Di perbatasan Luminaria, mereka mencapai tempat berteduh, dikelilingi dinding batu yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Di tengah-tengah, mereka menyalakan api kecil yang mengeluarkan percikan-percikan cahaya kehangatan. Duduk di sekeliling api, mereka merasa terlindungi dari guyuran hujan yang semakin deras. Iveryne duduk tertegun, matanya terpaku pada burung hantu putih di dekatnya, yakni Archer.Dengan wajah yang masih memancarkan keheranannya, duduk di antara teman-temannya. Tatapan matanya terus mengarah pada Archer yang duduk tenang di cabang pohon di dekatnya.“Wah, hujan ini benar-benar tak kenal lelah,” ujar Calix sambil menepuk-nepuk bahunya untuk menghangatkan diri.“Tapi, ya, setidaknya kita aman di sini,” sahut Wilder sambil menggenggam tangan Heros yang berada di sampingnya.Saat Wilder menggenggam tangannya, Heros merasa jijik dan terkejut. Ia menarik tangannya dengan cepat, merasa jijik setengah mati dengan sentuhan tersebut. Mata Heros memancarkan ketegangan dan k
“Aku sudah pasti kamu, tapi kamu belum tentu aku.” Kata-kata itu menyayat hati Iveryne, menciptakan gelombang kecemasan yang merambat dalam dirinya. Ketika dia menoleh, sekilas, ada sosok gadis lain di belakangnya, tapi kakinya tergelincir hingga jatuh.Terbangun dengan nafas kacau, ia merasakan beban menggantung di bahunya, menggoyahkan keyakinannya, serta membingungkan pikirannya tentang makna dari mimpinya yang misterius itu.“Aku mungkin terlalu lelah.” Dia bergumam pada dirinya sendiri sembari meremas rambutnya. Dia membuka mata, menoleh tiba-tiba, menemukan gulungan perkamen takdir tergeletak di sebelahnya.Warna coklat gelap dari gulungan itu memancarkan aura misterius yang membuatnya merinding. Dengan gemetar, dia menggenggam gulungan itu dan membuka lembaran-lembarannya dengan hati-hati. Namun, saat ia melihat ke dalam, kekosongan masih menghantui halaman-halaman. Tak ada tanda-tanda pesan atau petunjuk apapun. “Apa yang aku lewatkan?” Dia memutar, membolak-balikkannya seca
Setiap nada yang tercipta terasa begitu mendalam, membelai telinga dengan kelembutan yang memikat hati siapa pun yang mendengarnya. Wilder merasa seakan-akan diselimuti oleh keajaiban yang mengalir dalam setiap nuansa melodi yang mengalun, merasakan getaran emosi yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Sementara itu, keajaiban tak luput memengaruhi Heros dan Calix, yang ikut terpesona. Mereka terdiam, terbuai keindahan suara yang mengalun lembut di tengah hari yang sunyi. Tidak ada yang bisa memalingkan diri dari pesona alam yang menakjubkan ini, seakan-akan mereka sedang terjebak dalam dunia yang penuh keajaiban dan misteri.Reiger, tiba-tiba merasakan sesuatu yang ganjil. Matanya melotot saat melihat bayangan perempuan cantik di permukaan air. Wajahnya memancarkan pesona menakjubkan, tapi matanya, yang memancarkan cahaya biru samudera yang dalam, memberi tahu Reiger bahwa sesuatu yang jauh lebih ganas menyelinap di balik penampilan itu.“Tidak mungkin ... ini bukan rumah mereka
Dalam kegelapan laut yang membingungkan, Reiger berusaha keras untuk mempertahankan keseimbangan mereka. Ia meraih tali perahu dengan erat, mencoba menahan serangan liar dari siren yang menggoyahkan perahu mereka dengan keras.Sementara itu, Calix dan Heros bergumul dengan ombak ganas yang menerjang. Mereka bekerja keras untuk menjaga stabilitas, tetapi kekuatan siren begitu kuat sehingga mereka kesulitan.Iveryne, yang masih terkejut oleh kehadiran siren, berusaha keras untuk tetap tenang. Dengan gemetar, dia mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kegelapan malam dan gemuruh air membuatnya kesulitan untuk memahami situasi dengan jelas.Perahu mereka terombang-ambing di atas amukan gelombang, dan suara jeritan angin laut bercampur dengan raungan ombak yang menakutkan. Mereka berjuang untuk bertahan, bertekad untuk tidak terperosok ke dalam kegelapan laut yang gelap dan menyeramkan.Sementara Reiger berusaha mempertahankan kendali perahu, tiba-tiba ia merasa tarikan kuat
Dalam ketegangan yang menusuk, mereka akhirnya menemukan diri mereka terdampar di sebuah pulau kecil yang tidak mereka kenal. Terlelap oleh kelelahan, mereka terbaring di pantai yang berpasir putih, menyadari bahwa mereka harus segera mencari perlindungan dari bahaya yang mungkin mengancam. Ini sudah subuh. Matahari samar-samar menunjukkan cahayanya, menyinari pulau itu dengan cahaya keemasan yang lembut. Wilder, Heros, Calix, Iveryne, dan Reiger bangun dengan perasaan lega, mereka selamat dari badai yang mengerikan. “Dimana kita?” Wilder bertanya, setengah linglung.“Entahlah. Pulau ini tidak ada di peta.” Reiger menyahut sambil menepuk-nepuk pakaiannya, seperti yang lain. Tapi pasir-pasir pantai masih menempel karena pakaian mereka yang basah.“Dia benar-benar menelan peta itu.” Wilder melotot, berikutnya, sebuah tepukan keras menghantam kepalanya. Calix, di belakang, ikut melotot. “Kan sudah aku ceritakan kalau kami berasal dari sini.” Dia segera berjalan di sebelah Iveryne, ma
Dalam pertemuan di pulau terpencil, atmosfer dipenuhi dengan tegangan yang begitu kuat, hampir bisa dirasakan. Thalassa, dengan tatapan kemarahan, memandang Eirisea penuh penolakan.“Bagaimana kalian bisa percaya padanya?” Thalassa berseru, suaranya bergema di antara angin laut yang berbisik. “Dia adalah pengkhianat! Dia mengkhianati kepercayaan kita semua!”Para siren yang lain mengangguk setuju, beberapa di antaranya melambungkan nada setuju penuh dengan kemarahan. Namun, Eirisea tetap tenang, matanya memancarkan ketegasan yang tak tergoyahkan. “Aku tidak mengkhianati kalian, Thalassa. Aku hanya ingin kedamaian. Kamu setia pada Poseidon, tapi bahkan dendam Poseidon tidak memiliki alasan untuk dipertahankan sampai sekarang.”Thalassa menatap Eirisea dengan pandangan tidak percaya, namun beberapa dari siren yang lain mulai mengalihkan pandangan mereka di antara satu sama lain, terlihat ragu-ragu. Perdebatan pun berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat.Dengan langkah-langka
Di tepian pantai yang luas, angin laut bertiup lembut menerpa pasir putih, menciptakan gemerisik yang menenangkan. Di tengah-tengah keheningan, burung camar terbang rendah di atas ombak yang tenang, sayapnya meliuk indah menari dengan irama angin. Dengan mata tajam, mereka melintasi cakrawala biru, mencari sesuatu yang berharga. Tiba-tiba, sekelompok burung camar terbang lebih dekat ke arah perairan yang dalam. Salah satunya, dengan bulu putih bersih, melayang di depan ombak yang berkilauan. Calix, Wilder, Heros, dan Pearline duduk di atas karang yang terhampar di pinggir pantai, menyantap Lumiery dengan penuh kenikmatan. Mereka menikmati kelezatan buah itu sambil menikmati pemandangan yang menakjubkan dari Dendrasia di sekitar mereka. Gua yang mereka singgahi menghadap langsung ke Lautan.Ada kilauan cantik cahaya dari kristal-kristal di langit-langit gua menciptakan atmosfer yang magis dan menenangkan, sementara suara ombak yang berirama menambah keajaiban suasana. Pearline terta
Dalam pelukan hangat gua karang, Iveryne dan Eirisea berbaring berdampingan, di atas alas yang terbuat dari lumut lembut, dan pasir-pasir halus yang menyerupai kasur alami, di bawah atap yang terbuat dari batu karang yang rapat. Pasir itu memberikan rasa kenyamanan dan dukungan yang cukup saat ia meletakkan tubuhnya di atasnya. Sementara batu karang di sekitarnya memberikan perlindungan yang alami dari angin laut yang kadang-kadang berhembus masuk ke dalam gua. Rasanya seperti berbaring di atas pelukan alam yang lembut, membuat Iveryne merasa tenang dan terlindungi.Udara dingin mengalir di sekitar. Iveryne memandang langit-langit dengan pandangan kosong, penuh ketegangan. Cahaya matahari senja menyinari Gua melalui celah-celah kecil di langit-langit Gua, menciptakan bayangan-bayangan menari di sekeliling mereka. Suara ombak yang bergulung-gulung di luar gua mengisi ruangan dengan irama menenangkan.Eirisea dan Iveryne terlihat serius, wajah mereka tercermin dalam sinar senja yang l