Aisyah pergi meninggalkan Haikal dan Sintya, untuk membaca surat yang ia terima, entah dari siapa. Dan mencari sosok Aydan yang tak tiba-tiba tak tampak batang hidungnya.
"Ada perlu apa kamu di sini?" Seseorang tiba-tiba berdiri di samping Aisyah berucap dengan nada rendah, dan terdengar menghakiminya. Aisyah menoleh ke arah laki-laki setengah baya, kedua tangan yang dimasukkan dalam saku celana."Pak Wijaya?!" Aisyah sedikit terkejut mendapati Ayah Haikal yang berdiri di sampingnya. Pergi meninggalkan satu masalah, tapi justru sepertinya ia akan dapat masalah baru, dengan bertemu Pak Wijaya."Perempuan tak tahu diri. Bukan aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anak ku!" Pak Wijaya fokus menatap ke arah depan. Sepertinya enggan melihat Aisyah. Nada bicaranya lirih namun penuh penekanan. "Apa kamu yakin untuk kehilangan pekerjaanmu?"Entah angin apa yang tiba-tiba membawa Pak Wijaya beberapa bulan mengajak Aisyah bertemu dengan menitipkan surat pada teman sekantor Aisyah. Padahal Aisyah tak mengenal sosok Pak Wijaya sebelumnya. Hingga pertemuan antara mereka pun terjadi. Dan Pak Wijaya menyuruh Aisyah untuk menjauhi Haikal, anaknya.Aisyah hanya mengiyakan kalq itu dengan semua kebingungan yang ada di venaknya. Dia dan Haikal hanya sebatas atasan dan bawahan meski hubungan mereka memang dekat, sangat dekat malah. Tapi malam ini, Aisyah telah menemukan semua jawabannya. Pak Wijaya menyuruhnya menjauhi Haikal karena dia telah dijodohkan."Maaf sebelumnya Pak Wijaya," ucap Aisyah sambil menundukkan kepala. "Saya ada di sini bukan karena Pak Haikal, Pak.""Lalu apa urusan mu di sini?" Pak Wijaya menyungingkan senyum, seolah tengah merendahkan Aisyah. "Oh ya, mungkin saya tahu apa yang sedang kamu lakukan di sini. Kamu bekerja sebagai pelayan di luar jam kerja kantor? Benar seperti itu bukan?"Batin Aisyah tersentak. Tak menyangka semua itu keluar dari mulut Pak Wijaya. "Iya, Bapak benar." Aisyah hanya mengiyakan semua yang Pak Wijaya tuduhkan padanya, mengelak dan menjelaskan semua pada orang yang memandang dirinya rendah hanya akan menguras tenaga. Lagipula Pak Wijaya juga tidak akan percaya kalau ia mengatakan Pak Adam adalah om nya."Lalu apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah tugas pelayan ada di dapur? Kamu malah enak-enakan ikut pesta di sini. Kasihan teman pelayan yang lain. Kerja itu yang bener. Kasian Adam membayar orang yang kerjanya keluyuran, tidak tanggung jawab dengan tugasnya." Pak Wijaya memberondong dengan nada yang ditekan.""Iya, Pak. Maaf saya permisi." Aisyah menundukkan kepala, dan beranjak dari tempatnya berdiri."Baju siapa yang kamu pakai, jangan-jangan kamu mengambil baju Sintya calon mantuku untuk kamu pakai." Aisyah menghentikan langkahnya. Mengambil nafas panjang dari mulutnya. Memutar badannya dan menatap wajah Pak Wijaya. "Maaf Pak Wijaya yang terhormat." Aisyah menekan nada bicaranya. "Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tolong jaga bicara Anda. Maaf saya, tidak serendah yang Anda pikir! Terima kasih untuk semua caci Anda. Permisi!"Aisyah memutar badan, melangkah tegap meninggalkan Pak Wijaya."Dasar, pelayan," ucap Pak Wijaya dengan nada mengejek.Aisyah berjalan dengan berlinang air mata, "Kenapa sakit hati ini terus bertambah," batin Aisyah meronta.Aisyah berjalan sambil menyeka air matanya. Pandangannya sedikit rabun karena air mata yang terus mengenang di kelopak matanya.Tiba-tiba seseorang meraih lengan tangannya. Seketika Aisyah tersentak, menghentikan langkah dan menoleh ke samping."Apa yang ayahku, lakukan? Dia menyakitimu?" Haikal berucap lirih, tak ingin orang lain mendengar apa yang ia ucapkan. "Ayo kita tunjukan semua yang dia ucapkan itu, salah."Haikal tanpa sengaja mendengar semua percakapan ayahnya dengan Aisyah. Dan memutuskan untuk memberi sedikit pelajaran untuk ayahnya, agar tidak seenaknya menilai orang lain.Aisyah tak mampu melawan, ia terus mengekor, dengan pergelangan tangan yang masih digenggam erat oleh Haikal. Dengan jantung yang berdegup kencang."Ini salah, aku harus membuang perasaan ini, aku tak boleh menyimpannya, kecuali aku siap untuk menyakiti hatiku sendiri," batin Aisyah. "Seharusnya aku melakukan ini dari tadi, tanpa harus mendengar semua alasanmu. Aku tak ingin melepaskan genggaman ini kali ini, apapun alasanmu kali," batin Haikal, sambil menoleh sekejap ke arah Aisyah."Apa mungkin dia akan melakukan apa yang dia ucap tadi? Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Bukankah dia yang membuat perjanjian, dan aku sudah melakukan apa yang dia mau, lalu apa ini?" Aisyah kembali membatin.Keduanya saling bungkam, dan bicara dalam hatinya masing-masing. Apakah itu cara hati bekerja, menyatukan rasa tanpa harus mengucapkannya. Melindungi tanpa harus diminta, menenangkan disaat kondisi tidak kondusif."Maaf, semuanya. Saya mengganggu waktunya sebentar." Haikal menghentikan langkah di depan semua keluarga inti. Di depan keluarganya dan di depan keluarga Sintya yang kebetulan tengah duduk di satu meja.Ketegangan terlihat di wajah semua anggota keluarga ketika melihat Haikal menggandeng lengan Aisyah. Dengan buket bunga yang sebenarnya entah dari siapa."Aisyah? Ada hubungan apa dia dengan Haikal. Dan genggaman tangan itu?" Sintya bertanya dalam hati, sambil mengamati keduanya. Ada sedikit rasa curiga dalam hatinya.Sedang Pak Wijaya memendam amarah yang luar biasa, telapak tangannya mengepal. Mungkin jika tidak di depan calon besan, beliau akan datang menghampiri keduanya dan menampar Aisyah. Atau meninju Haikal, mungkin."Ada apa ini, Nak Haikal?" Ibu Laila yang dalam kebingungan berjalan mendekati Aisyah dan merengkuh tubuhnya. Haikal spontan melepaskan genggaman tangannya. "Ada apa dengan anak ku?"Haikal melempar senyum ke arah Ibu Laila. "Ah… tak ada apa-apa, Tante." Entah sejak kapan panggilan itu tiba-tiba berubah. Biasanya Haikal memanggil Ibu Laila dengan kata Ibu, tapi entah kenapa mulutnya kini memanggilnya tante. "Aku hanya ingin mengenalkan Aisyah. Bukankah dia juga ke
Aisyah bermalam di villa. Pak Adam tak mengijinkannya untuk pulang karena sudah terlalu malam.Aisyah masuk ke kamar yang sudah disiapkan untuk ibu dan dirinya. Aisyah duduk di tepian tempat tidur, dan meletakkan buket bunganya di atas nakas.Rasa penasarannya pada pengirim buket bunga, justru beralih pada Pak Wijaya. Entah kenapa pertanyaan tadi mengganggu dalam benaknya. "Apa mungkin benar Pak Wijaya mengenal ayah, atau mereka pernah bertemu sebelumnya? Kenapa Beliau seolah begitu perlu mendengar pengakuanku?" benak Aisyah terus berkecamuk dengan semua pertanyaan tentang hubungan ayahnya dan Pak Wijaya."Ada apa, Sayang?" Ibu Laila menutup pintu kamar, mendekati Aisyah dan duduk di sampingnya. "Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aisyah menoleh ke arah ibunya dengan menyunggingkan senyum. "Tidak, Bu. Semua baik-baik saja," jawab Aisyah.Ibu Laila merengkuh tubuh Aisyah, dan spontan Aisyah menyandarkan kepalanya dalam dekapan Ibu Laila, sambil memeluk erat tubuh ibunya. Malam ini meman
Aisyah tak menjawab pertanyaan ibunya. Dia masih memandang lekat cincin dalam genggamannya. Cincin yang beberapa hari lalu ia pilih. Saat mengantar Haikal mencari hadiah untuk ulang tahun ibunya."Ada yang kamu suka?""Meski ada yang aku suka, itu pun gak hari ini aku beli, Mas. Masih banyak yang lebih penting daripada perhiasan disini." "Aku hanya ingin, tahu seperti apa seleramu.""Ini." Aisyah menunjuk sebuah cincin yang dibalut dengan rose gold dan memiliki satu berlian di bagian tengahnya, yang didesain layaknya mahkota bunga."Aisyah, kamu yakin ini dari Haikal." Ibu Laila menyentuh pundak Aisyah, dan membuatnya terperanjat dari lamunannya.Aisyah mengangguk. "Ini cincin yang pernah aku pilih beberapa hari lalu. Saat itu Haikal bertanya desain cincin yang aku suka. Dia hanya menanyakan itu, itu yang aku ingat. Dia hanya membeli satu cincin sebagai hadiah untuk ibunya. Hanya itu yang aku ingat, Bu.""Simpan baik-baik, sebelum ada orang yang tahu. Tanyakan padanya apa maksud nya
Aisyah segera memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah cafe. Celingukan ke kanan kiri. Memastikan ia berkunjung di tempat yang tepat.Masih sangat sepi, apa mungkin ia datang terlalu awal. Aisyah mengambil handphone dan menyalakannya. Men scroll layarnya perlahan.Tempatnya benar, sesuai dengan alamat yang Haikal bagi. Tapi kemana semua orang, kenapa masih begitu sepi, pikir Aisyah bingung."Apa yang sedang kamu lakukan?" Haikal yang baru datang menegur Aisyah. "Ayo masuk.""Iya, Pak," jawab Aisyah malas. "Bapak aja, baru sampai," gerutu Aisyah."Kamu bilang apa?" ucap Haikal sambil menutup pintu mobilnya, menenteng tas laptop di tangannya. "Bisa kamu ulangi.""Em, tidak. Tidak ada apa-apa." Aisyah menjawab cepat sambil merapikan diri.Aisyah mengekor di belakang Haikal yang sudah terlebih dahulu melangkah, masuk ke dalam cafe."Ini bukan akal-akalan, Bapak saja kan?""Akal-akalan untuk?""Untuk bertemu denganku?" jawab Aisyah lugu.Haikal menghentikan langkahnya. Memutar badannya dan
Haikal menatap Aisyah bingung. Entah apa yang sebenarnya dicarinya. Dan sepenting itukah.Aisyah menghentikan aksinya, merapikan semua barang yang telah ia bongkar dari dalam tasnya.Aisyah menenteng tasnya, dan memutar badannya. Meninggalkan Haikal begitu saja."Ada apa dengannya?" batin Haikal sambil menggelengkan kepala. Masih bingung dengan tingkah Aisyah.Aisyah menghentikan langkahnya. "Terima kasih untuk bunganya." Aisyah tak menoleh, hanya sedikit mengencangkan suaranya. Haikal sedikit tersentak, "Hanya itukah? Apa mungkin dia memang belum menemukan cincin yang aku letakkan di dalam bunga?" tanya Haikal dalam hati.Buket bunga dan cincin yang Haikal siapkan untuk melamar Aisyah nyatanya, tak berjalan sesuai harapannya. Semua kandas dengan pertunangan yang tiba-tiba terjadi, tanpa ada persetujuan darinya. Bahkan ayahnya memberi kabar pas jam pulang kerja. Tak ada waktu untuk memberikannya secara langsung pada Aisyah. Karena, Aisyah telah dulu pergi sebelum Haikal sempat menem
Haikal melangkahkan kakinya dengan santai. Mulai meninggalkan Aisyah yang masih termenung di belakangnya.Haikal menghitung dalam hati, dengan degup jantung yang semakin tak beraturan. Berharap Aisyah akan kembali seperti sebelum pertunangannya yang tiba-tiba terjadi. Skenario kehidupan yang sangat tak pernah Haikal inginkan terjadi.Aisyah masih berdebat dengan dirinya sendiri. Logika dan hati yang sedikit tidak sinkron. "Dia masih diam," bisik Haikal dalam hati. Dirinya terus berusaha bersikap tenang."Tunggu, Mas."Haikal berhenti seketika, senyuman mengembang di bibirnya. Ada kebahagiaan yang tak bisa terucap.Haikal memutar badannya, dengan wajah yang dibuat tetap tenang. Menutupi semua kebahagiaan yang tengah meluap-luap. "Kamu, memanggilku?" tanya Haikal dengan nada datar.Aisyah mendekati Haikal, perlahan. "Ya, kamu menang kali ini, Mas," ucap Aisyah dengan binar mata menantang.Haikal tersenyum senang. "Tak sulitkan?" Haikal memegang kedua bahu Aisyah. "Biarkan semua berjal
Haikal melangkah menuju pintu keluar cafe. Tangannya menggenggam erat pergelangan Aisyah. Tak ingin melepasnya, ya mungkin itu yang kini tengah Haikal rasa.Sedang Aisyah hanya pasrah, mengekor di belakang Haikal. Detak jantungnya terasa berdegup kencang. Perasaannya tak mampu berbohong. Meski mulutnya terus berucap tak mencintai Haikal. Mencintai bukan berarti harus memiliki, itu yang kini Aisyah pupuk dalam hati. Mengubur dalam apa yang pernah tercipta, itu yang kini menjadi fokus Aisyah.Sesekali Haikal melihat Aisyah dari ekor matanya. Pandangan yang sebenarnya enggan untuknya berpaling. Namun mempertahankan perasaan dan impiannya, tidak akan mudah. Semua akan membutuhkan proses dan menguras sedikit pikirannya."Masuklah." Haikal membukakan pintu mobil, sambil menatap wajah manis Aisyah.Aisyah mengangguk, dan segera mengikuti apa yang Haikal perintahkan. Pintu mobil segera Haikal tutup sesaat setelah Aisyah duduk di kursi depan penumpang. Haikal meninggalkan sekejap mobilnya. M
Haikal terus melangkah, melewati beberapa nisan di kanan kiri nya. Aisyah mengikuti seperti orang bodoh yang tak tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang. Padahal pergi meninggalkan Haikal sangat bisa dilakukannya sekarang. Tanpa harus memikrkan sepeda motornya. Lagian sudah tentu Haikal akan mengembalikan sepeda motornya, namun entah kenapa dirinya tak ingin meninggalkan Haikal begitu saja. Haikal bak magnet yang tengah menarik tubuhnya."Sebenarnya kemana Haikal akan membawa ku?" gumam Aisyah dalam hati. Tiba-tiba Aisyah teringat ucapan Sari. "Pak Haikal itu sulit untuk dekat dengan wanita lain karena dia pernah di tinggal pergi sama mantannya. Awalnya mereka ribut dan siapa sangaka tak berselang lama si cewek meninggal karena tertabrak mobil. Dan itu terjadi di depan mata kepala Pak Haikal. Dan dari kejadian itu dia selalu merasa bersalah dan sulit untuk membuka hati." Ucapan Sari teman kerja nya terdengar jelas di telingannya."Apa mungkin dia mau membawa ku ke pusara mantannya du
Aisyah menutup pintu kamarnya, meletakkan tas nya di nakas dan membaringkan badan di kasur. Aisyah menghela sedikit nafas panjang, menghilangkan sedikit penat dirinya yang setengah hari ini benar-benar menguras kewarasannya.Tok…tok…tok….Terdengar pintu kamarnya di ketuk, di iringi suara ibunya dari balik pintu. "Boleh ibu masuk?"Aisyah terperanjat dari tidurnya, "Masuklah, Bu." Aisyah menjawab antusias. Pintu kamar segera terbuka. Aisyah mengembangkan senyum di bibirnya menyambut ibunya yang telah nampak di celah pintu yang terbuka.Ibu Laila segera masuk membiarkan pintu kamar tetap terbuka, melangkah mendekati Aisyah dan duduk di sampingnya. Mendekap tubuh putrinya yang begitu beliau sayang. "Ibu harap kamu tak sakit hati dengan perkataan ibu tadi," ucap Ibu Laila sambil mengusap lengan Aisyah. "Ibu hanya tak ingin melihat kamu terpuruk. Hanya itu."Aisyah memandang wajah teduh ibu nya. "Perkataan, Ibu? Perkataan ibu yang mana yang Ibu maksud?" Aisyah benar-benar tak paham deng
"Aku rasa itu tidak terlalu penting untuk aku jawab," ucap Aisyah sambil menyunggingkan senyum di bibir nya, setelah merenung sejenak.Masalah pribadinya tak perlu orang lain tahu. Mungkin itu yang ada dalam pikiran Aisyah sekarang. Meski sebenarnya dia butuh tempat curhat sekarang. Tapi mungkin Aydan bukan orang yang tepat menurutnya."Baiklah," kata Aydan cepat. "Meski sebenarnya aku sangat membutuhkan jawaban yang pasti darimu!" Aydan meletakkan sendok di dalam mangkuknya, menggeser mangkok yang sudah tak bertuan lagi."Dan aku tahu kamu akan memaksaku untuk cerita meski aku tak mau." Aisyah memandang kesal ke arah Aydan, yang mendapat balasan senyuman manis. "Sudah aku duga!" gumam Aisyah pelan.Aydan terkekeh. "Setidaknya, aku tahu apa yang harus aku lakukan dengan hatiku!""Maksudnya?""Ya setidaknya aku tahu apa aku harus membiarkan rasa ini terus tumbuh, atau membiarkannya hingga perlahan mati," jelas Aydan sambil menatap Aisyah dalam.Aisyah segera memalingkan mukanya. "Dan i
Aisyah bergegas meninggalkan Haikal setelah mengatakan hal yang entah bagaimana tiba-tiba keluar dari mulutnya dengan begitu lancar. Mengendarai sepeda motornya dan pergi dari komplek pemakaman. Dalam perjalanan pulang ke rumah Aisyah terus merenungkan semua ucapan bodoh nya tadi. "Haikal tak akan begitu saja percaya dengan semua perkataanku bukan," ucap Aisyah dalam hati, sambil mengendarai sepeda motornya. "Betapa bodohnya aku ini!" Aisyah menggelengkan-gelengkan kepalanya.Aisyah terus memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti. Rencana yang harus disusun sebelum Haikal akan membuatnya terpojok karena ucapannya sendiri.Tin…..Seseorang tiba-tiba mengklakson Aisyah dengan keras. Dan menghentikan mobilnya tepat di depan Aisyah, membuatnya mengerem tiba-tiba. Mematikan sepeda motor dan memasang kuda-kuda. Siap berdebat. Mungkin itu yang ada dalam benaknya kini.Aisyah turun dari sepeda motornya dan segera mendekat ke kaca mobil bagian pengemudi. Diketuk dengan keras kaca mobil yan
Haikal terus melangkah, melewati beberapa nisan di kanan kiri nya. Aisyah mengikuti seperti orang bodoh yang tak tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang. Padahal pergi meninggalkan Haikal sangat bisa dilakukannya sekarang. Tanpa harus memikrkan sepeda motornya. Lagian sudah tentu Haikal akan mengembalikan sepeda motornya, namun entah kenapa dirinya tak ingin meninggalkan Haikal begitu saja. Haikal bak magnet yang tengah menarik tubuhnya."Sebenarnya kemana Haikal akan membawa ku?" gumam Aisyah dalam hati. Tiba-tiba Aisyah teringat ucapan Sari. "Pak Haikal itu sulit untuk dekat dengan wanita lain karena dia pernah di tinggal pergi sama mantannya. Awalnya mereka ribut dan siapa sangaka tak berselang lama si cewek meninggal karena tertabrak mobil. Dan itu terjadi di depan mata kepala Pak Haikal. Dan dari kejadian itu dia selalu merasa bersalah dan sulit untuk membuka hati." Ucapan Sari teman kerja nya terdengar jelas di telingannya."Apa mungkin dia mau membawa ku ke pusara mantannya du
Haikal melangkah menuju pintu keluar cafe. Tangannya menggenggam erat pergelangan Aisyah. Tak ingin melepasnya, ya mungkin itu yang kini tengah Haikal rasa.Sedang Aisyah hanya pasrah, mengekor di belakang Haikal. Detak jantungnya terasa berdegup kencang. Perasaannya tak mampu berbohong. Meski mulutnya terus berucap tak mencintai Haikal. Mencintai bukan berarti harus memiliki, itu yang kini Aisyah pupuk dalam hati. Mengubur dalam apa yang pernah tercipta, itu yang kini menjadi fokus Aisyah.Sesekali Haikal melihat Aisyah dari ekor matanya. Pandangan yang sebenarnya enggan untuknya berpaling. Namun mempertahankan perasaan dan impiannya, tidak akan mudah. Semua akan membutuhkan proses dan menguras sedikit pikirannya."Masuklah." Haikal membukakan pintu mobil, sambil menatap wajah manis Aisyah.Aisyah mengangguk, dan segera mengikuti apa yang Haikal perintahkan. Pintu mobil segera Haikal tutup sesaat setelah Aisyah duduk di kursi depan penumpang. Haikal meninggalkan sekejap mobilnya. M
Haikal melangkahkan kakinya dengan santai. Mulai meninggalkan Aisyah yang masih termenung di belakangnya.Haikal menghitung dalam hati, dengan degup jantung yang semakin tak beraturan. Berharap Aisyah akan kembali seperti sebelum pertunangannya yang tiba-tiba terjadi. Skenario kehidupan yang sangat tak pernah Haikal inginkan terjadi.Aisyah masih berdebat dengan dirinya sendiri. Logika dan hati yang sedikit tidak sinkron. "Dia masih diam," bisik Haikal dalam hati. Dirinya terus berusaha bersikap tenang."Tunggu, Mas."Haikal berhenti seketika, senyuman mengembang di bibirnya. Ada kebahagiaan yang tak bisa terucap.Haikal memutar badannya, dengan wajah yang dibuat tetap tenang. Menutupi semua kebahagiaan yang tengah meluap-luap. "Kamu, memanggilku?" tanya Haikal dengan nada datar.Aisyah mendekati Haikal, perlahan. "Ya, kamu menang kali ini, Mas," ucap Aisyah dengan binar mata menantang.Haikal tersenyum senang. "Tak sulitkan?" Haikal memegang kedua bahu Aisyah. "Biarkan semua berjal
Haikal menatap Aisyah bingung. Entah apa yang sebenarnya dicarinya. Dan sepenting itukah.Aisyah menghentikan aksinya, merapikan semua barang yang telah ia bongkar dari dalam tasnya.Aisyah menenteng tasnya, dan memutar badannya. Meninggalkan Haikal begitu saja."Ada apa dengannya?" batin Haikal sambil menggelengkan kepala. Masih bingung dengan tingkah Aisyah.Aisyah menghentikan langkahnya. "Terima kasih untuk bunganya." Aisyah tak menoleh, hanya sedikit mengencangkan suaranya. Haikal sedikit tersentak, "Hanya itukah? Apa mungkin dia memang belum menemukan cincin yang aku letakkan di dalam bunga?" tanya Haikal dalam hati.Buket bunga dan cincin yang Haikal siapkan untuk melamar Aisyah nyatanya, tak berjalan sesuai harapannya. Semua kandas dengan pertunangan yang tiba-tiba terjadi, tanpa ada persetujuan darinya. Bahkan ayahnya memberi kabar pas jam pulang kerja. Tak ada waktu untuk memberikannya secara langsung pada Aisyah. Karena, Aisyah telah dulu pergi sebelum Haikal sempat menem
Aisyah segera memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah cafe. Celingukan ke kanan kiri. Memastikan ia berkunjung di tempat yang tepat.Masih sangat sepi, apa mungkin ia datang terlalu awal. Aisyah mengambil handphone dan menyalakannya. Men scroll layarnya perlahan.Tempatnya benar, sesuai dengan alamat yang Haikal bagi. Tapi kemana semua orang, kenapa masih begitu sepi, pikir Aisyah bingung."Apa yang sedang kamu lakukan?" Haikal yang baru datang menegur Aisyah. "Ayo masuk.""Iya, Pak," jawab Aisyah malas. "Bapak aja, baru sampai," gerutu Aisyah."Kamu bilang apa?" ucap Haikal sambil menutup pintu mobilnya, menenteng tas laptop di tangannya. "Bisa kamu ulangi.""Em, tidak. Tidak ada apa-apa." Aisyah menjawab cepat sambil merapikan diri.Aisyah mengekor di belakang Haikal yang sudah terlebih dahulu melangkah, masuk ke dalam cafe."Ini bukan akal-akalan, Bapak saja kan?""Akal-akalan untuk?""Untuk bertemu denganku?" jawab Aisyah lugu.Haikal menghentikan langkahnya. Memutar badannya dan
Aisyah tak menjawab pertanyaan ibunya. Dia masih memandang lekat cincin dalam genggamannya. Cincin yang beberapa hari lalu ia pilih. Saat mengantar Haikal mencari hadiah untuk ulang tahun ibunya."Ada yang kamu suka?""Meski ada yang aku suka, itu pun gak hari ini aku beli, Mas. Masih banyak yang lebih penting daripada perhiasan disini." "Aku hanya ingin, tahu seperti apa seleramu.""Ini." Aisyah menunjuk sebuah cincin yang dibalut dengan rose gold dan memiliki satu berlian di bagian tengahnya, yang didesain layaknya mahkota bunga."Aisyah, kamu yakin ini dari Haikal." Ibu Laila menyentuh pundak Aisyah, dan membuatnya terperanjat dari lamunannya.Aisyah mengangguk. "Ini cincin yang pernah aku pilih beberapa hari lalu. Saat itu Haikal bertanya desain cincin yang aku suka. Dia hanya menanyakan itu, itu yang aku ingat. Dia hanya membeli satu cincin sebagai hadiah untuk ibunya. Hanya itu yang aku ingat, Bu.""Simpan baik-baik, sebelum ada orang yang tahu. Tanyakan padanya apa maksud nya