"kamar Jingga dimana ini kang?" Jingga bertanya saat emak dan mas Abi baru saja pulang setelah mengantarkan kami ke rumah kontrakan yang sudah di sediakan mereka. Aku mengusap wajah kasar, menatapnya dengan malas. "Kita suami istri ya, jangan harap pisah ranjang!" ujarku sembari melaluinya masuk kedalam rumah. Terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga, kaki ia hentakan membuat bunyian kekesalan. Aku tak peduli, yang ku pikirkan saat ini. Aku ingin beristirahat sejenak. Rasanya begitu lelah setelah menempuh perjalanan yang memakai waktu berjam-jam. Aku terduduk di sebuah sofa ruang tamu, begitu empuk. Netraku menatap sekeliling dengan pandangan kosong. Ruangan yang tidak bisa di bilang sederhana menurutku, meskipun tidak besar, namun cukup nyaman. Dindingnya yang berwarna putih dengan sedikit cat yang mengelupas memberi kesan usang, namun ada nuansa hangat dari lampu gantung yang redup. Di sudut ruangan, ada meja kayu kecil dengan beberapa bunga plastik yang sudah sedikit p
Seusai sarapan pagi, aku menunggu Jingga untuk bersiap. Kami bergegas menuju mobil, mengarah ke rumah sakit cipto mangun kusumo. Tempat dimana teh Ayu dan mas Abimanyu praktek. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, pagi akan mengunjungi dokter Anwar, dokter terbaik di rumah sakit tersebut.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit yang cukup besar itu. Pagi masih terasa sejuk, namun langkah kami terasa cepat dan tergesa-gesa. Di ruang tunggu, suasana penuh dengan orang-orang yang menunggu giliran. Jingga duduk di sampingku, tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, ku perhatikan semua orang di sekeliling agak menjauh dari kami dengan tangan secepat mungkin menutup hidungnya, terdengar beberapa orang berbisik membicarakan kami dengan suara pelan. "Kang, maaf. Akang pasti malu" bisik Jingga, matanya melirik ke sekeliling, merasa cemas.Aku menatap sejenak orang-orang yang mulai mencuri pandang. Beberapa dari mereka menutupi hidung dengan maske
"Kang, Jingga takut" lirihnya saat kami diarahkan untuk menuju ruang obeservasi untuk melakukan serangkaian tes yang diperlukan demi mengetahui penyebab bau badannya yang tak kunjung hilang.Aku menggenggam tangan Jingga lebih erat, berusaha menyalurkan ketenangan dalam hatinya, meski bibir ini terkatup rapat serta wajah yang ku yakini berubah menjadi pias sekarang. Ah, mengapa ekhawatiran kembali muncul untuknya?Aku terdiam tak menjawab perkataannya, membawanya melangkah pelan menuju ruang observasi, di mana serangkaian tes harus dilakukan. Bau tubuh Jingga yang tak kunjung hilang itu seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi.Setelah dokter anwar mengarahkan kami ke ruangan sunyi, seorang perawat dengaan massker putihnya datang menghampiri kami, bisa ku lihat dari binar matanya ia tersenyum kearah kami. Tidak, ku perhatikan sedari tadi binar matanya mengarah pada Jingga saja. "Selamat datang, saya Aldo. Kalian berdua bisa duduk di sini. Tes akan segera d
"Gimana, Mad. Pemeriksaanya sudah selesaikan? Hasilnya bagaimana?"Aku menggeleng kaku, saat mas Abimanyu bertanya menghampiriku yang tengah duduk kebingungan menunggu Jingga di dalam tengah melalukan pemeriksaan lebih lanjut. "Dugaannya sih kelainan metabolisme, Mas" jawabku lesu.Mas Abi menghembuskan napas lelahnya, duduk di sebelahku. Kemudian ia menepuk pundakku pelan, seolah menyalurkan kekuatan. "Yang sabar ya, Mad. Lagi pula itu masih dugaan, semoga saja meleset" ujarnya, dari suaranya terdengar tak begitu menenangkan.Aku mendongak, melihat wajahnya yang penuh khawatir membuat rasa was-was ku semakin menjadi. "Kelainan metabolisme itu apa, Mas? Apa itu suatu penyakit yang parah?" tanyaku penasaran.Mas Abimanyu terlihat terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. Ia menghela napas, lalu menatapku dengan tatapan serius. "Kelainan metabolisme itu sebenarnya berhubungan dengan cara tubuh mengolah makanan dan energi, Mad. Biasanya, itu disebabkan ol
"Apa yang dokter Anwar katakan, Mad?" Emak bertanya saat kami baru saja tiba di rumah kontrakan sore hari ini. Entah sejak kapan emak menunggu, yang pasti ku lihat penampilannya sudah sedari lama. Aku menghela napas berat, melirik ke arah Jingga yang begitu murung. Wajah bermuram durjana."Jingga, kenapa nak? Cerita sama emak ya" tutur emak lembut mendekati Jingga. Jingga tetap terdiam, matanya yang sendu menatap lantai, seolah takut menatap emak yang begitu penasaran akan apa yang Jingga alami selama ini. Raut wajahnya begitu lelah, seperti ada beban berat yang ingin dia lepaskan, tapi kata-kata tidak kunjung keluar.Aku menarik emak dengan lembut, kedua netra ini mengkode agar emak tetap membiarkan Jingga untuk pergi ke kamar. Biarkan dia beristirahat sejenak. "Kenapa mad, jelaskan. Emak gak mau kalian menutup-nutupi penyakitnya. Mas abi tadi telpon, kalau kalian,""Emak pasti sudah tau jawabannya dari mas Abi dan teh Ayu" potongku cepat, enggan menjelaskan.Emak menatapku dengan
Jingga povDini hari, aku terjaga dari tidur. Mataku mengerjap pelan karena terusik dengan rasa haus yang menggerogoti kerongkongan. Aku menoleh karah nakas, berharap segelas air putih yang biasa ku sediakan ada disana. Namun saya, entah karena aku lupa atau apa segelas air yang biasanya tersedia kali ini tidak ada sama sekali. Mau tak mau aku akhirnya memaksakan diri beranjak dari ranjang, menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat keluar kamar, aku di kejutkan dengan sosok kang Ahmad yang masih terjaga tengah terduduk di ruang tamu dengan menatap laptop yang menyala di hadapannya. Kesepuluh jari tangan kang Ahmad nampak sibuk, menari diatas tooth keyboard laptop, dengan sesekali matanya memicing seolah memeriksa sesuatu. Rupanya, pria itu tengah tenggelam dengan kesibukannya hingga tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi berdiri diambang pintu kamar. Berusaha untuk tak peduli, aku berjalan pelan menuju dapur. "Mau kemana?" Langkahku terhenti saat suara tak asing menyapa ru
Aku mengerjap saat dada terasa begitu sesak, tubuh rasanya tertimpa beban ribuan kilo. Berat! Namun ceruk leherku rasanya begitu hangat. Ah, apa yang terjadi padaku. Suara kumandang adzan subuh terdengar begitu nyaring, saat aku memaksa membuka mata yang masih terasa berat, namun tubuhku yang seperti tertimpa beban ini rasanya begitu sulit untuk di gerakkan memaksa aku untuk segera membuka mata. Aku mendengus, saat mendapati tubuh Jingga berada diatasku dengan kedua tangan tengah memelukku. Sementara kepalanya bertengger di dada bidangku dengan deru napas yang terasa begitu hangat pada ceruk leherku. Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna situasi yang tak biasa ini. Apa yang terjadi semalam, benar-benar di luar dugaanku. Tak pernah dalam bayanganku, kami akan berada dalam posisi seperti ini. Apalagi saat aku merasakan hangatnya tubuhnya yang terbenam begitu dekat, begitu intim. Sungguh, tak pernah. Entah bagaimana caranya, padahal semalam kami habiskan dengan obrolan ringan s
Rasanya panik bukan main saat kesadaranku kembali seutuhnya, kedua tangan ini dengan cepat meraba seluruh tubuh lalu menyadari jika pakaian masih melekat di tubuhku. Ah, masih utuh. Seraya menunduk, aku meraba retsleting celanaku. Siapa tau sudah tidak terbuka? Tidak, semuanya masih seperti semula! Lalu Jingga? Dengan keraguan tubuh ini bergerak, merubah posisi menjadi miring. Kulihat Jingga nampak masih tertidur pulas di bawah sofa dengan beralaskan karpet beludru. Tunggu dulu, lalu? Bukannya tadi pas setelah kumandang adzan subuh itu, Jingga berada di atasku? Kami sudah melakukannya, dan diakhiri dengan pengakuanku? Bayangan-bayangan saat aku memeluk Jingga dan meminta hak ku masih terngiang di pikiranku. Suara-suara permintaan maaf serta penyesalan masih terngiang-ngiang ditelingaku. Perlahan aku bangkit, mencoba mengatur napasku yang masih terengah-engah. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku justru semakin kacau. Aku mencoba untuk fokus, memeriksa setiap inci tubuhku se
"Kamu tega Mad, biarin emak desak-desakan di pasar?" tanya Emak dengan raut tak percayanya saat aku baru saja menancap pedal rem mobil tepat di sebrang pasar. Aku menoleh dengan bingung. "Kan biasanya juga emak suka ke pasar, kok dramatis banget mak ngomongnya?" tanyaku heran, tak biasanya emak protes seperti itu.Emak berdecak, kedua tangannya bersidekap dada. "Mikir weh atuh Mad, ini teh bukan tempat emak. Ini kota besar, pasarnya luas. Mana ini masih pagi, kali-kali atuh bawa emak ke mall kaya teteh mu itu."Aku mengernyitkan dahi, masih belum paham dengan maksud emak. "Emak mau ke mall? Emang, kenapa?" tanyaku, mencoba memahami apa yang emak bicarakan.Emak menatapku dengan tatapan yang agak tajam, "eleh pake nanya lagi. Ayo antar emak ke mall aja, biar belanjanya nyaman" Aku terdiam, berpikir sejenak kemudian merogoh saku celana. Mengambil dompet, lalu membukanya. Aku meringis saat melihat isi dompetku yang begitu tipis. "Ahmad harus hemat mak, pengobatan Jingga butuh biaya yan
Mood ku pagi ini benar-benar berantakan, begitu kacau gara-gara mimpi dan percakapanku bersama si mamang tadi. Sementara itu, Jingga tak tau apa-apa terus menguntit untuk bertanya prihal apa yang terjadi. "Masak sana, saya lapar!" teriakku ketika Jingga mendekat kembali, duduk di sebelah. Ia terperanjat kaget. "Bahan-bahannya gak ada atuh kang, Jingga bingung harus nyari ke mana" keluhnya dengan menunduk."Ya ke pasar lah!" jawabku setengah membentak membuatnya beringsut ketakutan. "Tapi kang, ini Jakarta. Jingga gak tau jalan, lagi pula Jingga gak mau keluar takutnya semua orang terganggu dengan bau badan Jingga" jawabnya dengan lirihan.Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi itu malah membuatku semakin merasa sesak. Suasana pagi ini terasa semakin kacau dengan rasa frustrasi yang semakin menumpuk. Aku hanya ingin sedikit kedamaian, tapi entah kenapa, semuanya terasa seperti badai."Kamu tuh terlalu stres! Gak usahlah di pikirin tentang sindrom kamu itu! Semakin kamu
Rasanya panik bukan main saat kesadaranku kembali seutuhnya, kedua tangan ini dengan cepat meraba seluruh tubuh lalu menyadari jika pakaian masih melekat di tubuhku. Ah, masih utuh. Seraya menunduk, aku meraba retsleting celanaku. Siapa tau sudah tidak terbuka? Tidak, semuanya masih seperti semula! Lalu Jingga? Dengan keraguan tubuh ini bergerak, merubah posisi menjadi miring. Kulihat Jingga nampak masih tertidur pulas di bawah sofa dengan beralaskan karpet beludru. Tunggu dulu, lalu? Bukannya tadi pas setelah kumandang adzan subuh itu, Jingga berada di atasku? Kami sudah melakukannya, dan diakhiri dengan pengakuanku? Bayangan-bayangan saat aku memeluk Jingga dan meminta hak ku masih terngiang di pikiranku. Suara-suara permintaan maaf serta penyesalan masih terngiang-ngiang ditelingaku. Perlahan aku bangkit, mencoba mengatur napasku yang masih terengah-engah. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku justru semakin kacau. Aku mencoba untuk fokus, memeriksa setiap inci tubuhku se
Aku mengerjap saat dada terasa begitu sesak, tubuh rasanya tertimpa beban ribuan kilo. Berat! Namun ceruk leherku rasanya begitu hangat. Ah, apa yang terjadi padaku. Suara kumandang adzan subuh terdengar begitu nyaring, saat aku memaksa membuka mata yang masih terasa berat, namun tubuhku yang seperti tertimpa beban ini rasanya begitu sulit untuk di gerakkan memaksa aku untuk segera membuka mata. Aku mendengus, saat mendapati tubuh Jingga berada diatasku dengan kedua tangan tengah memelukku. Sementara kepalanya bertengger di dada bidangku dengan deru napas yang terasa begitu hangat pada ceruk leherku. Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna situasi yang tak biasa ini. Apa yang terjadi semalam, benar-benar di luar dugaanku. Tak pernah dalam bayanganku, kami akan berada dalam posisi seperti ini. Apalagi saat aku merasakan hangatnya tubuhnya yang terbenam begitu dekat, begitu intim. Sungguh, tak pernah. Entah bagaimana caranya, padahal semalam kami habiskan dengan obrolan ringan s
Jingga povDini hari, aku terjaga dari tidur. Mataku mengerjap pelan karena terusik dengan rasa haus yang menggerogoti kerongkongan. Aku menoleh karah nakas, berharap segelas air putih yang biasa ku sediakan ada disana. Namun saya, entah karena aku lupa atau apa segelas air yang biasanya tersedia kali ini tidak ada sama sekali. Mau tak mau aku akhirnya memaksakan diri beranjak dari ranjang, menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat keluar kamar, aku di kejutkan dengan sosok kang Ahmad yang masih terjaga tengah terduduk di ruang tamu dengan menatap laptop yang menyala di hadapannya. Kesepuluh jari tangan kang Ahmad nampak sibuk, menari diatas tooth keyboard laptop, dengan sesekali matanya memicing seolah memeriksa sesuatu. Rupanya, pria itu tengah tenggelam dengan kesibukannya hingga tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi berdiri diambang pintu kamar. Berusaha untuk tak peduli, aku berjalan pelan menuju dapur. "Mau kemana?" Langkahku terhenti saat suara tak asing menyapa ru
"Apa yang dokter Anwar katakan, Mad?" Emak bertanya saat kami baru saja tiba di rumah kontrakan sore hari ini. Entah sejak kapan emak menunggu, yang pasti ku lihat penampilannya sudah sedari lama. Aku menghela napas berat, melirik ke arah Jingga yang begitu murung. Wajah bermuram durjana."Jingga, kenapa nak? Cerita sama emak ya" tutur emak lembut mendekati Jingga. Jingga tetap terdiam, matanya yang sendu menatap lantai, seolah takut menatap emak yang begitu penasaran akan apa yang Jingga alami selama ini. Raut wajahnya begitu lelah, seperti ada beban berat yang ingin dia lepaskan, tapi kata-kata tidak kunjung keluar.Aku menarik emak dengan lembut, kedua netra ini mengkode agar emak tetap membiarkan Jingga untuk pergi ke kamar. Biarkan dia beristirahat sejenak. "Kenapa mad, jelaskan. Emak gak mau kalian menutup-nutupi penyakitnya. Mas abi tadi telpon, kalau kalian,""Emak pasti sudah tau jawabannya dari mas Abi dan teh Ayu" potongku cepat, enggan menjelaskan.Emak menatapku dengan
"Gimana, Mad. Pemeriksaanya sudah selesaikan? Hasilnya bagaimana?"Aku menggeleng kaku, saat mas Abimanyu bertanya menghampiriku yang tengah duduk kebingungan menunggu Jingga di dalam tengah melalukan pemeriksaan lebih lanjut. "Dugaannya sih kelainan metabolisme, Mas" jawabku lesu.Mas Abi menghembuskan napas lelahnya, duduk di sebelahku. Kemudian ia menepuk pundakku pelan, seolah menyalurkan kekuatan. "Yang sabar ya, Mad. Lagi pula itu masih dugaan, semoga saja meleset" ujarnya, dari suaranya terdengar tak begitu menenangkan.Aku mendongak, melihat wajahnya yang penuh khawatir membuat rasa was-was ku semakin menjadi. "Kelainan metabolisme itu apa, Mas? Apa itu suatu penyakit yang parah?" tanyaku penasaran.Mas Abimanyu terlihat terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. Ia menghela napas, lalu menatapku dengan tatapan serius. "Kelainan metabolisme itu sebenarnya berhubungan dengan cara tubuh mengolah makanan dan energi, Mad. Biasanya, itu disebabkan ol
"Kang, Jingga takut" lirihnya saat kami diarahkan untuk menuju ruang obeservasi untuk melakukan serangkaian tes yang diperlukan demi mengetahui penyebab bau badannya yang tak kunjung hilang.Aku menggenggam tangan Jingga lebih erat, berusaha menyalurkan ketenangan dalam hatinya, meski bibir ini terkatup rapat serta wajah yang ku yakini berubah menjadi pias sekarang. Ah, mengapa ekhawatiran kembali muncul untuknya?Aku terdiam tak menjawab perkataannya, membawanya melangkah pelan menuju ruang observasi, di mana serangkaian tes harus dilakukan. Bau tubuh Jingga yang tak kunjung hilang itu seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi.Setelah dokter anwar mengarahkan kami ke ruangan sunyi, seorang perawat dengaan massker putihnya datang menghampiri kami, bisa ku lihat dari binar matanya ia tersenyum kearah kami. Tidak, ku perhatikan sedari tadi binar matanya mengarah pada Jingga saja. "Selamat datang, saya Aldo. Kalian berdua bisa duduk di sini. Tes akan segera d
Seusai sarapan pagi, aku menunggu Jingga untuk bersiap. Kami bergegas menuju mobil, mengarah ke rumah sakit cipto mangun kusumo. Tempat dimana teh Ayu dan mas Abimanyu praktek. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, pagi akan mengunjungi dokter Anwar, dokter terbaik di rumah sakit tersebut.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit yang cukup besar itu. Pagi masih terasa sejuk, namun langkah kami terasa cepat dan tergesa-gesa. Di ruang tunggu, suasana penuh dengan orang-orang yang menunggu giliran. Jingga duduk di sampingku, tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, ku perhatikan semua orang di sekeliling agak menjauh dari kami dengan tangan secepat mungkin menutup hidungnya, terdengar beberapa orang berbisik membicarakan kami dengan suara pelan. "Kang, maaf. Akang pasti malu" bisik Jingga, matanya melirik ke sekeliling, merasa cemas.Aku menatap sejenak orang-orang yang mulai mencuri pandang. Beberapa dari mereka menutupi hidung dengan maske