Tragedi Tengah Malam

"Silla!"

"Ayah!"

Arsilla turun dari bangku tempat dia duduk, lalu berlari ke arah sang Ayah yang sudah merentangkan tangan. Tangannya langsung bergelayut manja pada leher Adam, sedangkan bibirnya mengerucut lucu.

"Kok Ayah yang jemput? Mama Anggun mana?"

"Mama Anggun lagi ada urusan, Sayang. Makanya hari ini Ayah yang jemput. Maaf, ya, bikin kamu nunggu lama," ucap Adam seraya mengecup pipi sang putri.

Arsilla mengangguk mengerti. Tiba-tiba matanya berbinar, lalu menoleh ke arah Hanin yang masih duduk di tempatnya tadi.

"Tante, sini!" Silla melambaikan tangan ke arah Hanin.

"Silla kenalin sama Ayah," ucapnya kemudian.

Hanin bangkit dari duduk, kemudian dengan langkah pelan menghampiri Ayah dan Anak itu. Ia berusaha abai akan tatapan Adam yang mengisyaratkan kemarahan.

"Ayah, ini Tante Hanin. Dia yang nemenin Silla nunggu jemputan," terang Silla sambil menunjuk Hanin yang sudah berdiri berhadapan dengan keduanya.

"Silla tinggu di mobil dulu, ya. Ayah mau bicara sebentar sama Tante Hanin."

"Oke, Ayah!" Arsilla mengacungkan kedua jempolnya. "Sampai jumpa lagi, Tante Hanin," ucapnya kemudian.

Putri semata wayang Adam itu turun dari gendongan sang Ayah, lalu berlari menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah.

"Langsung masuk, Sayang!" seru Adam saat melihat sang putri yang sudah sampai di dekat mobil.

Kini ia berbalik ke arah Hanin yang juga sedang memperhatikan putrinya.

"Kamu sengaja?"

"Apa?"

"Kamu sengaja menemui Silla di sini?" Adam memperjelas pertanyaan.

"Aku cuma menemani dia sebentar. Tadi aku lihat dia berdiri dekat gerbang hanya ditemani Satpam. Aku khawatir, makanya aku menghampirinya," tutur Hanin sambil memainkan jemarinya yang saling bertaut. Kebiasaan seorang Hanin jika sedang dilanda gugup.

"Tidak usah sok peduli. Aku peringatkan sekali lagi, jangan coba-coba mendekati dia. Kamu masih ingat dengan ucapanku dulu, 'kan?"

"Aku masih ingat. Tapi apa salah kalau aku mengkhawatirkan putriku sendiri?"

"Tidak salah, tapi khusus untuk kamu kasusnya beda. Ini peringatan terakhir untuk kamu, Hanin. Jangan dekati Arsilla lagi atau aku akan membuat kamu menyesal!"

Adam mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Hanin. Setelahnya, ia berbalik menuju mobil di mana sang putri sudah menunggunya di sana.

Hanin mengusap titik bening yang mengalir di pipi. Tidak apa. Hal yang sangat wajar jika sampai saat ini Adam masih membencinya. Apa yang telah ia lakukan empat tahun lalu, telah melukai harga diri Adam sebagai seorang suami.

🌹🌹🌹

Hanin hampir saja memejamkan mata saat tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Melirik jam yang tergantung di dinding, sudah pukul dua belas malam, siapa yang bertamu?

Dengan malas Hanin bangun, kemudian menuju pintu. Ia takut ada sesuatu yang penting hingga bertamu pada jam yang seharusnya orang-orang sedang beristirahat.

Namun, alangkah terkejutnya saat pintu terbuka, seorang pria langsung menerobos masuk hingga Hanin terdorong ke belakang, dan dengan cepat pria itu mengunci pintu.

"Astaghfirullah, Pak Yudi?!"

"Ssst, jangan teriak, nanti orang-orang pada dengar."

"Pak Yudi mau apa? Tolong keluar dari sini, Pak. Saya tidak ingin orang-orang melihat Bapak berada di rumah saya malam-malam begini." Hani panik. Ia mencoba mendorong tubuh Pak Yudi agar keluar, tetapi sayang tenaganya kalah telak. Pak Yudi balik mendorong Hanin sampai terduduk di kasur yang terdapat di ruangan itu.

"Pak, jangan macam-macam!"

"Tenang, Neng Hanin. Kita akan bersenang-senang malam ini. Bapak sudah lama menantikan saat seperti ini."

Pak Yudi terus mengikis jarak di antara mereka, sedangkan Hanin mencoba mencari sesuatu untuk melindungi diri.

"Kalau Bapak tidak segera pergi, saya akan teriak!"

"Jangan coba-coba!"

Pak Yudi membekap mulut Hanin agar tidak mengeluarkan suara. Pria berusia lima puluh tahun itu terus mendesak Hanin sampai telentang di kasur dengan dia berada di atasnya. Hanin terus berontak sekuat tenaga, sampai kakinya berhasil menendang 'milik' Pak Yudi.

Pria itu berteriak kesakitan sampai cengkramannya pada tubuh Hanin terlepas. Tak ingin membuang kesempatan, Hanin berlari menuju pintu kemudian membuka kuncinya dengan susah payah karena terlampau panik.

Setelah berhasil, ia berteriak meminta pertolongan sampai tiga orang pria yang kebetulan sedang meronda, melintas di depan kontrakan Hanin.

"Ada apa, Mbak?" tanya salah seorang pria begitu mereka mendekat.

"Tolong, Pak. Orang itu berusaha memperkosa saya," ujar Hanin dengan gemetar.

"Bohong!"

Pak Yudi keluar dengan langkah yang sedikit sempoyongan.

"Dia berkata bohong. Justru dia yang mencoba menggoda saya dengan pura-pura minta tolong membetulkan kran air yang bocor. Saya dijebak oleh wanita ini," elak Pak Yudi.

Sejujurnya ia takut orang-orang itu tidak percaya, tetapi Pak Yudi tidak akan membiarkan Hanin mencoreng nama baiknya.

"Enggak, Pak. Dia yang bohong!" teriak Hanin sambil menunjuk Pak Yudi.

Beberapa warga yang lain berdatangan karena mendengar ribut-ribut di luar. Termasuk Bu Resti yang tidak menemukan suaminya saat dia bangun tidur.

"Ada apa ini, Pak?"

"Ini, Bu. Si Hanin mau menggoda Bapak. Dia pura-pura minta tolong membetulkan kran air, eh ternyata malah ngajak Bapak berbuat mesum," jawab Pak Yudi dengan berapi-api. Ia yakin sang istri akan lebih percaya padanya.

"Benar itu, Hanin? Dasar janda gatel! Dari kemarin sudah aku peringatkan malah masih ngeyel." Bu Resti tak kalah sengit. Wanita itu sampai mendorong kepala Hanin berkali-kali.

"Demi Allah, Bu. Saya tidak melakukan itu. Justru Pak Yudi yang berusaha menodai saya."

"Alah jangan banyak ngeles! Pak RT, pokoknya saya minta perempuan ini diusir dari kompleks kita. Kalau tidak, dia akan menggoda Bapak-Bapak yang lain. Bagaimana ibu-ibu? Kalian tidak mau, 'kan kalau suami kita digoda janda gatel ini?"

"Benar, Pak RT, usir saja dia dari sini! Dasar cewek enggak bener!" teriak ibu-ibu yang lain.

"Sudah jangan teriak-teriak seperti itu! Ini tengah malam. Kita bicarakan soal ini baik-baik."

"Tidak bisa, pokoknya perempuan itu harus diusir malam ini juga! Atau kami yang akan menyeret dia dengan paksa!" Bu Resti tetap ngotot. Ia sudah muak melihat Hanin yang ia pikir selalu menggoda suaminya.

"Bagaimana, Neng Hanin? Bapak sebenarnya tidak tega. Tapi Bapak juga tidak ingin warga di sini merasa resah karena kehadiran Neng Hanin. Untuk itu, Bapak mohon dengan sangat, Neng Hanin segera meninggalkan kompleks ini," ujar Pak RT yang sebenarnya merasa iba pada wanita yang kini sedang tersedu.

"Baiklah, Pak, saya akan pergi. Tapi apa tidak bisa besok pagi saja? Saya mohon kemurahan hati Bapak karena ini sudah tengah malam," pinta Hanin mengiba.

"Baiklah, Neng Hanin boleh pergi dari sini besok pagi."

"Terima kasih, Pak."

"Nah, warga sekalian, silakan kembali ke rumah masing-masing. Saya harap tidak ada keributan apa lagi main hakim sendiri," perintah Pak RT yang langsung dituruti warganya.

Setelah semuanya bubar, Hanin bergegas masuk, kemudian mengunci pintu. Ia ambil tas usang yang disimpan di pinggir tempat tidur. Sambil sesekali menyeka air mata, Hanin memasukkan seluruh pakaian ke dalam tas itu.

Hanin bimbang. Ke manakah ia harus pergi?

Bersambung.