“Aku harap aku tidak pernah pergi dari sini,” Calix bergumam, suaranya teredam karena wajahnya di telungkupkan di antara bantal yang terbuat dari serat alami yang lembut dan nyaman. Bantal-bantal itu disediakan di tempat tidur mereka untuk menambah kenyamanan saat mereka beristirahat di Gua Luminaria.Para Ethereion memberikan tempat peristirahatan di dalam Gua Luminaria, sebuah ruangan yang dihiasi dengan gemerlap kristal bercahaya. Di pojok ruangan terdapat empat tempat tidur yang terbuat dari bahan yang tampaknya mengalir dari dinding gua itu sendiri. Tempat tidur itu mengundang dengan penampilan yang mewah dan kenyamanan yang begitu nyata. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan selimut halus yang terbuat dari serat alami, memberikan sensasi hangat dan nyaman bagi siapa pun yang berbaring di atasnya.“Bahkan lebih nyaman dari tempat tidurku di Ashtanshire!” Heros menambahkan sembari berguling-guling teramat riang. “Aku bersedia membayar untuk tinggal di sini!” tambah Wilder, mata
Di perbatasan Luminaria, mereka mencapai tempat berteduh, dikelilingi dinding batu yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Di tengah-tengah, mereka menyalakan api kecil yang mengeluarkan percikan-percikan cahaya kehangatan. Duduk di sekeliling api, mereka merasa terlindungi dari guyuran hujan yang semakin deras. Iveryne duduk tertegun, matanya terpaku pada burung hantu putih di dekatnya, yakni Archer.Dengan wajah yang masih memancarkan keheranannya, duduk di antara teman-temannya. Tatapan matanya terus mengarah pada Archer yang duduk tenang di cabang pohon di dekatnya.“Wah, hujan ini benar-benar tak kenal lelah,” ujar Calix sambil menepuk-nepuk bahunya untuk menghangatkan diri.“Tapi, ya, setidaknya kita aman di sini,” sahut Wilder sambil menggenggam tangan Heros yang berada di sampingnya.Saat Wilder menggenggam tangannya, Heros merasa jijik dan terkejut. Ia menarik tangannya dengan cepat, merasa jijik setengah mati dengan sentuhan tersebut. Mata Heros memancarkan ketegangan dan k
“Aku sudah pasti kamu, tapi kamu belum tentu aku.” Kata-kata itu menyayat hati Iveryne, menciptakan gelombang kecemasan yang merambat dalam dirinya. Ketika dia menoleh, sekilas, ada sosok gadis lain di belakangnya, tapi kakinya tergelincir hingga jatuh.Terbangun dengan nafas kacau, ia merasakan beban menggantung di bahunya, menggoyahkan keyakinannya, serta membingungkan pikirannya tentang makna dari mimpinya yang misterius itu.“Aku mungkin terlalu lelah.” Dia bergumam pada dirinya sendiri sembari meremas rambutnya. Dia membuka mata, menoleh tiba-tiba, menemukan gulungan perkamen takdir tergeletak di sebelahnya.Warna coklat gelap dari gulungan itu memancarkan aura misterius yang membuatnya merinding. Dengan gemetar, dia menggenggam gulungan itu dan membuka lembaran-lembarannya dengan hati-hati. Namun, saat ia melihat ke dalam, kekosongan masih menghantui halaman-halaman. Tak ada tanda-tanda pesan atau petunjuk apapun. “Apa yang aku lewatkan?” Dia memutar, membolak-balikkannya seca
Setiap nada yang tercipta terasa begitu mendalam, membelai telinga dengan kelembutan yang memikat hati siapa pun yang mendengarnya. Wilder merasa seakan-akan diselimuti oleh keajaiban yang mengalir dalam setiap nuansa melodi yang mengalun, merasakan getaran emosi yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Sementara itu, keajaiban tak luput memengaruhi Heros dan Calix, yang ikut terpesona. Mereka terdiam, terbuai keindahan suara yang mengalun lembut di tengah hari yang sunyi. Tidak ada yang bisa memalingkan diri dari pesona alam yang menakjubkan ini, seakan-akan mereka sedang terjebak dalam dunia yang penuh keajaiban dan misteri.Reiger, tiba-tiba merasakan sesuatu yang ganjil. Matanya melotot saat melihat bayangan perempuan cantik di permukaan air. Wajahnya memancarkan pesona menakjubkan, tapi matanya, yang memancarkan cahaya biru samudera yang dalam, memberi tahu Reiger bahwa sesuatu yang jauh lebih ganas menyelinap di balik penampilan itu.“Tidak mungkin ... ini bukan rumah mereka
Dalam kegelapan laut yang membingungkan, Reiger berusaha keras untuk mempertahankan keseimbangan mereka. Ia meraih tali perahu dengan erat, mencoba menahan serangan liar dari siren yang menggoyahkan perahu mereka dengan keras.Sementara itu, Calix dan Heros bergumul dengan ombak ganas yang menerjang. Mereka bekerja keras untuk menjaga stabilitas, tetapi kekuatan siren begitu kuat sehingga mereka kesulitan.Iveryne, yang masih terkejut oleh kehadiran siren, berusaha keras untuk tetap tenang. Dengan gemetar, dia mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kegelapan malam dan gemuruh air membuatnya kesulitan untuk memahami situasi dengan jelas.Perahu mereka terombang-ambing di atas amukan gelombang, dan suara jeritan angin laut bercampur dengan raungan ombak yang menakutkan. Mereka berjuang untuk bertahan, bertekad untuk tidak terperosok ke dalam kegelapan laut yang gelap dan menyeramkan.Sementara Reiger berusaha mempertahankan kendali perahu, tiba-tiba ia merasa tarikan kuat
Dalam ketegangan yang menusuk, mereka akhirnya menemukan diri mereka terdampar di sebuah pulau kecil yang tidak mereka kenal. Terlelap oleh kelelahan, mereka terbaring di pantai yang berpasir putih, menyadari bahwa mereka harus segera mencari perlindungan dari bahaya yang mungkin mengancam. Ini sudah subuh. Matahari samar-samar menunjukkan cahayanya, menyinari pulau itu dengan cahaya keemasan yang lembut. Wilder, Heros, Calix, Iveryne, dan Reiger bangun dengan perasaan lega, mereka selamat dari badai yang mengerikan. “Dimana kita?” Wilder bertanya, setengah linglung.“Entahlah. Pulau ini tidak ada di peta.” Reiger menyahut sambil menepuk-nepuk pakaiannya, seperti yang lain. Tapi pasir-pasir pantai masih menempel karena pakaian mereka yang basah.“Dia benar-benar menelan peta itu.” Wilder melotot, berikutnya, sebuah tepukan keras menghantam kepalanya. Calix, di belakang, ikut melotot. “Kan sudah aku ceritakan kalau kami berasal dari sini.” Dia segera berjalan di sebelah Iveryne, ma
Dalam pertemuan di pulau terpencil, atmosfer dipenuhi dengan tegangan yang begitu kuat, hampir bisa dirasakan. Thalassa, dengan tatapan kemarahan, memandang Eirisea penuh penolakan.“Bagaimana kalian bisa percaya padanya?” Thalassa berseru, suaranya bergema di antara angin laut yang berbisik. “Dia adalah pengkhianat! Dia mengkhianati kepercayaan kita semua!”Para siren yang lain mengangguk setuju, beberapa di antaranya melambungkan nada setuju penuh dengan kemarahan. Namun, Eirisea tetap tenang, matanya memancarkan ketegasan yang tak tergoyahkan. “Aku tidak mengkhianati kalian, Thalassa. Aku hanya ingin kedamaian. Kamu setia pada Poseidon, tapi bahkan dendam Poseidon tidak memiliki alasan untuk dipertahankan sampai sekarang.”Thalassa menatap Eirisea dengan pandangan tidak percaya, namun beberapa dari siren yang lain mulai mengalihkan pandangan mereka di antara satu sama lain, terlihat ragu-ragu. Perdebatan pun berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat.Dengan langkah-langka
Di tepian pantai yang luas, angin laut bertiup lembut menerpa pasir putih, menciptakan gemerisik yang menenangkan. Di tengah-tengah keheningan, burung camar terbang rendah di atas ombak yang tenang, sayapnya meliuk indah menari dengan irama angin. Dengan mata tajam, mereka melintasi cakrawala biru, mencari sesuatu yang berharga. Tiba-tiba, sekelompok burung camar terbang lebih dekat ke arah perairan yang dalam. Salah satunya, dengan bulu putih bersih, melayang di depan ombak yang berkilauan. Calix, Wilder, Heros, dan Pearline duduk di atas karang yang terhampar di pinggir pantai, menyantap Lumiery dengan penuh kenikmatan. Mereka menikmati kelezatan buah itu sambil menikmati pemandangan yang menakjubkan dari Dendrasia di sekitar mereka. Gua yang mereka singgahi menghadap langsung ke Lautan.Ada kilauan cantik cahaya dari kristal-kristal di langit-langit gua menciptakan atmosfer yang magis dan menenangkan, sementara suara ombak yang berirama menambah keajaiban suasana. Pearline terta
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.