Part6
"Atagfirullah," pekik Hesti.
Aku pun turut terkejut, melihat perbuatan Ibu yang begitu saja menghamburkan sarapan pagi kami.
"Bu, kenapa harus seperti ini," pekikku.
"Danu! Makanan Hesti tidak enak, Ibu tidak suka. Kamu jangan makan itu lagi, rasanya benar- benar menjijikkan," bentak Ibu padaku.
"Bu, jangan keterlaluan seperti ini, tolong hargai Danu, Bu. Biar bagaimana pun juga, Hesti adalah istri Danu ...."
"Mentang- mentang dia istri kamu, jadi kamu nggak apa- apa gitu, makan makanan buruk begitu?"
"Ya, apapun yang Hesti masak, Danu akan selalu makan. Jika Ibu tidak suka, itu tidak masalah, asal jangan di buang begini semuanya!!"
"Pandai sekali kamu melawan Ibu. Mau jadi anak durhaka kamu?" Ibu marah dan melotot kepadaku.
"Semakin kamu berani melawan Ibu, maka Ibu akan semakin membenci Hesti ...."
Mendengar penuturannya, membuatku kembali merasa tidak berdaya.
Sebagai anak tunggal, aku memang mendapatkan begitu banyak cinta dari Ibu dan Ayah selama ini.
Kasih sayang mereka, kuakui luar biasa. Sebab itulah, sulit bagiku untuk melawan Ibu. Meskipun kadang perasaan ini ikutan sakit, ketika Beliau mencaci maki istriku, Hesti.
Tapi Hesti pernah berjanji, akan selalu berusaha memahami Ibu, dan tidak akan melawannya. Hesti memang wanita terbaikku. Aku selalu berharap, bahwa kelak, Ibu akan berubah dan bisa mencintai Hesti layaknya dia mencintaiku.
********
Tidak terasa pernikahanku dan Hesti, sudah menginjak satu tahun.Ibu datang, dan menanyakan kehamilan istriku yang tidak kunjung datang."Hesti, kapan kamu bisa memberikan keluarga kami cucu? Kamu mandul?" tanyanya. Dengan alis terangkat sebelah.
"Kami sudah berusaha, Bu. Tetapi mungkin Allah belum mengabulkan harapan kami," jawab istriku pelan, sambil menundukkan wajah.
"Berarti kamu mandul?" tuduhnya lagi.
"Insya Allah tidak, Bu. Hesti dan mas Danu sudah cek ke dokter, semua sehat, Bu," jawab Hesti apa adanya.
"Nggak mungkin, kalau sehat, kenapa sampai detik ini kamu tidak hamil? Kalau kamu begini terus bagaimana nasib keturunan keluarga kami?" cecar Ibuku itu pada Hesti. Rasa kasihan sebenarnya, tapi aku tidak mau melawan Ibu terus, yang hanya akan meracik api kebencian pada Hesti semakin besar di hatinya.
"Kamu kan tahu, Danu anak kami satu-satunya. Jika kamu tidak mampu memberikan kami cucu, maka keturunan Bramasta, hanya akan berhenti di Danu saja, itu jelas merugikan kami ...."
Panjang lebar Ibuku berkata. Istriku kembali hanya diam, tidak langsung menyahut ucapan Ibu.
"Sekarang kamu pilih! Danu. Ceraikan Hesti, atau kamu menikah lagi," ucapnya dengan tegas.
"Nggak semudah itu Bu, lagi pula ini baru setahun. Dan kami berdua juga sehat, hanya saja, mungkin Allah belum memberikan kami kepercayaannya."
"Umur nggak ada yang tahu, Nak. Ibu mau segera menimang cucu dari kamu!" tutur Ibu dengan wajah datar.
"Kami berdua sudah berusaha Bu, tolonglah bersabarlah sedikit."
"Sampai kapan Ibu harus bersabar? Sampai Ibu dan Ayah kamu mati?""Astagfirullah, Ibu ..., kenapa harus bicara tentang kematian." Aku cukup syok, mendengar ucapan Ibu, yang seakan memaksakan kehendak, dengan dalih kematian.
"Kamu harus menikah lagi, dan dapatkan keturunan untuk Ibu!!" tegas Ibuku.
"Besok Ibu kenalin kamu, demi generasi penerus kita," lanjutkan dengan yakin.Kami pun hanya terdiam.
Sepulang Ibu dari rumah kami, aku memeluk Hesti dan lagi- lagi aku harus meminta maaf padanya, atas segala perbuatan Ibuku."Maafkan Ibuku ...."
"Sudah biasa," jawabnya dengan wajah yang tidak berdaya, ketika kedua tangan ini kutangkupkan ke wajahnya.
"Aku tahu, kamu pasti sakit hati sama Ibu."
"Iya, pasti."
Jawaban Hesti semakin membuatku merasa sakit hati.
"Ibu begitu membenciku, bahkan nyaris tiap bulan, dia menciptakan luka di hati ini. Entah kapan kebenciannya padaku akan berakhir," lirih Hesti. Aku kembali memeluk tubuh mungil istriku itu.
"Selalu berdoa, sayang. Semoga Allah, melunakkan hati Ibu, dan mau menyayangi kamu ...."
"Aku bukan istri sempurna, dan bukan menantu yang dia suka. Aku hanyalah wanita miskin, yang menjijikan di matanya, Mas."
"Jangan pernah berkata begitu! Kamu berlian bagiku, sayang. Ini hidup kita, yang menjalani juga kita. Kamu jangan pernah menyimpan dendam dan rasa sakit hati sama Ibuku. Biar bagaimana pun juga, dia adalah orang tua kita, kamu dan aku itu satu."
Dan Hesti hanya terdiam, hanya terdengar isakkan pelan. Aku tahu, dia sedang menangis saat ini.
"Maaf, mas tidak berdaya dengan semua ini."
Bab7 Memory lama itu kembali berputar di ingatanku. Dan Ibu benar- benar membawa Naomi ke dalam rumah tangga kami. Naomi, teman masa kecilku, sekaligus tetangga kami dahulu.Semenjak Ayahnya pindah tugas ke kota lain, kami memang tidak pernah bertemu lagi, bahkan berkomunikasi. Tidak kusangka, kami akan bertemu dengan kisah yang berbeda. Jika dulu kami adalah teman baik, kini lain ceritanya. Naomi datang, sebagai calon istri keduaku. "Mas, kenapa sih kamu kaku begini? Lagian aku cuma mau cium kamu ...." suara Naomi seakan menyeretku kembali ke alam sadar, setelah teringat berbagai kejadian- kejadian sebelumnya di hidupku. "Kamu nggak suka sama aku, ya. Kok aku jadi sedih begini. Kalau memang kamu terpaksa sama aku, aku bisa bantu bilang sama Ibu, mungkin dia mau paham," ujar Naomi, yang membuatku menjadi tidak nyaman. "Naomi, kita bukan pasangan halal, aku nggak mau melakukan kontak fisik sama kamu, sebelum kita menjadi pasangan halal, itu bukti aku menghargai kamu." Aku menco
Bab8Disaat otak ini teracuni oleh napsu, tiba- tiba ponsel dicelanaku bergetar. Aku bergegas menjauhkan kuat Naomi dari tubuhku dan aku pun langsung berdiri, menjauh dari tempat tidur wanita itu.Kuambil ponsel disaku celana, dan kulihat panggilan istriku sayang masuk. Aku menjawab panggilan itu, sembari melangkah lebar, meninggalkan kamar Naomi.Wanita itu terus mendesah, seakan masih berusaha menggodaku. Tapi aku tetap berjalan mantap, meninggalkan rumah Naomi."Aku tidak harus mengikuti kemauan Ibu yang satu ini. Ini tidak benar, dan aku tidak bisa," gumamku dalam hati."Hemm, ada apa sayang?" tanyaku pada Hesti, ketika selesai menjawab salam darinya."Aku melihat mobil kamu, Mas. Kamu dimana?" tanya istriku itu."Nih di depan rumah kita," jawabku cepat, karena memang sekarang aku sudah ada di depan rumah kami. Aku meninggalkan Naomi begitu saja, biarlah."Oh baiklah, aku buka pintunya," ucap Hesti, dan panggilan telepon pun berakhir, dengan mengucapkan salam.Setelah dibuka pintu,
Bab9 "Aku hanya butuh ketenangan, apakah kalian semua ingin membuat aku malu?" tanyaku pada Naomi dan juga Ibu secara bergantian. Naomi menunduk. "Maafkan perasaan ini, menjadi sulit terkendali. Aku berharap kamu mengerti, Mas. Aku tulus sayang sama kamu, hingga membuatku menjadi orang bodoh seperti ini," lirihnya. "Andai saja perasaan ini tidak ada, aku juga tidak mungkin mau mempermalukan diri ini, bahkan di rendahkan oleh mbak Hesti, hanya karena ingin sekali bertemu sama kamu," lanjutnya mulai terisak. "Hei sayang, Naomi tidak salah. Jangan menangis cantik, Ibu paham perasaan kamu," ujar Ibuku, yang langsung bereaksi ketika Naomi menangis. "Andai saja wanita itu beradab dan berhati nurani, dia tidak mungkin bersikap kurang ajar sama kamu, entah dukun mana yang sudah dia pakai, sampai- sampai menutup mata hati anak Ibu, kamu yang sabar ya, sayang." Ibu memeluk Naomi, sambil memberikan kata semangat yang penuh sindiran kepada kami. "Lebih baik kita batalkan saja rencana pernik
Part10Saat sampai di depan rumah, ternyata dirumah ada yang datang.Ku putar gagang pintu, aku segera masuk ke dalam."Eh, ada Bi Sari!"sapaku pada Bi Sari yang tengah duduk di ruang tamu sendiri."Danu, gak ngantor?" Tanya Bi Sari padaku.Aku langsung mencium punggung tangannya dan mendaratkan bokong ke sofa yang berhadapan dengan Bi Sari."Hari ini, Danu mau istirahat dulu, Bi. Lelah kerja melulu" ucapku sambil tersenyum padanya.Hesti datang dari arah dapur, membawakan minuman dan cemilan.Tatapannya dingin padaku. Bahkan Dia tidak menyapaku sama sekali."Ini, Bi. Cicipin dulu." Ucapnya ke Bibinya"Sayang, Mas, ko gak di sapa?" Rajukku"Em, Mas, gak ngantor?" Tanyanya datar.Tok..tok..tok.. Siapa lagi yang bertamu jam pagi begini? Gumamku"Biar, Mas, yang buka!"--**--Saat membuka pintu, aku kaget sekali. Ibu datang bersa
Part11"Yasudah, Ibu istirahat dulu, Danu mau keluar sebentar"ucapku menengkannya, Ibu hanya diam.Aku keluar, menemui Hesti dan Bi Sari.Aku bawa mereka pulang ke rumah.Ku telpon bi Iyem dan minta Bi Iyem, asisten rumah tangga Ibu, untuk menemani Ibu di rumah sakit.Sesampainya di rumah.Ku sampaikan maksudku pada Bi Sari dan Hesti, kami bertiga duduk di ruang tamu."Begini, Sayang, Bi Sari, Danu minta maaf. Atas perlakuan Ibu tadi pagi!" Ucapku membuka obrolan."Danu, benarkah kamu mau di nikahkan lagi?"tanya bi Sari tajam."Benar, Bi. Bahkan tadi di rumah sakit, Ibu meminta Saya menikah besok dengan Naomi! Sayang, Hesti. Tolong izinkan, Mas. Sayang!" Aku mencoba menjelaskan ke Bi Sari dan memohon Hesti menerima maksud Ibu, yang ingin segera menimang cucu."Silahkan! Tapi ceraikan aku dulu, Mas." Ucapnya dingin"Mas, Sayang Hesti. Mana mungkin mas sanggup berpisah. Bukan ini yan
Part12Pov HestiSetelah ku jelaskan semua ke Ayah, Ayah pun berjanji akan membantu permasalahan pelik rumah tangga kami."Semoga ada jalan terbaik"ucap batinku.Pagi--* jam 06:05 WIB.Aku dan Bibi sudah bersiap di dapur membuat sarapan untuk kami bertiga."Sayang! Selamat pagi, selamat pagi Bi Sari!" Ucap mas Danu sambil berjalan menuju meja makan.Bi Sari tersenyum tipis. "Selamat pagi juga, Danu." Ucapnya, sedangkan aku hanya terdiam, rasanya masih enggan menjawab sapaannya, masih ada rasa sakit dihati ini, ketika mata ini memandanginya."Bi, Hesti, selesai sarapan, Mas langsung ke rumah sakit, jenguk Ibu. Malam tadi, Ayah telepon, katanya Ayah nemani Ibu di rumah sakit." Ucap mas Danu"Oh, iya silahkan, salam buat Ibumu, semoga segera sehat kembali."ucap bi Sari.*____* Siang hari saat kami bersantai di ruang tengah, sambil menonton televisi.Tokk...tok..tok.... "Ti
Part13Pov Ibu.Sialan.... Ayah datang lagi. Gagal rencanaku kalau begini, harusnya aku bisa maksa si Danu buat nikahin Naomi secepatnya. Biar tau rasa tu Hesti, tapi malah kacau berantakan gini, sandiwara ku hampir saja terbongkar.Haruskah aku pura-pura sakit jantung? Biar mereka semua nurut sama permintaanku. Aku gak mau dong, kalah sama perempuan kampung itu.Tok..tok... Em, itu pasti Ayah, ah rasanya aku ingin sendiri saat ini, mau cari inspirasi buat misahin anakku dari perempuan kampung itu.Tokk..tok.. "aih, Ayah berisik kali, tidur di ruang tamu saja, Ibu lagi pengen sendiri, Ibu kecewa sama Ayah, Ayah, gak sayang sama Ibu lagi." Teriakku dari dalam kamar."Yasudah."jawab Ayah dari luar.Sialan, gak mendapatkan sinyal baik dari, Ayah. Aku harus sabar. Aku pasti menang melawan Hesti dan Bibi nya yang songong itu.***_____*** Sarapan pagi."Pagi, Bu. Ayo sarapan!"ucap Ayah.
Part14POV Hesti"Aku harus kuat, biar bagaimana pun, ini rumah tanggaku, bagiku. Menikah cukup sekali seumur hidup. Mereka terang-terangan ingin merusak kebahagiaanku, maka takkan semudah itu ku biarkan"gerutu ku dalam hati, pikiran melayang-layang mendesakku terus berpikir keras, menyelamatkan bahtera rumah tangga ini.Sudah akhir bulan, aku telad sudah 1 minggu, tapi memang biasa sudah, tamu bulananku itu terlambat.Tak berselang lama, mas Danu datang dari kantor, Dia masuk, ku raih tangannya, ku cium punggung tangan itu, dan dia kecup kening ini. Dia langsung memelukku erat."Sayang, maafin Mas, ya, yang gak bisa bahagiain kamu!" Lirihnya di telingaku."Iya, Mas, maafin, Hesti juga. Gak bisa bahagiain mas dan keluarga." Ucapku sedih."Dek, kamu itu, terlalu baik. Mas sayang sekali padamu," ucapnya sambil mengeratkan pelukan."Oya, Dek. Ibu sakit, Dia minta kita kesana! Semingguan
"Danu, antar Ayah ke rumah kita, ya!" Pinta Ayah kepadaku yang masih termenung memikirkan nasibku. Kehilangan Istri terbaik, dan di khianati wanita baru yang menguras habis hartaku.Bahkan rumah ini pun tergadai, hanya untuk membahagiakan wanita jahat itu."Danu, tolong antar Ayah ke rumah lama, Ayah dan Tante mau tinggal di sana saja! Disini sudah tidak ada Hesti, Ayah sedih kalau ingat dia," ucap Ayah dengan wajah sendunya.Bagaimana aku bisa mengantar Ayah, sedangkan rumah itu telah beralih pemilik, bahkan rumah yang sekarang aku tempati pun terancam diambil pihak Bank. Sebab aku belum bisa melunasi tagihan tiap bulannya. Usahaku merosot turun, entah kenapa rasanya rezekiku mulai menjauh."Maaf, Yah. Rumah kita yang lama, sudah Danu berikan kepada Ira, maafkan Danu!" ucapku getir.Plakk ... Tamparan Ayah seakan meremukkan wajahku, sakit dan sangat panas rasanya.Mata Ayah menatapku tajam, dengan rahang yang mengeras ia memakiku. "Dasar lelaki
°pov Mama Naomi°"Papah, Ira, keterlaluan sekali kalian ini."Hancur lebur hatiku, melihat pemandangan yang begitu memilukan hati. Suami yang selama bertahun-tahun setia hidup bersamaku, dalam duka maupun suka, kini bergelut penuh cinta di belakangku.Yang paling menyakitkan hati lagi, wanitanya adalah keponakanku sendiri."Sejak kapan ini terjadi?"tanyaku dengan emosi yang terus kutahan, menatap penuh amarah kepada dua makhluk yang bermain cinta diatas dosa ini."Su--dah lama," sahut Ira terbata-bata."Kenapa kamu tega, Ira?" tanyaku lagi dengan nada sebiasa mungkin, agar Ira tidak gugup menjawab pertanyaanku. Sedangkan orang tuanya nampak syock dan terdiam menatap anaknya."Maafkan kami, Mah!"sahut suamiku."Jelaskan!" Lagi-lagi aku ingin fokus tahu, apa penyebab kegilaan mereka ini."Pertama kali Tante membawaku ke rumah, aku dan Om Hendra, sudah mulai melakukan hubungan terlarang
Part56Aku kembali ke kota cantik, untuk menjemput Ira, aku datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu.Kediaman Ira nampak sepi, aku langsung saja masuk, pintu luar tidak terkunci. Terdengar suara cekikikan yang berasal dari dalam kamar Ira, tanpa mengucapkan salam, aku langsung saja berjalan menuju kamar itu.Ku dorong pelan pintu kamarnya."Astaghfirullah ..., Ira." Aku tercengang tak percaya, wanita yang baru beberapa Minggu ini resmi ku nikahi telah berani berbuat curang."Mas, kenapa--- da--tang tanpa memberitahu dahulu?" tanyanya terbata-bata."Sejak kapan?" Aku bertanya dengan tenang, sebisa mungkin ku tahan segala emosi di dalam dada.Ira membenarkan selimut, agar menutupi keseluruhan tubuhnya. Dia tidak menjawab sama sekali pertanyaanku, hanya menunduk."Sejak kapan? Om." Aku bertanya kembali dengan laki-laki di sampingnya.Mereka berdua menatapku sesaat."Pulangl
Part54"Beri Mas waktu, mas akan tebus secepatnya!" pintuku dengan sungguh-sungguh.Padahal aku saat ini bingung, itu memang salahku, yang begitu terbuai akan cinta yang baru dari seorang daun muda yang lagi segar-segarnya. Ia bahkan pandai memuaskan ku dalam segala hal.Hingga aku kalap, selalu memenuhi apapun mau wanita baruku itu. Tentunya tanpa sepengetahuan Hesti Istriku yang sekarang nampak membosankan dan bak bunga layu, tak segar dan tak menggairahkan lagi.Aku jelas tak mungkin bisa memenuhi mau nya Hesti untuk memberikan sertifikat rumahnya kembali, sebab uang hasil sertifikat itu saja sudah ku habiskan untuk bersenang-senang bersama wanita baruku itu.Rumah mendiang Ibuku? Hesti saja tidak tahu, bahwa rumah itu telah ku hadiahkan untuk kekasih tercintaku ini, rumah itu pula tempatku memadu kasih bersamanya."Mas, aku hamil!" ujar Ira, wanita yang kini tengah menjalin hubungan terlarang bersamaku.
Part53"Nak, ayo sudah siap belum!" teriak Ibu dari bawah.Aku bergegas keluar kamar, aku dan Ibu berencana berbelanja kebutuhan dapur hari ini, sambil jalan-jalan. Sedangkan Mas Danu, sudah sehari ini dia tak pulang ke rumah, bahkan ponselnya saja tidak ia aktifkan.Aku menghela napas berat, kala harus mengingat tingkah Mas Danu akhir-akhir ini yang sangat mencurigakan."Ayo, Bu!" anakku, setelah sampai dilantai bawah, tempat Ibu menunggu sedari tadi. Kami pergi bertiga, aku, Ibu dan si kecil dalam gendongan. Menaiki taksi online, kami menuju pusat perbelanjaan terbesar, sebab biasanya barang yang menjadi pilihan lebih banyak.Sesampainya di parkiran, kami langsung menuju masuk kedalam.Ibu memilih menggendong anakku, sedangkan aku sibuk menelusuri tempat perbelanjaan dengan mataku, sibuk mencari bahan yang kami perlukan."Ti," Ibu memanggilku yang tengah berjalan kesana kemari mendorong troli belanja.
Part52Akhir-akhir ini, mas Danu sering pulang tengah malam, bahkan kadang bisa pagi hari baru pulang. Alasannya banyak kerjaan, tapi ko firasatku berkata lain, ada hal yang ia sembunyikan."Selamat malam," sapa Mas Danu, saat memasuki kamar kami, raut lelah tergambar di wajah gantengnya. Aku tersenyum, lalu mencium takzim punggung tangannya.Mas Danu masuk kekamar mandi yang tersedia didalam kamar kami, ia membersihkan diri, lalu menghempaskan tubuh diatas ranjang.Aku sambil fokus menggendong bayi kami yang lagi menyusu.Bunyi getar handphone terdengar berderit diatas laci nakas samping ranjang, aku mendekat ke arah benda pipih itu terletak.Panggilan seseorang yang disebut Pak Dira. Mungkin panggilan penting, sebab jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi masih ada panggilan telepon.Aku mengangkatnya, sebelum aku bersuara, terdengar suara lebih dahulu dari sebrang telepon dengan nada marah.
Part51Semenjak Satpam gadungan itu tertangkap, memang keadaan sudah mulai membaik, bahkan rumah tidak mengerikan seperti dahulu, hidup kami sudah mulai membaik lagi.Mas Danu, ia makin sering perhatian pada aku dan anaknya, ia begitu terlihat sangat mencintai kami.Suara ketukan pintu luar menggema, aku yang bersantai diruang keluarga bersama anakku, langsung kuraih laptop yang ada dimeja, sebelum membuka pintu, aku terbiasa ngecek keadaan rumah dari CCTV yang tersambung di laptopku.'Ayah? Apakah ini Ayah dan keluarga nya'gumamku dalam hati."Bi, bukain saja pintunya, suruh tunggu diruang tamu!"titahku, Aku bersiap-siap menyambut mereka, namun, terlebih dahulu ku kirimkan pesan untuk Mas Danu.Pesan singkat dari aplikasi berwarna hijau.[ Mas, Ayah datang kemari bersama keluarga barunya ] sendt ...[ Serius? Ngapain mereka datang?] balasnya.[ Belum tahu, nanti ku kabari
Part 50•POV Mamah Naomi•"Apa? Kamu buron?" Aku tersentak kaget."Iya, aku terlalu lama bersembunyi membawa bayi mereka!""Bedebah, kenapa kamu bisa seceroboh itu!" Aku kesal langsung membanting gawaiku ke lantai. Hancur berserakan.Aku benci mendengar kabar itu, aku benci jika harus memikirkan masalah yang akan aku hadapi.Seceroboh itu, aku salah memilih orang untuk bermain.Hesti!!! Aku benci, gara-gara kamu dan Danu, anakku meregang nyawa sia-sia.Aku tidak akan ikhlas dan rela melihat kebahagiaan kalian. Akan ku hancurkan.Aku menghela nafas panjang, mencoba mengendalikan diri, gugup kini menyerang tubuhku, pikiran mulai pusing dengan segala kemelut hidup yang melilit hati. Dendam mendarah daging ditubuh ini kian membara, sebelum hancur aku takkan mundur.Ku pandangi gawaiku yang hancur berserakan, aku mendekat, kuraih gawai itu, aku lemparkan kesana ke
Part 49Polisi akhirnya mulai menyelediki laporanku, aku yakin, penculikan ini pasti ada campur tangan Satpam yang baru sehari bekerja dirumah kami.Mas Danu tergopoh-gopoh berlari menuju ke arah kami semua berdiri."Sayang! Sayang mana bayi kita?" tanya nya dengan nafas memburu, wajah basah keringat dan memerah.Aku menangis sesenggukan kembali, teringat keadaan bayiku yang sudah menghilang selama 5 jam ini."Mas, kamu dapat Satpam dari mana?" tanyaku dengan wajah datar."Satpam, ia rekomendasi dari Mamah nya Naomi," jawabku."Apa? Kenapa Mamah nya Naomi rekomendasi ke Mas Danu tentang Satpam itu. apakah Mas bercerita padanya bahwa Mas nyari Satpam?" tanyaku panjang lebar menatap lekat wajahnya itu."Ada, cuma waktu itu kebetulan Mas sama Mamah Naomi ketemu diluar, Mas ngobrol sebentar lalu mengatakan padanya bahwa Mas nyari petugas keamanan!" jelasku."Mas, apa Mas gak curiga?