"Hanin."
Kesadaran menyentak keduanya. Adam mengambil buku yang diulurkan Hanin, berusaha bersikap biasa saja di depan Anggun, meskipun hatinya kini memanas mengingat kembali peristiwa empat tahun lalu.Hanin pun mencoba bersikap senormal mungkin hingga matanya beradu dengan sepasang netra bening yang kini tersenyum ke arahnya. Bocah kecil yang kini berada dalam pangkuan wanita cantik itu, Hanin jelas tahu siapa dia.Arsilla Hanindya PradiptaPutri semata wayang yang kini sudah tumbuh makin besar. Namun sayang, Hanin hanya bisa memandang dari kejauhan, tanpa bisa memberi pelukan pada sang putri.Tak apa, Hanin bahagia melihat tumbuh kembang sang putri yang begitu pesat. Meskipun terkadang hatinya menjerit karena sesaknya menahan rindu, setidaknya rasa itu selalu terobati saat melihat putri kecilnya tertawa riang.Setelah mencatat pesanan yang disebutkan Adam, wanita itu bergegas pergi sebelum pertahanannya runtuh. Melihat sorot kebencian dari sang mantan suami, membuat Hanin sadar diri jika ia tidak berhak untuk memberitahu siapa dia sebenarnya pada sang putri. Biarlah ia tetap dianggap orang asing, asalkan Silla bisa bahagia dengan sosok pengganti dirinya yang sudah didapatkan Adam. Wanita yang jauh lebih baik dari segi apa pun jika dibandingkan dengan seorang Hanin."Ta, tolong antar pesanan ini ke meja nomor dua belas, ya. Aku mau ke toilet sebentar, udah kebelet." Hanin menyerahkan tugas pada teman kerjanya. Ia tidak kuasa jika harus kembali bertemu pandang dengan Adam."Oke, sip. Nanti aku antarkan ke sana."Hanin berterima kasih. Wanita itu pun bergegas ke toilet. Bukan untuk membuang hajatnya, tetapi untuk menumpahkan tangis yang sejak tadi ia tahan.Setelah merasa puas, Hanin membasuh muka lalu keluar dari sana. Namun, langkahnya harus terhenti saat suara yang begitu ia hafal terdengar dari arah belakang."Miris sekali nasib kamu. Aku pikir setelah cerai dariku, kamu hidup bahagia bersama selingkuhan kamu itu. Ke mana dia? Membuang kamu setelah bosan, sampai kamu harus bekerja menjadi pelayan seperti ini?"Nada yang terdengar sinis, tetapi Hanin berusaha untuk menanggapinya dengan senyuman. Wanita itu berbalik, mata mereka kembali beradu tatap. Jika Adam menatapnya dengan tajam, maka Hanin memberi tatapan sendu."Tentang kehidupanku saat ini, sudah bukan urusanmu lagi, Mas."Rahang Adam mengeras, tangannya terkepal di kedua sisi tubuh. "Memang buka urusanku. Aku hanya miris saja melihat kehidupanmu setelah memilih pergi dengan pria yang menjadi selingkuhanmu itu. Aku kira kamu akan hidup bergelimang harta, tetapi nyatanya .... "Adam memindai penampilan sang mantan dari atas sampai bawah. "Kembali seperti saat sebelum aku mengangkat derajatmu."Hanin jelas tahu apa yang dimaksud Adam. Akan tetapi ia tidak akan terpengaruh oleh tatapan penuh intimidasi dari pria itu."Maaf saya permisi dulu. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan."Tubuh Hanin berbalik memunggungi Adam. Langkah yang baru saja ia ayunkan, kembali terhenti oleh suara sang mantan yang kembali terdengar."Bahkan kamu tak acuh pada putrimu sendiri, heh? Benar-benar ibu yang buruk!"Hanin memejamkan mata sebelum menjawab ucapan Adam. "Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku untuk menjauhi Silla? Bahkan aku tidak diperkenankan hanya sekedar untuk menyapanya.""Karena aku tidak mau dia tahu siapa kamu sebenarnnya.""Maka dari itu aku bersikap tak acuh padanya," sahut Hanin."Oke, aku mengerti. Terima kasih sudah mau menyembunyikan siapa jati dirimu sebenarnya di hadapan Silla. Kamu lihat sendiri, bukan? Tanpamu, dia bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu.""Ya, aku bisa melihatnya. Dia wanita yang lebih tepat untuk menjadi ibunya Silla."Setelahnya, Hanin pergi meninggalkan Adam yang tidak berkata apa pun lagi. Pria itu memandangi punggung sang mantan istri hingga menghilang di balik tembok.Adam mengusap wajahnya dengan kasar. Seharusnya ia tidak mengikuti wanita itu sampai ke sini. Namun entah mengapa, rasa penasaran untuk mengetahui kehidupan sang mantan istri pasca bercerai mengusik ketenangannya.Tidak, ini salah. Wanita itu sudah menjadi masa lalunya. Wanita yang telah menorehkan luka yang perihnya masih terasa sampai saat ini.Adam kembali bergerak menuju meja tempat putrinya sedang menikmati hidangan. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas saat melihat keakraban sang putri dengan wanita cantik yang kini tengah menyuapi Arsilla. Mereka lah masa depan Adam. Dua wanita yang menjadi penyemangat hidupnya saat ini.Bersambung.Hanin mengambil dompet usang dari dalam tasnya. Ia menghela napas kasar saat melihat satu lembar uang berwarna merah yang terdapat di dalamnya . Gajian masih dua minggu lagi, sedangkan uang yang ia miliki tidak akan cukup untuk biaya hidup selama itu. Hanin sempat berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan, tapi ke mana? Sedangkan mencari pekerjaan saat ini begitu susah.Akhirnya Hanin putuskan untuk membeli mie instan di warung Bu Parmi. Mungkin cukup untuk mengganjal perutnya hingga besok pagi.Hanin keluar dari kontrakan menuju warung yang letaknya selang tiga rumah saja. Sampai di sana, ternyata banyak pria yang tengah menikmati kopi dan ada juga yang sambil bermain catur. Hanin berusaha abai saat sebagian pria di sana memandangnya dengan tatapan mesum."Bu, mie instannya satu," ucapnya pada pemilik warung yang tengah menonton acara televisi. "Mie goreng atau mie kuah, Neng?""Mie kuah saja."Setelah membayar satu bungkus mi
"Jadi kamu yang menolong calon istri saya?""I-iya, Mas. Tadi aku kebetulan lewat dan melihat Mbak-nya terjatuh karena diserempet motor," terang Hanin berusaha bersikap sebiasa mungkin. Pria di depannya selalu menunjukkan wajah tidak suka, membuat Hanin sangat tidak nyaman."Terima kasih. Sekarang pergilah, kamu sudah tidak dibutuhkan di sini.""Oh, iya. Kalau begitu, aku permisi."Hanin menganggukkan kepala pada Adam, tetapi pria itu tidak menanggapinya sedikit pun. Dengan langkah tergesa, Hanin keluar dari rumah sakit menuju ke tempat kerja. Ia sudah bisa membayangkan kalau hari ini akan mendapat teguran karena keterlambatannya.Benar saja, baru sampai ia langsung dipanggil ke ruang atasannya dan mendapat peringatan. Hanin masih bisa bernapas lega karena ia masih diizinkan untuk bekerja di sana, tidak sampai dipecat seperti apa yang ia takutkan.Hanin kembali menekuni pekerjaannya dengan semangat. Meskipun sempat terpikir bagai
"Silla!""Ayah!" Arsilla turun dari bangku tempat dia duduk, lalu berlari ke arah sang Ayah yang sudah merentangkan tangan. Tangannya langsung bergelayut manja pada leher Adam, sedangkan bibirnya mengerucut lucu."Kok Ayah yang jemput? Mama Anggun mana?""Mama Anggun lagi ada urusan, Sayang. Makanya hari ini Ayah yang jemput. Maaf, ya, bikin kamu nunggu lama," ucap Adam seraya mengecup pipi sang putri. Arsilla mengangguk mengerti. Tiba-tiba matanya berbinar, lalu menoleh ke arah Hanin yang masih duduk di tempatnya tadi."Tante, sini!" Silla melambaikan tangan ke arah Hanin."Silla kenalin sama Ayah," ucapnya kemudian.Hanin bangkit dari duduk, kemudian dengan langkah pelan menghampiri Ayah dan Anak itu. Ia berusaha abai akan tatapan Adam yang mengisyaratkan kemarahan."Ayah, ini Tante Hanin. Dia yang nemenin Silla nunggu jemputan," terang Silla sambil menunjuk Hanin yang sudah berdiri berhadapan denga
"Nin, tolong antarkan ke meja nomor lima, ya. Aku mau ke toilet sebentar."Tita menyerahkan nampan berisi makanan pesanan salah satu pelanggan. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu memegangi perutnya yang terasa melilit. Hanin mengambil nampan itu sambil tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya. Tadi pagi ia sudah memperingati Tita agar tidak menambahkan sambal yang terlalu banyak dalam bubur yang dimakan gadis itu. Akan tetapi Tita tetap memaksa dengan alasan kurang mantap kalau sambalnya hanya sedikit.Hanin menghela napas kasar. Beruntung masih ada Tita yang bersedia memberinya tumpangan untuk sementara di rumah gadis itu. Hanin berjanji akan segera mencari kontrakan baru setelah ia mendapat gaji bulan ini.Teringat pesanan yang harus ia bawa ke meja pelanggan, Hanin bergegas menuju meja nomor lima seperti yang disebutkan Tita.Namun, wajah Hanin langsung pias saat melihat orang yang kini tengah menunggu pesanannya. Wanita itu ti
"Mbak, ayok turun!"Anggun menoleh ke bangku belakang. Hanin yang sedari tadi tidak nyaman berada di antara sepasang kekasih itu, tersenyum canggung seraya menganggukkan kepala. Sedangkan Adam tetap dengan sikap datarnya. Andai bukan atas permintaan Anggun, pria itu pasti sudah menolak kehadiran Hanin kembali di rumah. Kalau saja Anggun tahu siapa wanita yang tengah ia tolong, mungkin wanita itu akan berpikir dua kali ketika akan menawarkan pekerjaan di rumah calon suaminya.Adam keluar lebih dulu. Pria itu membukakan pintu untuk Anggun. Sedangkan Hanin memalingkan wajah ke samping saat melihat hal manis yang dulu sering dilakukan Adam padanya, kini pria itu berikan untuk wanita lain."Ayah!"Arsilla yang kebetulan tengah bermain dengan pengasuhnya di teras rumah, berlari ke arah tiga orang yang baru keluar dari mobil. Dengan sekali tangkap, tubuh mungilnya sudah berada dalam gendongan Adam."Sayang sudah makan?" Anggun yang melihat keakr
Makan malam sudah siap. Setelah melaksanakan sholat isya, Hanin menemui Adam yang ia kira berada di ruang tamu, tetapi ternyata tidak ada. Pikiran Hanin tertuju pada satu tempat, tetapi ia tidak ingin lancang mendekati kamar pria itu.Akhirnya, Hanin memutuskan menemui Mbak Ratih yang sedang berada di kamar Silla.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Mbak Ratih keluar sambil membawa tempat minum milik Arsilla."Ada apa, Mbak Hanin?""Itu, Mbak. Makan malam sudah siap," ujarnya gugup."Ya tinggal kasih tahu Pak Adam saja. Biasanya jam segini beliau berada di kamarnya," terang Ratih."Saya enggak berani kalau harus ke kamar Pak Adam. Gimana kalau Mbak saja yang memberitahu dia.""Loh, itu, kan tugas kamu, Nin. Ketuk saja pintunya terus bilang kalau makan malam sudah siap, enggak perlu masuk kamarnya juga kali." Ratih tertawa renyah melihat kegugupan Hanin. Ia pikir Hanin bersikap seperti itu karena belum terbiasa.
Hari ini Hanin dibuat sibuk membantu Anggun mendekor ruang tamu untuk acara ulang tahun Arsilla. Ia begitu bersemangat mempersiapkan segala sesuatunya untuk sang putri. Bahkan Hanin sudah menyiapkan kado yang ia beli kemarin dari toko mainan. Beruntung Tita mau memberinya pinjaman hingga Hanin bisa membelikan sesuatu untuk Arsilla di hari istimewanya."Nin, tolong buatkan dua gelas jus untuk Pak Adam juga Bu Anggun. Mereka ada di ruang keluarga," titah Ratih menghampiri Hanin yang tengah mencuci sayuran yang akan dimasak untuk makan malam."Iya, Mbak, nanti saya buatkan."Ratih kembali ke ruang tamu menemani Arsilla yang tengah mencoba meniup balon yang tersedia di sana.Hanin pun bergegas membuatkan jus untuk sang majikan yang pasti kelelahan setelah menyulap ruang tamu menjadi bak istana dongeng seperti keinginan Arsilla.Setelah selesai, Hanin bergegas menuju ruang keluarga, tetapi langkahnya terhenti saat melihat dua orang yang sedang
"Adam? Sejak kapan kamu berada di sana, Nak?"Lestari begitu gugup, pun dengan Hanin yang segera bergeser menjauhi mantan mertuanya. Tatapan Adam begitu tajam, menelisik dua wanita itu sampai mereka merasa dikuliti."Apa maksud ucapan Mama tadi? Kenapa Mama harus minta maaf sama dia?" tunjuk Adam dengan dagunya ke arah Hanin."Mama tadi enggak sengaja nabrak dia, jadi Mama minta maaf." Lestari berusaha menjelaskan meskipun ia ragu Adam akan mempercayainya."Cuma karena nabrak, terus minta maaf sampai harus pelukan begitu? Bahkan Mama sampai nangis. Benar-benar enggak masuk akal," timpal Adam seraya menggelengkan kepalanya."Mama nangis karena kaget melihat Hanin bisa berada di sini. Sudah lama Mama enggak bertemu sama dia."Adam tertawa sumbang mendengar penjelasan sang Mama. "Aku enggak habis pikir. Mama tahu, 'kan siapa dia? Mama tahu, 'kan apa yang sudah dia lakukan empat tahun lalu? Tapi dari dulu sampai sekarang, aku lihat M
Bunyi tembakan yang memekakan telinga membuat Hanin menjerit histeris dan menutup mata. Ia tidak sanggup kalau harus menyaksikan tubuh Adam yang terkena hantaman timah panas. Namun, Hanin merasa aneh karena Adam sama sekali tidak berteriak kesakitan. Pria itu justru makin mengeratkan pelukan pada tubuhnya."Cepat bawa dia ke mobil!"Suara asing yang terdengar, memaksa Hanin untuk membuka mata. Ia terhenyak saat melihat tiga orang polisi memapah tubuh Baskara yang berjalan pincang. Rupanya bukan Adam yang terkena tembakan, melainkan pria paruh baya itu."Mas gak papa?" tanya Hanin sambil memeriksa seluruh tubuh Adam."Mas baik-baik saja. Beruntung tadi sebelum ke sini Mas sempat menghubungi polisi dan akhirnya mereka datang tepat waktu. Kamu juga baik-baik saja kan? Mereka tidak sempat menyakiti kamu?""Aku juga baik-baik saja, Mas.""Syukurlah." Adam bernapas lega. "Sekarang kita pulang. Kasihan Silla yang menanyakan kamu terus."Hanin mengangguk setuju. Rasa lega dirasakan keduanya k
Adam menjemput Arsilla yang ternyata sudah menunggu di depan gerbang bersama seorang satpam. Ia buru-buru menghampiri sang putri yang sepertinya sudah sangat kesal karena terlalu lama menunggu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada satpam tersebut, Adam membawa Arsilla ke restoran tempat Tita bekerja untuk menanyakan perihal Hanin. Namun sayang, jawaban dari Tita membuat Adam kecewa. Tita sama sekali tidak tahu di mana Hanin. Adam makin cemas karena tidak tahu lagi harus ke mana lagi mencari sang mantan istri."Bunda ke mana, Yah? Kok gak jemput Silla?" tanya Arsilla ketika mereka dalam perjalanan ke rumah. "Bunda ada urusan sebentar. Makanya tadi dia nelepon ayah buat jemput kamu," jawab Adam terpaksa berbohong.Silla tidak lagi bertanya dan hal itu membuat Adam sedikit lega. Setelah mengantar putrinya pulang ke rumah, Adam kembali pergi untuk mencari keberadaan Hanin. Setiap ruas jalan ia susuri, pun ke kontrakan yang dulu ditempati sang mantan istri. Akan tetapi hasilnya tetap
Adam bergerak gelisah. Entah mengapa hatinya dirundung cemas semenjak Hanin dan Arsilla meninggalkan rumah. Ditambah, Sudah jam dua belas siang dan mereka belum kembali dari sekolah. Adam berulang kali mencoba menghubungi Hanin, tetapi ponsel mantan istrinya tidak aktif. Tidak biasanya Hanin seperti ini. Tidak mungkin jika hanya karena merasa kecewa padanya, Hanin sampai menonaktifkan ponselnya."Kamu kenapa, Dam? Sepertinya sedang gelisah?" Lestari muncul menghampiri sang Putra yang mondar mandir di ruang tamu."Sudah jam dua belas dan Hanin juga Silla belum pulang, Ma. Ponsel Hanin juga tidak aktif. Adam mengkhawatirkan mereka," jawabnya sembari terus mengotak-atik ponsel, berharap nomor Hanin telah aktif."Mungkin Hanin mengajak Silla ke suatu tempat dulu.""Enggak mungkin. Kalau pun iya, Hanin pasti minta izin dulu sama kita," ujar Adam sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa.Lestari setuju dengan apa yang diucapkan putranya. Hanin memang biasanya meminta izin terlebih dahulu
Hanin sudah selesai memasak untuk sarapan. Setelah menata makanan di meja makan, ibu dari Arsilla itu bergegas ke kamar sang putri untuk membangunkannya."Putri Bunda sudah bangun. Langsung mandi ya, Nak. Bunda tunggu di ruang makan, kita sarapan sama-sama.""Oke, Bunda!" Arsilla mengacungkan kedua jempol tangan sebelum memasuki kamar mandi. Hanin tersenyum geli melihat tingkah polah sang putri.Saat kembali ke meja makan, Hanin sempat berhenti melangkah ketika melihat Adam sudah duduk di sana. "Silla belum bangun?" tanya Adam saat melihat Hanin hanya berdiri tak jauh dari tempatnya duduk."Sudah. Sekarang lagi mandi.""Kalau Mama?""Mungkin sebentar lagi ke sini."Hanin hanya menjawab singkat setiap pertanyaan yang Adam lontarkan. Adam sendiri memahami perasaan Hanin yang mungkin masih kecewa karena perkataannya kemarin. Tak lama kemudian, Lestari datang sambil tersenyum melihat putra dan mantan menantunya sudah terlebih dahulu berada di sana."Belum dimulai sarapannya? Maaf ya, Mam
Baskara terkejut ketika mendengar teriakan Rima yang berasal dari ruang rawat putrinya. Bergegas ia masuk untuk mengetahui apa yang terjadi. Matanya terbelalak ketika melihat sang istri yang sedang mengguncang bahu Anggun yang sama sekali tidak bergerak."Ada apa ini?" Baskara bertanya dengan suara gemetar. Perasaannya dilanda was-was, takut terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya."Anggun, Pa. Putri kita gak mau bangun. Mama sudah mencoba membangunkan dia Anggun diam saja," terang Rima sambil tergugu di samping tubuh sang putri."Kenapa tidak panggil Dokter?" Baskara bergegas melakukannya. Ia memanggil Dokter dengan sedikit berteriak karena panik."Bapak dan Ibu tenang dulu. Biar saya memeriksa kondisinya," ucap Dokter yang baru saja tiba di ruangan. Baskara dan Rima sedikit menyingkir untuk memberi ruang. Raut ketakutan sangat kentara terlihat dari wajah kedua orang tua Anggun."Bagaimana kondisi putri saya, Dok?"Dokter muda bername tag Randy menghela napas sambil menggelengkan k
"Jangan coba-coba kabur, Adam!"Adam menghentikan langkah, begitu pun dengan Hanin dan Lestari. Mereka berbalik menghadap ke arah Baskara yang sudah naik pitam. Adam meninggalkan acara ijab qobul begitu saja dan Baskara tidak terima."Mau ke mana? Kalian mau coba-coba lari dan mengingkari janji?" tanya Baskara sambil menyeringai. "Kalau iya memangya kenapa?" tantang Lestari tanpa rasa takut."Nyonya Lestari, putra Anda sudah berjanji akan menikahi putri saya. Anda jangan ikut campur dengan mempengaruhi Adam agar membatalkan janjinya. Seharusnya Anda tahu bagi seorang laki-laki, yang dipegang adalah janji yang kami ucapkan. Apa Anda mau mengajarkan putra Anda untuk menjadi seorang pengecut?""Saya tidak pernah mengajarkan putra saya untuk menjadi seorang pengecut!" tukas Lestari dengan geram. "Justru Anda yang telah memaksa agar putra saya mau menuruti keinginan Anggun. Dengan dalih umurnya tidak akan lama lagi, hal itu Anda jadikan senja
Lestari begitu terkejut saat mendapati Hanin sudah berdiri di depan pintu. Arsilla terlelap dalam gendongan wanita itu, sama sekali tidak terganggu saat Hanin membawanya naik angkutan umum."Lho, Hanin? Kamu bersama Arsilla saja? Adam di mana?" cecar Lestari saat melihat Hanin yang berdiri dengan mata yang terlihat sembab. Wanita paruh baya itu merasa heran karena Adam tidak ikut serta bersama mantan istrinya."Mas Adam masih di rumah sakit, Ma. Dia--"Hanin tidak mampu meneruskan ucapan. Wanita itu terlalu sakit jika harus membayangkan saat ini Adam sudah resmi menjadi suami Anggun. Memang, Hanin memilih pergi dari rumah sakit. Ia tidak kuat jika harus menyaksikan Adam mengikrarkan janji suci untuk wanita lain. "Kenapa, Nak? Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Lestari."Mads Adam. Dia ... dia akan menikahi Anggun.""A-apa?" Lestari menutup mulut karena terkejut. Tidak percaya akan apa yang dia dengar barusan. Bagaimana bisa Ada
Hanin keluar dari ruang rawat Anggun sambil membawa Arsilla yang terlelap dalam gendongannya. Ia memilih duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari ruangan tempat Anggun dirawat. Hanin ingin menetralkan dadanya yang kian sesak. Bohong jika Hanin benar-benar ikhlas Adam menikahi Anggun. Namun, ia tidak ingin bersikap egois dengan mengabaikan permintaan seseorang yang sedang berada di ujung maut. Ah, memangnya kapan ia bersikap egois? Bahkan dulu saja Hanin bersedia mengalah dan pergi demi keluarga Adam. Seharusnya tidak masalah jika kali ini ia mengalah sekali lagi, bukan? Namun, kenapa hatinya terasa berat untuk ikhlas? Kenapa takdir selalu saja tidak berpihak padanya? Di saat Adam mengetahui yang sebenarnya, kini datang masalah baru yang mengharuskan Hanin berkorban sekali lagi. Andai saja diperbolehkan, Hanin ingin pergi saja membawa Arsilla. Tak apa jika memang dia dan Adam sudah tak berjodoh. Asalkan selalu bersama sang putri, Hanin sudah sangat merasa senang.
Pukul sepuluh pagi, Adam sampai di rumah sakit bersama Hanin dan juga Arsilla. Adam sengaja membawa putrinya yang mungkin saja bisa membuat kondisi Anggun akan lebih baik. Ia sangat tahu jika Anggun begitu menyayangi Arsilla, pun sebaliknya. Putrinya itu sudah menganggap Anggun seperti ibunya sendiri.Tiba di depan ruang inap VVIP, Adam langsung disambut oleh Baskara dan istrinya. Raut kelegaan terpancar dari wajah keduanya saat mengetahui ternyata Adam tidak mengingkari janji untuk datang."Terima kasih, Nak Adam. Setelah apa yang keluarga kami perbuat, Nak Adam masih sudi untuk berbaik hati menjenguk Anggun," ujar Rima disertai senyum haru. Sesungguhnya ia malu pada Adam dan juga Hanin yang harus mengalami perpisahan karena ulah suami dan putrinya."Sama-sama. Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Adam seraya mendekat ke ranjang tempat Anggun berbaring, kemudian berdiri di sampingnya."Masih belum sadarkan diri," jawab Rima sembari menyusut air