BRRAKK!!Pintu itu terbuka dengan keras, membuat seorang wanita yang ada di dalam ruangan terlonjak kaget."Itu pintu rumah sakit bisa opname juga, Kak, kalau kamu bukanya kayak orang kelebihan tenaga!" Hellen mengelus dadanya yang sedang dipukul-pukul oleh jantungnya dari dalam. Tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, sepagi ini sudah datang padahal janji mereka kemarin jam sembilan pagi. Masalahnya, ini belum pergantian shift. Mau apa wanita di hadapannya ini?"Sumppwaah! Suwebel gue!" Juwita menutup pintu dengan pelan dan melemparkan tas jinjingnya ke kasur yang ada di ruang periksa Hellen. Sekalian dia rebahkan tubuhnya juga di sana. Tidak peduli dengan baju modis miliknya.Hellen segera berlarian ke pintu masuk. Dia membukanya sedikit dan menyembulkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri. Mungkin saja ada orang yang akan masuk. Dirasa aman, dia pun menutup pintu ruangannya dengan rapat, lalu menghadap ke sahabatnya yang sudah rebahan sambil menatap langit-langit rumah sakit.
Sudah pukul sepuluh malam. Jamal yang tadinya menyelesaikan laporan yang kemarin sempat tertunda karena pulang cepat pun memutuskan untuk mengecek keadaan anaknya. Dia membuka pintu kamar anak itu tapi yang dia temukan malah kamar yang kosong. Dia pun memutuskan untuk melangkah ke bawah. Mungkin saja anaknya sedang melihat film di ruang tengah. Tidak mungkin juga kalau anaknya tersebut pergi keluar rumah tanpa izin. Bukan Jevano sekali kalau begitu.Benar saja, saat sampai di tengah tangga, dia melihat anaknya ada di ruang tengah."Enggak tidur, Jev?" tanya Jamal, mendekati anaknya yang duduk di sofa. Posisi duduk pemuda itu agak melorot, menatap layar gawainya serius meski dia malah terlihat tanpa minat. Kakinya berada di atas sandaran."Bentar lagi. Besok masih libur,
"Hei." Pria berjaket kulit cokelat itu menyapa seorang wanita yang duduk sendirian di taman perumahan. Dia masih dengan senyuman pamer lesung pipi meski terlihat khawatir. "Hellen mana?" tanyanya lantas duduk di sebelah wanita itu, Juwita.Juwita tersenyum kecut. Dia menggeleng. "Enggak ikut. Dia habis jaga kemarin dan aku enggak tega lihat dia tepar sejak pulang dari jalan-jalan tadi.""Berarti kamu nyetir sendiri ke sini?" tanya pria itu, Jamal, memastikan.Juwita mengangguk lemah. Dia bisa menangkap nada tidak setuju dari suaminya.Helaan napas Jamal terdengar berat. "Lain kali jangan sendirian kayak gini, ya? Antisipasi aja kalau ada sesuatu yang enggak diinginkan kayak dulu."
Hari Ahad. Hari libur seperti ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untuk para murid dan pekerja kantoran. Mereka bisa menghabiskan waktu untuk melakukan apa yang mereka mau dengan sepuasnya. Namun, berbeda lagi ceritanya dengan hari Ahad Jevano yang sangat membosankan dan sepi di rumah kali ini. Ya, setidaknya itu yang membuatnya malas sekali untuk beranjak di kasur. Setelah bangun pagi dan menyapu rumah, dia kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan terlentang lebar di atas ranjang seperti bintang laut di lautan.Ketukan di pintu kamar Jevano terdengar jelas. "Jev, kamu enggak makan?" tanya sebuah suara dari balik pintu yang langsung mengundang dengkusan pemuda lima belas tahun itu."Ayah masak apa?" tanya Jevano balik. Dia malas sekali mau membuka pintu. Tapi, tak urung juga dia bergerak untuk menghadap ayahnya. Rasanya tidak pantas kalau bercakap tanpa berhadapan langsung. Apalagi yang berbicara adalah orang tuanya. "Maaf. Ayah masak apa?" ulangnya lagi setelah membuka
Hellen baru keluar dari kamar mandi dan masih memakai bathrobe serta handuk yang melilit di kepalanya. Segar sekali jomlo satu ini. Terasa seperti terlahir kembali setelah hibernasi hampir dua belas jam."Ngapain, Kak?" tanyanya kepada Juwita yang terlihat sedang tekun di atas kasur. Dia mendatangi dan memosisikan diri duduk di samping sahabatnya."Benerin jaket kamu yang robek kemarin. Lagian, sok aja pakai jas putih dokter, tingkah masih kayak berandalan." Tangan Juwita sangat terampil dalam hal jahit menjahit. Pun dengan sulam menyulam. Jaket Hellen yang robek bagian tangan pun terlihat seperti batu lagi saat diperbaiki dirinya.Juwita mengangkat tangannya, menengadah di depan muka Hellen. Jemarinya melambai. "Bayarannya." Telapak tangannya pun langsung ditepul keras."Ogah. Gue juga enggak minta lo buat perbaikin itu. Buat apa bayar!"Juwita tertawa. "Mana tega gue narik lo bayar. Kasihan dompet miskin lo.""Heh, sembarangan Anda ya!" Hellen tidak terima. Dia melepaskan handuk yan
Puas. Itu adalah kata yang memenuhi diri Jevano untuk menutup hari Ahad ini. Seharian tadi, dia berjalan-jalan dengan ayahnya ke mana pun dia mau. Sudah lama sekali dia tidak diajak ayahnya jalan-jalan seperti ini. Selain karena sang ayah yang semakin sibuk bekerja, dia juga sibuk belajar dan lain-lain.Pun kali ini berbeda dengan jalan-jalan yang dulu. Dia tidak usah menahan diri saat menginginkan sesuatu karena ayahnya selalu membelikan apa yang dia mau. Tidak seperti dulu yang harus penuh perhitungan dan pertanyaan: "Kamu mau itu untuk apa?" dari ayahnya. Bahkan tadi dia bisa memakan es krim tiga kali dalam sehari. Yang lebih mengesankan adalah dia dituruti jalan-jalan dan menikmati berbagai wahana di taman hiburan. Ya ampun, rasanya bahagia sekali."Mandi, terus istirahat." Jamal mengusap kepala anaknya saat memasuki rumah."Belajarnya?" tanya Jevano polos dengan senyuman yang masih sangat lebar."Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Jevano. Ayah tidak akan mempertanyakan sepert
Jevano langsung menegakkan badannya saat mendengar suara halus mesin mobil dan gerbang depan yang dibuka. Fokus belajarnya langsung terpecah. Dia meletakkan penanya dan memutar otak. Dia harus mencari alasan yang natural untuk keluar kamar. Pastinya dia masih mempunyai gengsi dalam dirinya yang besar meskipun dia sedang dilanda rindu yang tak kalah besar.Setelah mendapatkan alasan yang tepat dan sekiranya dirinya akan stay cool jika ditanya, dia pun membulatkan diri untuk keluar kamar dan turun tangga. Baru sampai setengah tangga, dia bisa melihat ayahnya yang sedang membuka pintu yang terhubung dengan garasi. Muncul wanita yang sangat tidak asing dari balik pintu itu dan langsung memeluk ayahnya.Jevano menegapkan badannya dan melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Dia berlagak senatural mungkin. Sekalian memperlihatkan dirinya untuk disapa dan diberi atensi."Jev?" Sapaan itu sedikit membuatnya kecewa. Suara pria, bukan wanita. Bukan itu yang dia harapkan."Iya?" Dia menghadap ke
Juwita menatap Jamal lama. Dia tidak menemukan kata 'main-main' di manik suaminya. Jujur, dia sempat tertegun mendengar perkataan Jamal barusan. Mereka masih berpelukan dan Juwita sekarang mulai merasakan detak jantung yang berdegup kencang, terjalin seirama di antara mereka."Mas," lirih Juwita, tetap menatap Jamal yang masih setia memandangnya."Hmm." Jamal berdehem dengan suara dalamnya. Bahkan Juwita bisa merasakan getaran suara yang mengalir dari pita suara Jamal ke dadanya. Memberikan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya."Kenapa harus meminta ijin?" tanya Juwita. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak salah tingkah. Sungguh, dia bisa merasakan pipinya mulai memanas."Perjanjian kita, Juwita. Kamu masih ingat, kan, bahwa kita dulu memulainya dengan memaklumi keadaan satu sama lain. Kamu juga membolehkan aku untuk memilih wanita yang akan aku sukai meskipun kita telah terikat seperti ini."Juwita mengangguk. Dia sangat ingat dengan itu semua. Bahkan dia sudah menyi