Tak ada pilihan lain, Atiqah menerima tawaran Masri, untuk mampir dulu ke rumah pemuda ini. Hujan makin deras disertai kilat dan guntur, Atiqah ternyata agak fobia dengan kilat dan guntur.Apalagi sekolah TK ini akan di gembok penjaga sekolah. Setelah menitip motornya, dengan berlari kecil keduanya menuju ke mobil SUV Masri.“Yahh terpaksa bertahan di rumah kamu…! Mana aku ada janji lagi pukul 2 siang nanti,” keluh Atiqah.“Mau ku antar nggak?”“Jangan Masri, bahu kamu agaknya belum sembuh betul. Kamu harusnya istirahat bukannya berkeliaran,” tolak Atiqah, sambil tunjukan perhatiannya.Ini yang diam-diam makin bikin Masri suka, apalagi dari body, Atiqah sesuai idamannya. Body proporsional dan berpenampilan sopan.“Nanti sopir aku yang antar,” desak Masri lagi. Atiqah hanya tersenyum dan bilang lihat saja nanti.Senyum Atiqah bikin Masri betah menatap, kalau tak ditegur gadis ini, mobil mewah ini akan meleng ke kiri dan nabrak trotoar.Atiqah mulai cerita, di sekolah TK-nya rata-rata m
Masri hanya bisa menghela nafas, dia masih menatap sofa yang sebelumnya diduduki Atiqah. Gadis cantik ini tak menjawab ajakan Masri untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.“Aku butuh waktu, maksudnya beri aku waktu untuk berpikir…!” itulah jawaban Atiqah, dia juga menolak saat Masri ingin mengantar pulang, hujan masih belum berhenti, malah makin lebat.Atiqah minta agar Masri beristirahat saja, jangan kelayapan. Sopir pribadi Masri-lah yang mengantar Atiqah pulang, karena dia ada acara lain jam 2 siang.“Wanita mahluk yang aneh...yang ku kejar malah menolak halus, yang tak ku kejar malah mendekat!” gumam Masri sambil hembuskan asap rokoknya.Minta waktu bagi Masri sama dengan 'menolaknya' secara halus. Ia pun tak mau terlalu lama larut dalam ke patah hatian.Masri memutuskan fokus untuk cari tahu di mana Olly Bantano bersembunyi, dia masih penasaran dengan pembunuh kedua orang tuanya tersebut.Setelah berada di Jakarta selama 15 harian, Masri pun memutuskan pulang kembali ke Mak
“Satu lagi bang, sampai kini aku belum tahu di mana keberadaan adikku, Aldi, yang dulu sempat diserahkan mendiang mama pada pasangan suami istri Pak Jarah dan Bik Mirah yang merupakan bidan beranak. Entahlah apakah Gibran tau di mana anaknya itu?”Ucapan Dewi seakan sindir Abang Masri ini, yang seolah lupa tanggung jawab. Masri langsung tak enak hati dengan ucapan gadis cantik ini, tapi dia diam saja.Apalagi Dewi sebut 'Gibran' saja, seolah Abang nya tersebut bukan mantan papa tirinya.Saat ini mereka sedang bersantai di sebuah kafe. Masri-lah yang mengajak, agar leluasa bicara, sekaligus dia penasaran dengan masalah keluarga kaka keponakannya ini.“Dewi, kalau kamu beranggapan Abang ku melupakan Aldi, kamu salah besar. Sampai saat ini Gibran masih terus cari keberadaan anaknya dengan mama kamu tersebut.”Masri lalu menceritakan juga, kalau diapun sampai kini masih melacak kemana Aldi perginya, saat Gibran dan Celica menika
Tanpa Masri dan Dewi sadari, 30 menitan setelah mereka meninggalkan makam tersebut, datang seorang remaja berwajah tampan tanggung berusia 15 tahunan yang juga langsung ziarah ke makam Tante Renita.Remaja ini bertubuh jangkung, dengan kulit mirip Dewi, dia ini lama tepekur didepan pusara ini, sambil duduk termenung, setelah membaca doa yang cukup panjang.“Mama...maafkan Aldi yang baru sekarang ziarah ke sini…Aldi janji, kelak setelah pendidikan selesai di pondok, akan tinggal di sini, agar bisa setiap saat ziarah...!”Terdengar pelan suara remaja laki-laki ini, sambil mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di makam tersebut.Aldi yang baru lulus di sekolah setingkat SMP di ponpes, saat ini memanfaatkan masa libur untuk kembali ke Palembang dan mendatangi makam ibu kandungnya.Sebelum kelak balik ke Ponpes Al Iman dan akan kembali menjadi santri Aliyah (setingkat SMU) di ponpes tersebut. Aldi sama sekali tak ada minat mencari tahu siapa ayah kandungnya. Dia hanya ingin selesaikan pendi
“Hmm…kalau bukan kamu dan Roy Sumanjaya, siapa orang lain itu..?” pancing Masri tenang, sama sekali tak ada takut-takutnya, ini membuat Olly Bantano kagum.“Wajarlah…dia aparat!” batin Olly Bantano, menenangkan hatinya melihat Masri yang enjoy begitu.Anehnya sebelum menjawab pertanyaan Masri, Olly Bantano malah meminta anak buahnya lepas ikatan tangan Masri, lalu tanpa ragu dia mempersilahkan Masri dan Dewi kini duduk di depannya.“Duduklah…bagaimanapun kamu kini bukan orang lagi bagiku, karena kamu adik ipar anakku,” cetus Olly Bantano dengan pedenya.Hingga Dewi kaget sendiri, tak menyangka kalau istri Gibran anak dari pria tua ini. Dewi tentunya tak tahu, karena Masri belum pernah cerita siapa itu Celica, istri Gibran saat ini.“Hmm…sikap kamu semakin mencurigakan saja Olly Bantano, tadi kamu perintahkan anak buahmu menculik aku dan Dewi. Bahkan ada yang kasar denganku. Apa sebenarnya kehendakmu? Dan siapa otak pembunuh kedua orang tuaku?” pancing Masri tenang.“Ha-ha-ha…itu kusen
“Masri…sudah kukatakan, kita sekarang bukan orang lain, kamu jatuhnya kemenakanku sekarang, melalui Bana Harnady dan pastinya ipar kamu, Celica anakku tersebut. Asal kamu tahu, aku pun di tipu Bana Harnady hingga 100 miliaran..!” cetus Olly Bantano dengan wajah serius.Masri kaget, tapi hanya sesaat dia malah tertawa kecil mendengar ucapan Olly Bantano yang dianggapnya mulai ngelantur ini.“Entah sandiwara apalagi yang kamu lakukan saat ini, Roy Sumanjaya sudah sebut kamu terlibat pembunuhan orang tuaku, lalu kamu sebut dalang pelakunya Bana Harnady, kini kamu ngaku ditipu 100 miliar oleh orang yang kamu sebut keponakan tersebut.""Padahal kamu punya anak buah, bahkan nekat-nekat, kenapa tak kamu rampas saja uang itu. Apalagi dia juga keponakan kamu sendiri?” dengus Masri seakan ejek si tua yang dia anggap penuh manipulatif ini. Secara tak terduga Olly Bantano menghela nafas panjang, lalu wajahnya kini kembali serius.“Aku sudah berkali-kali mencoba, tapi hasilnya…!” Tiba-tiba Olly
“Tapi…aku khawatir di sana akan sangat berbahaya Wi?” Masri masih sangsi, dia takut terjadi apa-apa dengan si cantik ini.“Tenang Bang, aku janji bisa jaga diri, mungkin juga aku berguna kelak buat Abang!” janji Dewi, Masri pun tak bisa berbuat apa-apa Dewi tetap ngotot sekali.Malam itu juga Dewi menelpon kakeknya, dan bilang saat ini sedang bersama keluarga ‘sendiri’, yang juga paman adiknya. Mendengar ini, Masri senyum saja, rasa sayang sudah ada padanya.“Soal mencari Erwin, kita sambil jalan yaa, aku akan minta anak buahku di Polres untuk terus lacak di mana Erwin bersembunyi,” janji Masri, karena dia sudah terlanjur berjanji akan bantu Dewi.Untuk melacak di mana Paman-nya tersebut bersembunyi, usai membunuh dan merampas sertifikat serta tabungan neneknya.Setelah mengatur akan ke Papua secepatnya, keduanya tidur di kamar masing-masing. Masri sengaja ambil dua kamar di hotel ini, dia tak ingin ‘khilaf’ dengan kaka keponakannya tersebut.Melihat Dewi, Masri bisa melupakan Atiqah,
“Eh sebentar, nama kamu siapa dek?” Dewi tiba-tiba saja bertanya, sebelum beranjak dari kursinya menyusul Masri yang sudah duluan ke mobil.“Aldi kak, makasih ya Kak, juga buat Om tadi…selamat jalan hati-hati ya!” sahut Aldi dan hanya memperhatikan keduanya masuk ke dalam mobil dan meluncur menuju bandara.Masri terpaksa agak tergesa-gesa, karena waktu mereka mepet, untuk terbang transit ke Jakarta, lalu ke Makasar, dan kelak ke Papua.Aldi tentu saja melongo dan geleng-geleng kepala melihat banyaknya uang yang diberikan Masri.Dan inilah juga kesalahan Aldi, kenapa dia tak cerita kalau dulu pernah di tolong Masri.“Hebat sekali Om Masri ini, uangnya banyak betul, enteng banget ngasih uang tak sedikit ini.” gumam Aldi, yang tak menyangka akan dapat rejek nomplok lagi.Lalu berkali-kali ucap syukur.“Alhamdulillah, mungkin berkat zikir yang selalu aku lakukan setiap saat, Allah beri aku rejeki yang terduga melalui Om Masri.” batin Aldi, sambil meraba tasbeh kecilnya di saku baju.Remaj