Juwita melihat ke arah Jamal yang masih belum lengkap berpakaian dari atas kasur. Setelah melewati hari yang panas berdua saja di rumah, atas kasur dan di kamar mandi, mereka akhirnya melepas tautan yang seakan tidak ingin terurai itu.
"Pakai kaos?" tanya Juwita yang bersandar di kepala kasur beralaskan bantal empuk miliknya. Kakinya menyilang ke guling. Rasa intinya masih sakit dan perih. Padahal dia sudah berendam air hangat bersama Jamal tadi. Ya ... meskipun setelah itu dia harus mendapatkan gempuran lagi.
"Kalau enggak pakai kaos, aku harus pakai apa?" tanya Jamal yang merasa aneh dengan pertanyaan istrinya.
"Shirtless? Lebih sexy, Jae." Juwita menggigit telunjuknya.
Jamal menoleh ke istrinya dengan cepat. Dia
Jevano pulang. Entah Jamal harus senang karena akan bertemu dengan anaknya dan bisa berbincang lagi setelah tiga hari tidak bertemu. Apalagi dia mendapatkan kabar dari Juwita kalau Jevano ingin tidak ikut liburan bersama teman-temannya karena kangen. Atau ... dia harus sedih karena kini dia tidak bisa berduaan lagi bersama Juwita untuk menjelajahi rumah mereka ini dengan cinta dan kasih mereka. Dilema memang mantan duda satu ini. Dia terhitung pengantin baru tapi anaknya sudah besar. Malahan Jevano sudah masuk umur pubertas. Sudah waktunya diberikan pelajaran tentang pengolahan hati, jiwa, dan hasrat yang akan bercampur aduk dalam satu waktu."Jae, kamu kenapa melamun?" Juwita mendekati Jamal yang duduk di balik meja kerjanya di lantai dua. Suaminya baru saja menyelesaikan meeting dadakan bersama dewan komisaris perusahaan. Untung saja meeting dilakukan secara online. Dia tidak usah repot-repot untuk menin
Jamal bersantai di teras dengan secangkir kopi setelah menyelesaikan kegiatan merapikan rumput halaman. Ternyata pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh anaknya lumayan terasa juga di badannya. Tak ada Jevano di rumah saat akhir pekan seperti ini juga agak susah ternyata. Tiba-tiba saja dia teringat dengan bocah itu. Bagaimana kabar Jevano di sana sekarang?Saat dia seperti itu, netranya menangkap siluet mobil hitam yang berhenti di depan gerbang rumahnya. Dengan sedikit penasaran, dia bangkit dan menghampiri ke gerbang. Senyumannya berkembang saat tahu siapa yang baru saja datang."Ayah!" seru Jevano saat mendengar suara gerbang dibuka. Dia sedikit berlarian keluar dari mobil. Lelaki itu langsung memeluk ayahnya dengan erat.Teman-temannya yang lain melongo. Ternyata Jevano sedekat itu dengan ayahnya. Mere
Hari ini Juwita mengantarkan Jevano seperti biasanya. Sebenarnya tadi Jamal ingin mereka satu mobil saja karena pria itu juga ingin berangkat bareng bersama Jevano dan Juwita. Namun, sepertinya dia harus menunda acara berangkat bareng itu hingga saat ini. Arjuna meneleponnya dan mengatakan bahwa mereka harus sampai di bandara kurang dari jam sembilan. Walhasil, Jamal harus mempersiapkan kebutuhannya terlebih dahulu sebelum akhirnya harus pergi ke luar kota. Entah sampai berapa hari.Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi empuk kelas utama pesawat yang ditumpanginya. Di sebelahnya ada Arjuna yang masih sibuk dengan tab yang dia bawa. Pria di sampingnya ini terlihat sangat santai, berbeda dengannya yang masih berdebar. "Kamu enggak takut, Arjuna?" tanya Jamal ke pria itu?Arjuna mengangkat kepalanya. "Apa? Takut apaan?" Dia malah celingukan ke kanan dan ke ki
Juwita dan Hellen benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan sangat baik. Mereka ke salon, belanja kebutuhan rumah, dan shopping. Untuk ke salon dan shopping baju sudah mereka lakukan. Tinggal belanja kebutuhan rumah dan juga nongkrong di kafe sampai datang waktu menjemput Jevano."Lo enggak ajak Jevano ke mall lagi?" Hellen ingat saat Juwita menceritakan tentang si bocah diajak oleh sahabatnya tersebut ke mall pertama kali. Kalau membayangkan jevano yang dia kenal sekarang dengan apa yang dulu diceritakan oleh Juwita ... rasanya geli dan gemas sendiri. Pasti wajah Jevano sangat lucu."Sekarang, bukan gue lagi yang ngajak ke mall. Dia yang maksa mau jalan-jalan ke mana aja sama gue sama ayahnya. Tuh anak kalau punya tekad, enggak bakalan nyerah sampai dapet apa yang dia mau." Juwita sedang memilih bawang bombay."
Mimik wajah Juwita yang sedang panik memang tidak bisa disembunyikan. Gurat kekhawatiran terukir sempurna di muka ayu wanita itu. Bekas air matanya masih terlihat. Hidung dan pipinya masih memerah. Matanya pun masih bengkak."Tapi enggak papa, kan, Dok? Jevano masih boleh beraktivitas seperti biasanya?" tanya Juwita sebenarnya sangat ingin mengatakan yang sebaliknya. Akan tetapi, dia juga harus menjaga cara mendidik Jevano dari Jamal. Dia boleh khawatir tapi, tidak boleh berlebihan juga. Sangat sulit sebenarnya, apalagi di keadaan sekarang."Masih, kok. Tangan Jevano tidak begitu parah. Hanya bergeser sedikit dan sudah ditangani dengan baik. Mungkin seminggu juga bisa pulih kembali." Keterangan dari dokter itu membuat hati Juwita lega.Wanita itu meraih pundak anaknya dan mencium kening lelaki itu dengan penuh sayan
Selama perjalanan dengan mobil ke hotel, Jamal menutup matanya untuk mengurangi jet lag yang dia alami. Arjuna membiarkan kakaknya beristirahat. Dia sendiri menyibukkan diri dengan membuat rangkuman materi yang nanti harus disampaikan oleh Jamal saat rapat para eksklusif. Dia membuat tiga file. Satu file materi yang terjabar dengan detail, satunya rangkuman materi, dan satunya lagi rangkuman dari rangkuman materi. Memang agak jelimet, tapi demi memudahkan Kak Jamal apa, sih, yang enggak dia lakukan.Arjuna menoleh ke arah kakaknya. Dia tersenyum saat melihat wajah tenang Jamal. Gestur wajahnya persis sekali dengan Jaiz. Dia berasa sedang bekerja bersama kakak kandungnya. Sebuah ide terbesit di kepala Arjuna. Dia mengambil gawainya dan memotret Jamal untuk dikirimkan kepada Juwita. Ah, bukan. Lebih seru kalau dikirimkan kepada papanya Juwita. Dia pun terkikik sendiri.
Suara bel rumah berbunyi.Jevano yang sedang mencari gawainya untuk menelepon sang ayah pun terhentikan. Gawai Juwita sedang diisi ulang baterainya, jadi mau tidak mau dia harus mencari gawainya yang dia sendiri lupa menaruhnya di mana."Jevano! Turun, Sayang! Ada temen-temen kamu ini, loh." Teriakan Juwita membuat Jevano memejamkan matanya. Gagal sudah dia rencananya mau berbicara dengan sang ayah dengan tentram bersama sang bunda. Teman-temannya itu pasti akan merusuh. Apalagi kalau Haikal ikutan.Maka, dengan ogah-ogahan, Jevano yang tadinya mencari gawai di kamarnya terpaksa turun. Dari tangga, dia sudah bisa melihat ada empat anak manusia yang sangat dia kenal. Mereka semua menoleh ke arahnya, lebih ke arah tangannya yang digips dan menggantung itu.
Teman-teman Jevano undur diri saat adzan maghrib berkumandang. Mereka berpamitan kepada Jevano karena Juwita masih menerima telepon dari manager-nya. Jevano mengambil tasnya dan membawa benda tersebut ke kamarnya. Hatinya bimbang. Ternyata bersekolah di tempat elit lebih menyusahkan dari pada yang dia pikirkan. Kalau begini, mending dia bertahan saja di sekolah umum. Ah, tapi sepertinya dia malah tidak bersyukur kalau mengeluhkan hal ini.Jevano merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Mau belajar juga masih malas. Mau bermain game juga tangan yang bisa dia gunakan hanya satu. Jika dia menggunakan jemari dan menggerakkannya, dia bisa merasakan sakit di pergelangan tangan. Hanya satu saja yang bisa dia lakukan, mendusel sang bunda. Tapi, dia langsung ingat kalau bundanya sedang sibuk. Astaga, bosan sekali.