Hellen baru keluar dari kamar mandi dan masih memakai bathrobe serta handuk yang melilit di kepalanya. Segar sekali jomlo satu ini. Terasa seperti terlahir kembali setelah hibernasi hampir dua belas jam."Ngapain, Kak?" tanyanya kepada Juwita yang terlihat sedang tekun di atas kasur. Dia mendatangi dan memosisikan diri duduk di samping sahabatnya."Benerin jaket kamu yang robek kemarin. Lagian, sok aja pakai jas putih dokter, tingkah masih kayak berandalan." Tangan Juwita sangat terampil dalam hal jahit menjahit. Pun dengan sulam menyulam. Jaket Hellen yang robek bagian tangan pun terlihat seperti batu lagi saat diperbaiki dirinya.Juwita mengangkat tangannya, menengadah di depan muka Hellen. Jemarinya melambai. "Bayarannya." Telapak tangannya pun langsung ditepul keras."Ogah. Gue juga enggak minta lo buat perbaikin itu. Buat apa bayar!"Juwita tertawa. "Mana tega gue narik lo bayar. Kasihan dompet miskin lo.""Heh, sembarangan Anda ya!" Hellen tidak terima. Dia melepaskan handuk yan
Puas. Itu adalah kata yang memenuhi diri Jevano untuk menutup hari Ahad ini. Seharian tadi, dia berjalan-jalan dengan ayahnya ke mana pun dia mau. Sudah lama sekali dia tidak diajak ayahnya jalan-jalan seperti ini. Selain karena sang ayah yang semakin sibuk bekerja, dia juga sibuk belajar dan lain-lain.Pun kali ini berbeda dengan jalan-jalan yang dulu. Dia tidak usah menahan diri saat menginginkan sesuatu karena ayahnya selalu membelikan apa yang dia mau. Tidak seperti dulu yang harus penuh perhitungan dan pertanyaan: "Kamu mau itu untuk apa?" dari ayahnya. Bahkan tadi dia bisa memakan es krim tiga kali dalam sehari. Yang lebih mengesankan adalah dia dituruti jalan-jalan dan menikmati berbagai wahana di taman hiburan. Ya ampun, rasanya bahagia sekali."Mandi, terus istirahat." Jamal mengusap kepala anaknya saat memasuki rumah."Belajarnya?" tanya Jevano polos dengan senyuman yang masih sangat lebar."Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Jevano. Ayah tidak akan mempertanyakan sepert
Jevano langsung menegakkan badannya saat mendengar suara halus mesin mobil dan gerbang depan yang dibuka. Fokus belajarnya langsung terpecah. Dia meletakkan penanya dan memutar otak. Dia harus mencari alasan yang natural untuk keluar kamar. Pastinya dia masih mempunyai gengsi dalam dirinya yang besar meskipun dia sedang dilanda rindu yang tak kalah besar.Setelah mendapatkan alasan yang tepat dan sekiranya dirinya akan stay cool jika ditanya, dia pun membulatkan diri untuk keluar kamar dan turun tangga. Baru sampai setengah tangga, dia bisa melihat ayahnya yang sedang membuka pintu yang terhubung dengan garasi. Muncul wanita yang sangat tidak asing dari balik pintu itu dan langsung memeluk ayahnya.Jevano menegapkan badannya dan melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Dia berlagak senatural mungkin. Sekalian memperlihatkan dirinya untuk disapa dan diberi atensi."Jev?" Sapaan itu sedikit membuatnya kecewa. Suara pria, bukan wanita. Bukan itu yang dia harapkan."Iya?" Dia menghadap ke
Juwita menatap Jamal lama. Dia tidak menemukan kata 'main-main' di manik suaminya. Jujur, dia sempat tertegun mendengar perkataan Jamal barusan. Mereka masih berpelukan dan Juwita sekarang mulai merasakan detak jantung yang berdegup kencang, terjalin seirama di antara mereka."Mas," lirih Juwita, tetap menatap Jamal yang masih setia memandangnya."Hmm." Jamal berdehem dengan suara dalamnya. Bahkan Juwita bisa merasakan getaran suara yang mengalir dari pita suara Jamal ke dadanya. Memberikan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya."Kenapa harus meminta ijin?" tanya Juwita. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak salah tingkah. Sungguh, dia bisa merasakan pipinya mulai memanas."Perjanjian kita, Juwita. Kamu masih ingat, kan, bahwa kita dulu memulainya dengan memaklumi keadaan satu sama lain. Kamu juga membolehkan aku untuk memilih wanita yang akan aku sukai meskipun kita telah terikat seperti ini."Juwita mengangguk. Dia sangat ingat dengan itu semua. Bahkan dia sudah menyi
Jevano membuka mata bahkan sebelum alarm yang dia pasang berbunyi. Jarum kecil jam dinding menunjuk angka antara tiga dan empat, membuat pemuda itu mendengkus berat dan sengaja tengkurap sambil memeluk gulingnya. Rasanya malas sekali untuk bangkit dari kasur. Tapi, hati kecilnya dari tadi sudah ribut menyuruhnya untuk belajar, menambal jam yang kemarin dia tinggalkan.Dengan sangat berat hati, mau tidak mau, dia harus bangun. Duduk menghadap meja belajar dan membuat dirinya fokus dengan pelajaran nanti. Dia harus giat kalau mau cepat selesai.Tiga puluh menit berlalu. Pemuda itu bisa mendengar alarm di gawainya yang mulai berbunyi. Dia segera mematikannya dan mengemasi buku pelajaran hari ini di tas. Selanjutnya, dia membuka pintu ke balkon. Sejenak, dia menikmati suasana pagi buta yang sangat tentram itu. Sebisa mungkin dia mengisi paru-parunya dengan udara yang bersih dan sejuk itu. Mungkin saja itu bisa membuat hatinya sedikit longgar. Setelah puas dengan ritual menyerap energi ala
Juwita mengambil tempat makan serta satu hidangan yang ada di atas meja makan. Dia memasukkan nasi, lauk, dan buah-buahan yang sudah dia potong ke dalam wadah bekal dan menatanya berjajar di atas bar luar dapur, supaya mudah untuk mengambilnya nanti. Dia meletakkan piring yang telah kosong di washtafel. Bahkan sampai dia selesai menyiapkan bekal pun suami dan anaknya belum juga turun.Sudah jam tujuh. Bahkan mereka belum sarapan. Dia hendak mendatangi mereka berdua lagi namun belum sampai tangga, dia sudah mendengar langkah tergesa dari atas sana. Akhirnya yang ditunggu datang juga.Jevano turun terlebih dahulu. Dia sudah berpakaian lengkap dengan seragam hari Senin dan tas yang dia tenteng asal. Untung tadi dia sempat belajar lagi dan memasukkan buku pelajarannya ke tas dengan baik. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadi
Jevano menggenggam tangannya erat. Dia ingin sekali mengumpat. Pokoknya kesal pol. Akan tetapi, dia berusaha menenangkan diri. Mungkin sang bunda memiliki masalah, banyak kerjaan, atau apalah itu yang membuat bundanya irit bicara tidak seperti biasanya. Dia mencoba untuk memaklumi keadaan bundanya meskipun saat dijemput, dia juga tidak mendapatkan pertanyaan atau percakapan dari wanita tersebut. Jangankan percakapan, sepatah kata "Hai, Jev," yang biasa dia dengar saja tidak dia dapatkan.Lebih parahnya, hal itu bertahan hingga hari Rabu. Tak ada kata yang keluar dari bundanya sama sekali. Mereka hanya melakukan rutinitas bersama kecuali dialog. Dia memang masih diantar jemput oleh bundanya, dibawakan bekal, dimasakkan makan malam dan makan bersama sang ayah untuk menutup hari. Selain itu? Dia merasa tidak dianggap sama sekali.
Tatapan kedua pemuda itu saling mengunci satu sama lain. Sangat tajam dan tak ada yang gentar, tak ada yang mau mengalah.Haikal mendengkus dengan seringai mencemooh. "Lo yakin ngajak gue duel?" Dia mengibas-ngibaskan tangannya dan merenggangkan jemarinya.Jevano mengepalkan tangannya dengan erat hingga otot-otot lengannya terlihat dengan jelas, mendapatkan perhatian kagum dari para gadis di kelas Haikal. Namun, itu bukanlah yang dia pedulikan sekarang. Dia menunggu saat yang tepat untuk menyerang. "Ayo berantem," ajaknya lagi.Akan tetapi, ketegangan yang sudah terbangun dengan baik antara dua pemuda dan seisi kelas pun harus buyar karena teriakan Rani yang memasuki kelas itu. "Bocah gendheng!" Si kecil Rani pun dengan kekuatan penuh, menarik kerah Jevano dari belakang dan menyerat lelaki itu keluar kelas. Meskipun kecil, dia tidak bisa diremehkan. Lihat saja bagaimana Jevano yang berbadan lebih bisa terseret oleh gadis yang hanya sebatas pundak dari tingginya."Lepasin aku!" Jevano