Perasaan hati Luna masih tidak baik-baik saja. Ia lebih banyak diam, hingga Rizky pergi ke kantor, tadi. Perempuan itu kini berdiri dan mematut diri di depan cermin. Ia menyaksikan penampilan dan bentuk tubuhnya yang makin tidak ideal, lalu membandingkan dengan sosok Zizi yang terekam jelas di ingatan. Sungguh miris.
Perlahan, sebelah tangan meraba wajah yang begitu buruk. Padahal sebelumnya, meski masih ada jerawat, tetapi tidak separah ini. Setidaknya, cukup bisa ditutupi dengan alas bedak atau BB krim yang dijual di pasaran. Sedangkan jika seperti ini, bagaimana cara mengakali wajah yang meradang, bengkak, kasar. Bahkan, kulit aslinya yang putih saja sampai tidak terlihat dari muka itu.
Luna mundur, lalu terduduk di tepian dipan. Ia meremas dada. Ingin rasanya kembali ke saat-saat dulu, di mana rupanya baik-baik saja. Tubuhnya masih bagus, tidak segembrot sekarang. Andai, stres tidak membuatnya kalap makan. Jika saja, rasa bahagia karena telah diratukan oleh Rizky setelah menikah tidak menyebabkannya lena dari merawat diri. Akan tetapi, semua sudah terlanjur terjadi. Kini, Luna hanya bisa menyesal dan meratapi.
“Ih, kamu Ky, akhirnya dapat Luna juga, ya. Hebat banget. Padahal, angkatan dia, banyak yang tergila-gila, lho. Luna itu memang bukan yang paling cantik di kampus ini. Tapi, dia itu enak dipandang, memikat aja gitu.”
Itu ucapan Nasir, salah satu teman dekat Rizky yang juga akrab dengan Luna. Usut punya usut, pria itu juga sempat menyukai perempuan yang sudah berhasil dinikahi oleh Rizky, tetapi tak pernah terkata karena keduluan sahabat sendiri.
Tak dipungkiri, dulu Luna pun begitu sering melakukan swafoto, lalu memposting ke media sosial. Banyak yang mengomentari dan menyukainya. Rizky sempat dibuat uring-uringan dengan komentar para lelaki yang terang-terangan memuji kecantikan alami milik Luna, terlebih senyumnya dinilai mengandung ‘gula’, menyebabkan banyak pria ‘diabetes’ saat melihatnya.
Hingga di awal pernikahan pun, Luna masih sering memposting banyak hal. Apa saja di jadikan status F******k. Sedang memasak untuk suami, dijepret, lalu posting ke sosial media. Menyiapkan bekal Rizky pun di-upload. Pergi jalan berdua, diunggah. Foto mesra berdua dimasukkan ke F******k dan I*******m.
“Gunanya apa posting-posting begitu, Sayang. Hapus aja, ya. Kita nggak perlu menunjukkan apa-apa ke semua orang. Sebab, nggak semua juga yang menyukainya. Cukup, kebahagiaan ini kita yang rasakan. Cukup, foto kamu, disimpan di galeri HP aja. Sudah cukup kita pamer-pamer ini dan itu. Nggak ada gunanya.”
Luna ingat betul ucapan Rizky yang selalu diulang-ulang setiap kali menasihatinya. Hanya saja, ketika itu, Luna masih membandel. Ia tak mau mendengarkan perkataan suami sendiri. Baginya, Rizky terlalu lebay. Lagipula, tujuannya memposting ini dan itu juga baik, ingin menunjukkan pada semua, bagaimana bahagianya setelah menikah. Supaya yang masih berpacaran, bisa menyegerakan untuk menghalalkan hubungan mereka.
Sampai pada suatu waktu, Luna tergiur ingin mencerahkan wajah dengan produk yang katanya ampuh untuk membuat kulit muka glowing hanya dalam waktu satu minggu. Ia pun membeli produk itu tanpa sepengatahuan Rizky. Uang hasil dari resign bekerjanya di salah satu kantor notaris masih tersimpan dengan utuh, hingga ia bisa membeli produk yang diinginkan tanpa mengurangi jatah bulanan dari sang suami.
“Abang … mukaku gatal,” keluh Luna suatu pagi, setelah satu minggu menggunakan produk tersebut, tiga bulan yang lalu.
“Astagfirullah, Yank. Itu kenapa mukanya bentol-bentol, memerah gitu?” Tanggapan dari Rizky, justru membuat jantung Luna berdebar kian kencang.
Perempuan itu segera menoleh ke cermin. Ia berteriak di Subuh buta, meratapi wajahnya yang memburuk.
“Udah, jangan nangis kayak gini, ya. Nanti kita berobat ke dokter kulit aja,” bujuk Rizky tidak tega melihat Luna menangis seperti itu. Namun, perempuan tersebut terus tergugu sambil menahan gatal-gatal di wajah.
“Akhir pekan, Abang antar ke dokter kulit. Untuk sementara, jangan digaruk dulu mukanya. Takut, nanti malah makin parah.”
Rizky dengan sabar menanggapi kejadian tersebut. Padahal, ia pun ikut terganggu dengan hal yang menimpa sang istri. Hanya saja, dalam kondisi seperti itu, Luna tidak mungkin dipersalahkan. Rizky terus memeluk dan menguatkan istrinya supaya tidak terlalu memikirkan sesuatu yang telah terjadi.
Ponsel Luna berdenting, membuyarkan lamunannya dari kejadian yang menjadi punca perubahan sikapnya saat ini, kepada Rizky.
[Lun, kamu lagi apa? Aku mau curhat.]
Zahra, sahabat dekat Luna sejak SMA yang mengirimkan pesan.
[Nggak ada. Kamu tahu aku di rumah nggak ngapa-ngapain, jadi nggak perlu basa-basi nanya-nanya kek gitulah. Emangnya kamu, pegawai bank. Tiap hari dandan yang cantik. Perawatannya juga mahal. Entahlah.]
Perempuan itu malah mengeluarkan uneg-uneg kepada Zahra yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
[Ini bocah ngapa, yak? Kamu lagi ‘M’? Atau lagi kurang perhatian? Aneh banget tahu nggak.]
Zahra kebingungan. Padahal, tadinya ia yang hendak curhat. Eh, malah si Luna yang lebih dulu adu nasib kepadanya.
[Nggak, sih. Sorry, ya. Aku cuma lagi badmood aja. Biasalah.]
Luna membalas setelah menetralkan perasaan kacau yang tak sepenuhnya membaik. Ia bahkan merebahkan tubuh di atas ranjang. Lelah saja rasanya raga itu. Padahal sama sekali tidak melakukan apa-apa sejak tadi. Memasak pun tidak, sementara sambal sudah habis untuk satu kali makan lagi.
[Aduh, ya udah, deh. Keknya aku nge-chat di waktu yang nggak tepat.]
Setelah membaca balasan dari Zahra, Luna mendengkus sendiri.
“Hih, dasar sahabat nggak peka. Dia sendiri aja terus yang mau dimengerti. Giliran aku udah kasih kode butuh perhatian, eh, dia malah mau udahan aja chatting-nya.”
Perempuan itu memilih mengabaikan lebih dulu pesan yang sudah dibacanya tersebut. Kemudian, ia membuka galeri foto, di mana, begitu banyak memori yang tersimpan di sana; antara dirinya dan Rizky, di masa lalu.
“Abang udah pernah bilang ‘kan. Nggak baik sering pamer, apalagi foto diri sendiri. Kamu itu nggak mau dibilangin. Abang pernah dengar ada yang namanya penyakit ‘ain. Nauzubillah, kalau ternyata kamu memang kena. Tapi, Abang berharap, setelah pergi ke dokter kulit, wajahnya bisa membaik lagi.”
Rizky akhirnya mengatakan apa yang ingin ia sampaikan, setelah satu minggu berlalu dari kejadian awal rusaknya wajah sang istri. Saat itu, Luna masih belum mengaku jika dirinya membeli produk kecantikan yang tidak jelas kandungan dan izinnya. Hanya termakan iklan, ia langsung bergerak cepat memesan.
Seperti kata pepatah, bangkai yang disembunyikan lama-kelamaan akan tercium juga baunya. Rizky menemukan kotak skin care yang entah bermerek apa, terjatuh dari atas lemari ketika ia menggapai-gapai untuk memeriksa benda yang dicari.
”Jadi karena make ini makanya jadi kek gitu mukanya. Astagfirullah, Sayang. Kenapa kamu nggak ngomong. Apa-apa itu seharusnya bicarakan sama Abang.”
“Tapi, belinya sama duit resign aku sendiri, kok.” Luna masih membela diri kala itu.
“Nggak peduli dari uang siapa pun. Yang penting itu, bilang dulu. Kalau Abang tahu, pasti Abang bakalan larang kamu. Atau karena itu, nggak mau dilarang, makanya berbuat sesuka hati?”
Luna menangis mendengar tuduhan suaminya tersebut.
“Aku justru pengen kasih kejutan sama Abang. Kalau wajahku jadi cerah dan glowing, kan Abang jadi tambah sayang, nggak ngelirik cewek lain di luar sana.”
***Next>>>
Sudah pukul delapan malam, tetapi Rizky belum juga pulang. Luna sebenarnya ingin menanyakan, sekedar mengirimkan pesan, namun gengsi. Rasa sakit di hatinya karena melihat chat Zizi dan dugaan Rizky pergi karaoke dengan orang-orang kantor, membuat dadanya kian sesak. Ia tak ingin suaminya pergi dengan wanita lain, meski ramai sekali pun. Akan tetapi, sejak tadi, ia pun tak pula sudi menanyakan. Padahal, siang tadi, Rizky sempat menelepon, tetapi tidak dijawab sama sekali. Chat-nya pun juga diabaikan. Kalau sudah begini kejadiannya, siapa yang perlu dipersalahkan?Sejak Magrib, perut Luna sudah terasa perih karena lapar. Terakhir mengisi lambung, tengah hari tadi. Cemilan di dalam lemari pendingin pun juga sudah ludes, dan tak mampu menyangga rasa lapar terlalu lama.Lima menit kemudian, terdengar suara pagar dibuka. Tanpa melihat pun, Luna sudah tahu jika yang pulang adalah suaminya. Debar di dada kian kencang, ketika Rizky mengucapkan salam di ambang pintu yang juga tidak dikunci. Lun
Seperti biasa, setiap akan keluar dari rumah, Luna tak pernah lupa memakai masker untuk menutup sebagian wajahnya. Tersisa hanya mata saja yang tampak. Rizky tentu tidak keberatan dengan style istrinya yang seperti itu. Ia bahkan ingin jika Luna mengenakan niqab sekalian.Sepanjang perjalanan menuju tempat makan di dekat GOR Haji Agus Salim, Rizky terus mengajak istrinya bicara, terlebih mengenang kebersamaan mereka dahulu. Sejak awal berkenalan, hingga jadian, kemudian memutuskan untuk menikah.“Abang bener-bener masih belum nyangka, ternyata sosok yang Abang impikan selama ini, bisa juga Abang miliki.”Binar di mata Rizky begitu jelas terlihat setiap kali membahas kenangan mereka dulu. Tampak nyata, betapa besar cinta yang diberikannya untuk sang istri.Sementara Luna, hanya tersenyum kecil di balik masker yang dikenakan.“Kamu masih ingat nggak, Sayang, tempat pertama Abang ajak kamu makan?”Luna mengangguk. “Ingat,” jawabnya kemudian. Meski pelan dan terkesan tidak bersemangat, te
Mirna dan Ajeng terkejut ketika melihat Luna berdiri di depan pintu toilet, menyorot ke arah mereka. Tadi perempuan itu sama sekali tidak ditegur oleh keduanya, tahu-tahu di sini malah dibicarakan.“Lain kali kalau ngobrol, lihat-lihat tempat, ya, mbak-mbak sekalian. Jangan sampai apa yang kalian bicarakan menyinggung perasaan orang lain. Permisi,” ucap Luna tegas. Ia juga melirik ke arah Zizi yang cuek saja sambil terus berdandan, sebelum berlalu pergi. Sesekali perempuan itu juga menyorot Luna dari pantulan cermin.Mirna dan Ajeng tak menjawab. Mereka malu dan tidak enak, apalagi kalau sampai Luna memberitahu Rizky perihal yang mereka bicarakan ini.“Aduh, Uni, udah, deh, nggak usah lebay gitu. Biasa aja. Emangnya kita bilang apa tadi? Kan nggak ada yang menghina dia? Ya, meski keliatan sama aku, kalau muka dia itu nggak bersih, banyak jerawatnya. Makanya dia pake masker. Sekarang kan udah nggak pandemi lagi.”Zizi lantas memasukkan peralatan make up ke dalam pouch berwarna keemasan
“Kalau sayang, bilang sama semua orang, dong. Jangan ke aku aja!” pekik Luna di sela isak tangis. Ia benci ingat Zizi dengan lekuk indah tubuh dan kulit wajahnya yang bersih tanpa noda. Ketakutan bahwa Rizky akan berpaling kian besar saja.Semula Luna tak pernah tahu bagaimana rupa sosok perempuan yang ada di sekitar suaminya di kantor itu. Akan tetapi, setelah melihat langsung bagaimana sempurnanya Zizi, jantung Luna berdetak kian kencang. Ia tak suka, sebab mulai detik tadi pikiran buruk terus menggelayuti benak.“Nggak harus apa-apa diposting juga, Sayang. Nggak ada gunanya!”Luna mendelik. Ia masih tidak ingin mengikuti ucapan Rizky barusan.“Berikan ponsel Abang. Biar aku yang posting, minimal mereka melihat, kalau Abang itu sayang sama aku. Abang itu punya aku!” lirih Luna sambil mengulurkan tangan. Ia perlu membuktikan keseriusan cinta Rizky kepadanya dengan cara seperti ini.Sejenak, pria di balik kemudi bergeming. Menurutnya, sikap sang istri terlalu berlebihan. Akan tetapi,
Hingga pagi menjelang, Luna masih saja tidak mood. Ia benci setiap kali mengingat balasan pesan yang dikirimkan oleh Zizi semalam. Namun, ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Rizky agar jangan terlalu mempertontonkan apa pun dari kehidupan rumah tangga mereka pada semua, terlebih di dunia maya. Bagi Luna, itu penting. Ia memiliki suami yang tampan dan ramah kepada semua orang. Sejak dulu, Rizky memang menjadi incaran banyak gadis. Ia beruntung telah dipilih menjadi kekasih sampai diperistri seperti sekarang. Hanya saja, ke-insecure-an membuat dirinya menjadi takut berlebihan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ia hanya takut kehilangan Rizky, itu saja.“Abang berangkat kerja dulu, ya,” ucap Rizky sambil menjulurkan tangan kepada sang istri.Luna mengantar hingga ambang pintu. Tak ada apa-apa yang disiapkan untuk sang suami di kantor—semisal bekal sarapan atau makan siang. Bahkan pagi ini saja, Rizky berangkat kerja dengan perut kosong. Lelaki itu tak pernah
Tak lama, pemberitahuan balasan komentar berdenting juga. Tangan Luna sampai gemetar menahan marah saat membukanya.[@Ziezie : Paula, kamu lagi. Kamu nggak baca balasan inbox dari aku? Kamu itu, ya. Udahlah SKSD banget sama aku. Sok akrab pula sama aku. Terus jadi berani gitu komen kayak gini. Sengaja nggak aku hapus komentar kamu, biar banyak yang liat dan nilai kamu tukang julid yang cuman iri sama aku. Siapa pun kamu. Aku tahu ini bukan akun dan foto kamu yang sebenarnya. Udahi kepo kamu, ya. Bye!]Luna tidak lagi membalas. Ia lebih memilih melihat balasan inbox yang dikirimkan oleh Zizi.[@Ziezie : BTW, aku orangnya sangat terbuka dan spontanitas terhadap apa yang aku rasakan. Jujurly, kamu itu annoying banget, Paula. Aku nggak kenal sama kamu. Nggak tahu siapa kamu sebenarnya. Terus ujug-ujug bikin akun baru dan nge-invite aku, terus sok akrab. Aku orangnya emang welcome aja, sih, sama semua orang. Cuma, sebaiknya kamu nggak usah terlalu frontal nunjukkin diri kamu sebenarnya di
Selepas Magrib, Rizky belum juga sampai di rumah. Ia sama sekali tidak memberi kabar apa pun kepada Luna, hingga membiarkan sang istri menunggu di rumah dengan perasaan resah. Ketika dihubungi, ponselnya tak aktif. Hal tersebut tentu saja membuat Luna kian dilanda gundah gulana. Pikirannya kembali berkecamuk. Lagi-lagi bayangan Zizi menari-nari di pelupuk mata. Perempuan itu sudah terang-terangan menunjukkan kesukaan kepada Rizky di media sosial. Siapa pun yang mengenal pria di balik foto blur, pasti bisa saja menebak.Luna menggeleng resah. Ia tidak bisa menelepon suami sendiri. Bahkan untuk pergi keluar pun ia tak berani. Langit sudah menggelap.Pada akhirnya, dia kembali merebahkan tubuh di sofa tamu. Jemari lincah mengetuk-ngetuk layar. Ia mengirimkan pesan untuk sang suami. Lelaki itu pasti bisa membaca setelah ponselnya aktif.[Abang, di mana? Kenapa teleponnya nggak aktif? Katanya janji pulang cepat. Aku udah masak banyak. Tapi nggak ada yang makan.]Luna memeluk sepi. Ia takut
“Maaf, tapi saya nggak bisa. Istri saya nunggu di rumah. Ini udah terlalu malam.”Rizky tetap menolak. Imti dan Bayu yang mengendarai sepeda motor, mengelakson. Sedangkan Mirna suaminya sudah menunggu sejak tadi. Mereka pun telah pergi lebih dulu. Pak Kabid juga baru berlalu sebentar ini. Ia pikir semua bawahannya sudah bisa mengatur kepulangan masing-masing. Sama sekali tak terpikir ada satu yang tercecer—Zizi.“Abang. Mereka semua udah pulang. Aku takut tinggal sendirian di sini. Nanti kenapa-napa.”Kali ini Zizi benar-benar pias. Ia sungguh berharap Rizky akan memberi tumpangan. Walau pada awalnya hanya ingin modus. Sengaja pula tak membawa kendaraan seperti biasa, agar bisa nebeng dengan Rizky.Sejak berbalas pesan dengan Luna yang mengatasnamakan Rizky, semalam. Berakhir nomornya diblokir oleh Luna. Zizi jadi kian getol hendak mendapatkan pria incaran sepenuhnya. Tak peduli sudah beristri sekalipun. Terlebih di mata gadis itu, Luna tidak ada apa-apanya. Ia lebih cantik, jauh ket
Rizky bangun sebelum subuh dan tak mendapati Luna di sebelah pembaringan. Tangannya meraba lalu langsung bangkit karena takut terjadi apa-apa pada istrinya yang keras kepala itu. Cepat pintu kamar dibuka, lalu melongok ke ruang tamu. Rupanya, Luna sudah tertidur sendirian tanpa selimut di sofa. Kasihan.Rizky tiba-tiba saja merasa sangat bersalah. Ia tak tega melihat Luna seperti itu. Perlahan didekati, lalu tangan mengusap kepala sang istri. Seketika perempuan itu terjaga. Padahal, Rizky sudah tersenyum dan menghilangkan kejengkelannya semalam, tetapi sikap Luna yang menepis tangannya membuat perasaan lelaki itu terusik kembali.“Kamu masih mau masalah kita berlanjut?” tanyanya serius.Luna bangkit dari pembaringan, lalu pergi meninggalkan Rizky di ruang tamu tanpa berkata apa pun.“Mau ke mana lagi, Luna? Ini sudah pagi dan Abang pikir semua udah selesai. Ternyata kamu tetap aja keras hati dan melawan seperti ini,” ucap Rizky dengan sedikit mengeraskan suara sambil berdiri. Manik ma
“Sayang … Luna, Abang pengen bicara. Ke sini dulu. Kamu nggak bisa kayak gini terus, Yank.”Rizky masih mencoba menyabarkan hati. Ia harus mampu mengendalikan diri dan emosi. Jangan sampai membuat rumah tangga mereka jadi tidak harmonis hanya karena menuruti bisikan setan. Ia tak boleh seperti itu.Sementara Luna, tidak mau mendengarkan. Ia terus melangkah keluar dari kamar sambil terus menyeka air mata. Tak tinggal diam, Rizky pun menyusul.“Kamu kenapa? Cerita sama Abang. Kalau ada masalah, sebaiknya kita bicarakan baik-baik. Apa yang pengen kamu tanyakan?” Pria yang masih mengenakan seragam kerja, duduk di sebelah istrinya. Tadinya Luna hendak beranjak lagi, tetapi ditahan oleh Rizky. “Kamu jangan seperti ini terus, Yank. Jangan turuti kemauan setan untuk bertengkar dengan suamimu.”Luna menepis tangan Rizky. Namun, tenaganya kalah telak oleh sang suami. Pria itu memegangi dengan kuat, bahkan hendak memeluk istrinya.“Kalau kamu begini terus, jangan salahkan jika kita akan sering b
“Maaf, tapi saya nggak bisa. Istri saya nunggu di rumah. Ini udah terlalu malam.”Rizky tetap menolak. Imti dan Bayu yang mengendarai sepeda motor, mengelakson. Sedangkan Mirna suaminya sudah menunggu sejak tadi. Mereka pun telah pergi lebih dulu. Pak Kabid juga baru berlalu sebentar ini. Ia pikir semua bawahannya sudah bisa mengatur kepulangan masing-masing. Sama sekali tak terpikir ada satu yang tercecer—Zizi.“Abang. Mereka semua udah pulang. Aku takut tinggal sendirian di sini. Nanti kenapa-napa.”Kali ini Zizi benar-benar pias. Ia sungguh berharap Rizky akan memberi tumpangan. Walau pada awalnya hanya ingin modus. Sengaja pula tak membawa kendaraan seperti biasa, agar bisa nebeng dengan Rizky.Sejak berbalas pesan dengan Luna yang mengatasnamakan Rizky, semalam. Berakhir nomornya diblokir oleh Luna. Zizi jadi kian getol hendak mendapatkan pria incaran sepenuhnya. Tak peduli sudah beristri sekalipun. Terlebih di mata gadis itu, Luna tidak ada apa-apanya. Ia lebih cantik, jauh ket
Selepas Magrib, Rizky belum juga sampai di rumah. Ia sama sekali tidak memberi kabar apa pun kepada Luna, hingga membiarkan sang istri menunggu di rumah dengan perasaan resah. Ketika dihubungi, ponselnya tak aktif. Hal tersebut tentu saja membuat Luna kian dilanda gundah gulana. Pikirannya kembali berkecamuk. Lagi-lagi bayangan Zizi menari-nari di pelupuk mata. Perempuan itu sudah terang-terangan menunjukkan kesukaan kepada Rizky di media sosial. Siapa pun yang mengenal pria di balik foto blur, pasti bisa saja menebak.Luna menggeleng resah. Ia tidak bisa menelepon suami sendiri. Bahkan untuk pergi keluar pun ia tak berani. Langit sudah menggelap.Pada akhirnya, dia kembali merebahkan tubuh di sofa tamu. Jemari lincah mengetuk-ngetuk layar. Ia mengirimkan pesan untuk sang suami. Lelaki itu pasti bisa membaca setelah ponselnya aktif.[Abang, di mana? Kenapa teleponnya nggak aktif? Katanya janji pulang cepat. Aku udah masak banyak. Tapi nggak ada yang makan.]Luna memeluk sepi. Ia takut
Tak lama, pemberitahuan balasan komentar berdenting juga. Tangan Luna sampai gemetar menahan marah saat membukanya.[@Ziezie : Paula, kamu lagi. Kamu nggak baca balasan inbox dari aku? Kamu itu, ya. Udahlah SKSD banget sama aku. Sok akrab pula sama aku. Terus jadi berani gitu komen kayak gini. Sengaja nggak aku hapus komentar kamu, biar banyak yang liat dan nilai kamu tukang julid yang cuman iri sama aku. Siapa pun kamu. Aku tahu ini bukan akun dan foto kamu yang sebenarnya. Udahi kepo kamu, ya. Bye!]Luna tidak lagi membalas. Ia lebih memilih melihat balasan inbox yang dikirimkan oleh Zizi.[@Ziezie : BTW, aku orangnya sangat terbuka dan spontanitas terhadap apa yang aku rasakan. Jujurly, kamu itu annoying banget, Paula. Aku nggak kenal sama kamu. Nggak tahu siapa kamu sebenarnya. Terus ujug-ujug bikin akun baru dan nge-invite aku, terus sok akrab. Aku orangnya emang welcome aja, sih, sama semua orang. Cuma, sebaiknya kamu nggak usah terlalu frontal nunjukkin diri kamu sebenarnya di
Hingga pagi menjelang, Luna masih saja tidak mood. Ia benci setiap kali mengingat balasan pesan yang dikirimkan oleh Zizi semalam. Namun, ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Rizky agar jangan terlalu mempertontonkan apa pun dari kehidupan rumah tangga mereka pada semua, terlebih di dunia maya. Bagi Luna, itu penting. Ia memiliki suami yang tampan dan ramah kepada semua orang. Sejak dulu, Rizky memang menjadi incaran banyak gadis. Ia beruntung telah dipilih menjadi kekasih sampai diperistri seperti sekarang. Hanya saja, ke-insecure-an membuat dirinya menjadi takut berlebihan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ia hanya takut kehilangan Rizky, itu saja.“Abang berangkat kerja dulu, ya,” ucap Rizky sambil menjulurkan tangan kepada sang istri.Luna mengantar hingga ambang pintu. Tak ada apa-apa yang disiapkan untuk sang suami di kantor—semisal bekal sarapan atau makan siang. Bahkan pagi ini saja, Rizky berangkat kerja dengan perut kosong. Lelaki itu tak pernah
“Kalau sayang, bilang sama semua orang, dong. Jangan ke aku aja!” pekik Luna di sela isak tangis. Ia benci ingat Zizi dengan lekuk indah tubuh dan kulit wajahnya yang bersih tanpa noda. Ketakutan bahwa Rizky akan berpaling kian besar saja.Semula Luna tak pernah tahu bagaimana rupa sosok perempuan yang ada di sekitar suaminya di kantor itu. Akan tetapi, setelah melihat langsung bagaimana sempurnanya Zizi, jantung Luna berdetak kian kencang. Ia tak suka, sebab mulai detik tadi pikiran buruk terus menggelayuti benak.“Nggak harus apa-apa diposting juga, Sayang. Nggak ada gunanya!”Luna mendelik. Ia masih tidak ingin mengikuti ucapan Rizky barusan.“Berikan ponsel Abang. Biar aku yang posting, minimal mereka melihat, kalau Abang itu sayang sama aku. Abang itu punya aku!” lirih Luna sambil mengulurkan tangan. Ia perlu membuktikan keseriusan cinta Rizky kepadanya dengan cara seperti ini.Sejenak, pria di balik kemudi bergeming. Menurutnya, sikap sang istri terlalu berlebihan. Akan tetapi,
Mirna dan Ajeng terkejut ketika melihat Luna berdiri di depan pintu toilet, menyorot ke arah mereka. Tadi perempuan itu sama sekali tidak ditegur oleh keduanya, tahu-tahu di sini malah dibicarakan.“Lain kali kalau ngobrol, lihat-lihat tempat, ya, mbak-mbak sekalian. Jangan sampai apa yang kalian bicarakan menyinggung perasaan orang lain. Permisi,” ucap Luna tegas. Ia juga melirik ke arah Zizi yang cuek saja sambil terus berdandan, sebelum berlalu pergi. Sesekali perempuan itu juga menyorot Luna dari pantulan cermin.Mirna dan Ajeng tak menjawab. Mereka malu dan tidak enak, apalagi kalau sampai Luna memberitahu Rizky perihal yang mereka bicarakan ini.“Aduh, Uni, udah, deh, nggak usah lebay gitu. Biasa aja. Emangnya kita bilang apa tadi? Kan nggak ada yang menghina dia? Ya, meski keliatan sama aku, kalau muka dia itu nggak bersih, banyak jerawatnya. Makanya dia pake masker. Sekarang kan udah nggak pandemi lagi.”Zizi lantas memasukkan peralatan make up ke dalam pouch berwarna keemasan
Seperti biasa, setiap akan keluar dari rumah, Luna tak pernah lupa memakai masker untuk menutup sebagian wajahnya. Tersisa hanya mata saja yang tampak. Rizky tentu tidak keberatan dengan style istrinya yang seperti itu. Ia bahkan ingin jika Luna mengenakan niqab sekalian.Sepanjang perjalanan menuju tempat makan di dekat GOR Haji Agus Salim, Rizky terus mengajak istrinya bicara, terlebih mengenang kebersamaan mereka dahulu. Sejak awal berkenalan, hingga jadian, kemudian memutuskan untuk menikah.“Abang bener-bener masih belum nyangka, ternyata sosok yang Abang impikan selama ini, bisa juga Abang miliki.”Binar di mata Rizky begitu jelas terlihat setiap kali membahas kenangan mereka dulu. Tampak nyata, betapa besar cinta yang diberikannya untuk sang istri.Sementara Luna, hanya tersenyum kecil di balik masker yang dikenakan.“Kamu masih ingat nggak, Sayang, tempat pertama Abang ajak kamu makan?”Luna mengangguk. “Ingat,” jawabnya kemudian. Meski pelan dan terkesan tidak bersemangat, te