan tentang keadaan kakinya. Untung saja para pekerjanya bisa diandalkan. Dia juga menyampaikan bahwa dia mungkin tidak bisa menemui klien mereka yang dari Singapura itu. Tentu saja dia juga menunjuk Erika untuk menggantikannya. Wanita itu menggeliat. Merenggangkan sendinya yang terasa mampat. Dia berusaha duduk dan bersandar. Tidak lupa dia mencoba untuk menggerakkan kakinya perlahan seperti kata dokter, untuk latihan. Ternyata masih sakit sekali. Juwita melihat ke seluruh penjuru kamarnya. Sepi sekali. Bahkan tidak ada suara apa pun dari luar. Ah, dia baru ingat kalau suaminya tadi berpamitan untuk mengambil beberapa barang yang diperlukan. Dia bingung akan melakukan apa. Lebih lagi dengan keadaan kaki yang seperti itu. Tangannya meraih gawainya yang ada di atas nakas. Dia menggulir layar di media sosial dan melihat-lihat postingan yang berhubu
Lima hari telah berlalu sedangkan Tuan serta Nyonya Anggari tidak ada di rumah mereka. Tuan Anggari memutuskan untuk mengajak istrinya sekalian jalan-jalan dan menginap di salah satu villa mereka yang berada di Malang. Salah satu trik juga agar istrinya tidak mengetahui tentang kaki anaknya. Otomatis, rumah utama Keluarga Anggari pun diambil alih oleh keluarga Juwita.Jamal dan Jevano juga mulai terbiasa hidup dan menggunakan fasilitas rumah besar itu. Juwita selalu berusaha membuat mereka nyaman dan meminta mereka untuk menganggap rumah tersebut seperti rumah sendiri. Dia menunjukkan letak ruangan dan barang-barang yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan kebosanan mereka.Terlebih Jevano. Anaknya itu tidak mempunyai kegiatan wajib apa pun. Ya, dia maklum karena Jevano masih dalam masa liburan. Namun yang mengherankan, selama tinggal di sini, anak itu tidak pernah keluar rumah sama sekali. Dia malah menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan milik papanya. Padahal isinya
"Ayah enggak ikut?" tanya Jevano saat melihat ayahnya duduk di ruang tengah dengan banyak kertas yang mengelilinginya. Ayahnya terlihat sangat sibuk dan serius membaca tulisan di kertas yang bertumpuk-tumpuk itu."Hmm?" Jamal tidak menoleh sedikit pun. Dia malah mengangkat tangannya dan menunjukkan telapaknya kepada Jevano. Suara kertas yang dibolak-balik memenuhi kesunyian untuk beberapa saat.Jevano masih berdiri di tempatnya, sabar menunggu jawaban dari sang ayah. Dia menyempatkan diri untuk melihat pakaian yang dia kenakan. Terasa nyaman dan pas di tubuhnya. Juga ... sangat keren. Bahkan dia tadi terus menatap refleksinya sendiri di cermin. Dia hampir tidak percaya bahwa yang dia tatap di cermin adalah dirinya sendiri. Meskipun dibelikan bundanya secara daring, ternyata hasilnya saat dia pakai tidak mengecewakan. Astaga, dia mungkin lupa kalau bundanya adalah seorang penyelam dunia fashion."Apa?" Jamal menoleh. Dia tersenyum melihat tampilan anaknya. Sangat tampan, sama seperti d
Juwita menghampiri Jevano yang berdiri di teras rumah. Dia mencolek pundak pemuda itu. "Maaf, ya, Bunda agak lama."Jevano hanya menoleh sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. "Hmm. Enggak papa, Tante." Tetap saja nada bicaranya datar seperti triplek. Satu lagi, sebutan itu belum juga berganti."Kamu tunggu di sini, ya. Bunda mau ambil mobil dulu." Juwita berpamitan. Dia meninggalkan belaian di rambut Jevano lalu pergi ke garasi.Tanpa sepengetahuan Juwita, pemuda itu tersenyum meskipun tipis. Dia pun tetap berdiri setia menunggu bundanya sambil memandang luas halaman depan rumah kakeknya ini. Sangat asri sekali. Dia sangat betah. Terlebih lagi semua orang yang ada di sini ramah. Bahkan tanpa keluar rumah pun kebutuhannya sudah tercukupi.Jevano menghela napas dalam. Ini akan menjadi perjalanan pertamanya untuk bepergian dengan wanita yang berkedudukan sebagai ibunya. Ya, meskipun bukan ibu kandung, tapi dia sangat bersemangat. Yang biasanya dia hanya pergi dengan aya
Di tengah perjalanan, tidak ada konversasi di antara Juwita dan Jevano. Mereka berdua sama-sama diam dan fokus dengan jalan depan. Terkadang, jika tertarik dengan pemandangan, Jevano akan mengikutkan arah pandangnya hingga menyamping.Sedari tadi, Juwita mencuri-curi pandang ke arah anaknya. Setelah Jevano menghindarinya tadi, dia jadi agak ragu untuk mengajak bicara pemuda itu. Dia pun memilih untuk menyalakan radio dan menyetel gelombang yang biasa dia dengarkan bersama Hellen ketika bersama. Sebenarnya Hellen yang sangat menyukai gelombang itu, karena biasanya para pembawa suaranya memutar lagu Kpop. Dia hanya ikut-ikutan. Sejujurnya, dia tiba-tiba teringat dengan wanita itu setelah merasa tertolak tadi. Rasanya ingin curhat saja.Terdengar satu lagu boy group yang baru diputar di radio itu. Nadanya seperti ketukan beraturan yang jarang lalu disusul dengan rap dari salah satu anggotanya."Boom?" Jevano berguman dalam keheningan.Juwita langsung menoleh. Dia membagi perhatian ke ana
Mata Jevano tidak bisa tenang melihat sekitar. Hawa di Pakuwon Mall sungguh berbeda dengan mall yang pernah dia kunjungi bersama ayahnya. Sangat jauh malahan. Entah ini karena dirinya yang sangat jarang pergi ke mall atau memang hanya jiwanya saja yang sedang meronta-ronta. Benar kata ayahnya, hidup mereka sudah berubah sekarang. Bahkan berubah seratus delapan puluh derajat. Sedari tadi juga dia hanya mengintil bundanya dan tetap menjaga jarak dekat dengan wanita itu. Bisa gawat kalau dia tersesat di mall sebesar ini."Kita beli apa dulu, nih?" tanya Juwita sambil terus berjalan. Dia memelankan langkahnya agar bisa berjalan beriringan dengan Jevano. Senyumannya selalu mengembang untuk anaknya itu."Terserah." Tubuh Jevano agak mepet dengan bundanya. Bahkan dia agak maju, mendahului sehingga bundanya ada di belakang tubuhnya. Dia melihat beberapa orang pria yang berpakaian rapi sedang berjalan di arah yang berlawanan. Beberapa dari mereka melihat ke arah bundanya dengan tatapan intens.
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.