Sudah pukul sepuluh malam. Jamal yang tadinya menyelesaikan laporan yang kemarin sempat tertunda karena pulang cepat pun memutuskan untuk mengecek keadaan anaknya. Dia membuka pintu kamar anak itu tapi yang dia temukan malah kamar yang kosong. Dia pun memutuskan untuk melangkah ke bawah. Mungkin saja anaknya sedang melihat film di ruang tengah. Tidak mungkin juga kalau anaknya tersebut pergi keluar rumah tanpa izin. Bukan Jevano sekali kalau begitu.
Benar saja, saat sampai di tengah tangga, dia melihat anaknya ada di ruang tengah.
"Enggak tidur, Jev?" tanya Jamal, mendekati anaknya yang duduk di sofa. Posisi duduk pemuda itu agak melorot, menatap layar gawainya serius meski dia malah terlihat tanpa minat. Kakinya berada di atas sandaran.
"Bentar lagi. Besok masih libur,
"Hei." Pria berjaket kulit cokelat itu menyapa seorang wanita yang duduk sendirian di taman perumahan. Dia masih dengan senyuman pamer lesung pipi meski terlihat khawatir. "Hellen mana?" tanyanya lantas duduk di sebelah wanita itu, Juwita.Juwita tersenyum kecut. Dia menggeleng. "Enggak ikut. Dia habis jaga kemarin dan aku enggak tega lihat dia tepar sejak pulang dari jalan-jalan tadi.""Berarti kamu nyetir sendiri ke sini?" tanya pria itu, Jamal, memastikan.Juwita mengangguk lemah. Dia bisa menangkap nada tidak setuju dari suaminya.Helaan napas Jamal terdengar berat. "Lain kali jangan sendirian kayak gini, ya? Antisipasi aja kalau ada sesuatu yang enggak diinginkan kayak dulu."
Hari Ahad. Hari libur seperti ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untuk para murid dan pekerja kantoran. Mereka bisa menghabiskan waktu untuk melakukan apa yang mereka mau dengan sepuasnya. Namun, berbeda lagi ceritanya dengan hari Ahad Jevano yang sangat membosankan dan sepi di rumah kali ini. Ya, setidaknya itu yang membuatnya malas sekali untuk beranjak di kasur. Setelah bangun pagi dan menyapu rumah, dia kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan terlentang lebar di atas ranjang seperti bintang laut di lautan.Ketukan di pintu kamar Jevano terdengar jelas. "Jev, kamu enggak makan?" tanya sebuah suara dari balik pintu yang langsung mengundang dengkusan pemuda lima belas tahun itu."Ayah masak apa?" tanya Jevano balik. Dia malas sekali mau membuka pintu. Tapi, tak urung juga dia bergerak untuk menghadap ayahnya. Rasanya tidak pantas kalau bercakap tanpa berhadapan langsung. Apalagi yang berbicara adalah orang tuanya. "Maaf. Ayah masak apa?" ulangnya lagi setelah membuka
Hellen baru keluar dari kamar mandi dan masih memakai bathrobe serta handuk yang melilit di kepalanya. Segar sekali jomlo satu ini. Terasa seperti terlahir kembali setelah hibernasi hampir dua belas jam."Ngapain, Kak?" tanyanya kepada Juwita yang terlihat sedang tekun di atas kasur. Dia mendatangi dan memosisikan diri duduk di samping sahabatnya."Benerin jaket kamu yang robek kemarin. Lagian, sok aja pakai jas putih dokter, tingkah masih kayak berandalan." Tangan Juwita sangat terampil dalam hal jahit menjahit. Pun dengan sulam menyulam. Jaket Hellen yang robek bagian tangan pun terlihat seperti batu lagi saat diperbaiki dirinya.Juwita mengangkat tangannya, menengadah di depan muka Hellen. Jemarinya melambai. "Bayarannya." Telapak tangannya pun langsung ditepul keras."Ogah. Gue juga enggak minta lo buat perbaikin itu. Buat apa bayar!"Juwita tertawa. "Mana tega gue narik lo bayar. Kasihan dompet miskin lo.""Heh, sembarangan Anda ya!" Hellen tidak terima. Dia melepaskan handuk yan
Puas. Itu adalah kata yang memenuhi diri Jevano untuk menutup hari Ahad ini. Seharian tadi, dia berjalan-jalan dengan ayahnya ke mana pun dia mau. Sudah lama sekali dia tidak diajak ayahnya jalan-jalan seperti ini. Selain karena sang ayah yang semakin sibuk bekerja, dia juga sibuk belajar dan lain-lain.Pun kali ini berbeda dengan jalan-jalan yang dulu. Dia tidak usah menahan diri saat menginginkan sesuatu karena ayahnya selalu membelikan apa yang dia mau. Tidak seperti dulu yang harus penuh perhitungan dan pertanyaan: "Kamu mau itu untuk apa?" dari ayahnya. Bahkan tadi dia bisa memakan es krim tiga kali dalam sehari. Yang lebih mengesankan adalah dia dituruti jalan-jalan dan menikmati berbagai wahana di taman hiburan. Ya ampun, rasanya bahagia sekali."Mandi, terus istirahat." Jamal mengusap kepala anaknya saat memasuki rumah."Belajarnya?" tanya Jevano polos dengan senyuman yang masih sangat lebar."Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Jevano. Ayah tidak akan mempertanyakan sepert
Jevano langsung menegakkan badannya saat mendengar suara halus mesin mobil dan gerbang depan yang dibuka. Fokus belajarnya langsung terpecah. Dia meletakkan penanya dan memutar otak. Dia harus mencari alasan yang natural untuk keluar kamar. Pastinya dia masih mempunyai gengsi dalam dirinya yang besar meskipun dia sedang dilanda rindu yang tak kalah besar.Setelah mendapatkan alasan yang tepat dan sekiranya dirinya akan stay cool jika ditanya, dia pun membulatkan diri untuk keluar kamar dan turun tangga. Baru sampai setengah tangga, dia bisa melihat ayahnya yang sedang membuka pintu yang terhubung dengan garasi. Muncul wanita yang sangat tidak asing dari balik pintu itu dan langsung memeluk ayahnya.Jevano menegapkan badannya dan melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Dia berlagak senatural mungkin. Sekalian memperlihatkan dirinya untuk disapa dan diberi atensi."Jev?" Sapaan itu sedikit membuatnya kecewa. Suara pria, bukan wanita. Bukan itu yang dia harapkan."Iya?" Dia menghadap ke
Juwita menatap Jamal lama. Dia tidak menemukan kata 'main-main' di manik suaminya. Jujur, dia sempat tertegun mendengar perkataan Jamal barusan. Mereka masih berpelukan dan Juwita sekarang mulai merasakan detak jantung yang berdegup kencang, terjalin seirama di antara mereka."Mas," lirih Juwita, tetap menatap Jamal yang masih setia memandangnya."Hmm." Jamal berdehem dengan suara dalamnya. Bahkan Juwita bisa merasakan getaran suara yang mengalir dari pita suara Jamal ke dadanya. Memberikan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya."Kenapa harus meminta ijin?" tanya Juwita. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak salah tingkah. Sungguh, dia bisa merasakan pipinya mulai memanas."Perjanjian kita, Juwita. Kamu masih ingat, kan, bahwa kita dulu memulainya dengan memaklumi keadaan satu sama lain. Kamu juga membolehkan aku untuk memilih wanita yang akan aku sukai meskipun kita telah terikat seperti ini."Juwita mengangguk. Dia sangat ingat dengan itu semua. Bahkan dia sudah menyi
Jevano membuka mata bahkan sebelum alarm yang dia pasang berbunyi. Jarum kecil jam dinding menunjuk angka antara tiga dan empat, membuat pemuda itu mendengkus berat dan sengaja tengkurap sambil memeluk gulingnya. Rasanya malas sekali untuk bangkit dari kasur. Tapi, hati kecilnya dari tadi sudah ribut menyuruhnya untuk belajar, menambal jam yang kemarin dia tinggalkan.Dengan sangat berat hati, mau tidak mau, dia harus bangun. Duduk menghadap meja belajar dan membuat dirinya fokus dengan pelajaran nanti. Dia harus giat kalau mau cepat selesai.Tiga puluh menit berlalu. Pemuda itu bisa mendengar alarm di gawainya yang mulai berbunyi. Dia segera mematikannya dan mengemasi buku pelajaran hari ini di tas. Selanjutnya, dia membuka pintu ke balkon. Sejenak, dia menikmati suasana pagi buta yang sangat tentram itu. Sebisa mungkin dia mengisi paru-parunya dengan udara yang bersih dan sejuk itu. Mungkin saja itu bisa membuat hatinya sedikit longgar. Setelah puas dengan ritual menyerap energi ala
Juwita mengambil tempat makan serta satu hidangan yang ada di atas meja makan. Dia memasukkan nasi, lauk, dan buah-buahan yang sudah dia potong ke dalam wadah bekal dan menatanya berjajar di atas bar luar dapur, supaya mudah untuk mengambilnya nanti. Dia meletakkan piring yang telah kosong di washtafel. Bahkan sampai dia selesai menyiapkan bekal pun suami dan anaknya belum juga turun.Sudah jam tujuh. Bahkan mereka belum sarapan. Dia hendak mendatangi mereka berdua lagi namun belum sampai tangga, dia sudah mendengar langkah tergesa dari atas sana. Akhirnya yang ditunggu datang juga.Jevano turun terlebih dahulu. Dia sudah berpakaian lengkap dengan seragam hari Senin dan tas yang dia tenteng asal. Untung tadi dia sempat belajar lagi dan memasukkan buku pelajarannya ke tas dengan baik. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadi
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.