Sudah pukul delapan malam, tetapi Rizky belum juga pulang. Luna sebenarnya ingin menanyakan, sekedar mengirimkan pesan, namun gengsi. Rasa sakit di hatinya karena melihat chat Zizi dan dugaan Rizky pergi karaoke dengan orang-orang kantor, membuat dadanya kian sesak. Ia tak ingin suaminya pergi dengan wanita lain, meski ramai sekali pun. Akan tetapi, sejak tadi, ia pun tak pula sudi menanyakan. Padahal, siang tadi, Rizky sempat menelepon, tetapi tidak dijawab sama sekali. Chat-nya pun juga diabaikan. Kalau sudah begini kejadiannya, siapa yang perlu dipersalahkan?
Sejak Magrib, perut Luna sudah terasa perih karena lapar. Terakhir mengisi lambung, tengah hari tadi. Cemilan di dalam lemari pendingin pun juga sudah ludes, dan tak mampu menyangga rasa lapar terlalu lama.
Lima menit kemudian, terdengar suara pagar dibuka. Tanpa melihat pun, Luna sudah tahu jika yang pulang adalah suaminya. Debar di dada kian kencang, ketika Rizky mengucapkan salam di ambang pintu yang juga tidak dikunci. Luna memilih tiduran di kamar. Posisinya sama seperti sore kemarin, memeluk guling dan membelakangi pintu.
“Sayang, kamu di kamar?” tanya Rizky sambil terus melangkah menuju bilik tidur mereka.
Baru saja gagang ditekan, lalu pintu terbuka, ia sudah melihat punggung sang istri yang mengenakan piyama polkadot merah. Rizky mendadak khawatir, buru-buru ia letakkan tas kerja di dekat meja, kemudian duduk di sisi kasur. Perasaannya gusar sebelum meraba dahi sang istri. Ia takut Luna tiba-tiba demam, sebab sejak tadi tidak menjawab telepon atau pun membalas pesan darinya. Namun, ternyata dugaannya salah besar. Perempuan itu malah menepis tangan yang meraba kening.
Rizky sontak terkejut, di satu sisi pun bersyukur, sebab sang istri baik-baik saja.
“Kamu kenapa?” tanya pria itu, memperhatikan Luna yang menggeser tubuhnya ke tengah; menjauh darinya. Namun, tidak ada jawaban dari perempuan itu.
“Sayang, Abang nggak akan pernah tahu masalahnya, kalau kamu terus diam kayak gini. Kalau ada yang salah, lebih baik bilang terus terang. Biar kita bisa cari jalan keluarnya. Atau kalau nggak ketemu juga, kita aja yang keluar jalan-jalan.”
Tadinya Rizky sempat tersulut amarah, melihat sikap Luna yang tak berubah juga. Akan tetapi, ia sudah berjanji di dalam diri, untuk tidak akan pernah membuat istrinya sedih karena hal itu. Pria tersebut lantas tertawa, berdiri, lalu berjalan ke sisi sebelah.
Belum sempat ia melihat wajah Luna, perempuan itu sudah memutar tubuh membekalanginya kembali.
“Sayang, hei, sini lihat Abang. Kamu kenapa, sih? Marah karena Abang pulang telat? Kan tadi Abang nelepon mau bilang soal ini ….” Ucapan Rizky terjeda, sebab Luna sudah lebih dulu memotongnya.
“Apa? Mau bilang pulang kerja pergi karaokean, gitu?” tanya perempuan itu tanpa merubah posisi sama sekali. Intonasi suaranya memang keras, tetapi diiringi dengan getar yang menandakan bahwa ia tengah menahan tangis.
“Lho? Kok, karaokean, sih? Abang ada rapat mendadak sama pihak bank dan juga OJK. Ini terkait seminar kemarin, Sayang.”
Luna tetap tak mau percaya. Bayang-bayang keasyikan Rizky dan wanita bernama Zizi yang cantik itu berkaraoke ria, terus mengganggu di dalam benak, hingga membuatnya tergugu sendiri.
“Bohong!”
“Astagfirullah. Abang nggak pernah bohong sama kamu, Luna. Buat apa? Abang tiap hari kerja, fokusnya memang buat kerja aja. Nggak ada mikiran hal lain. Apalagi buat karaokean, mana sempat. Mending Abang pulang, ajak istri Abang yang seharian nunggu di rumah keluar, dari pada ngelakuin hal yang udah nggak perlu dikerjakan lagi,” jelas Rizky tulus.
Selama sepuluh bulan ini, pria itu benar-benar telah berusaha sekuat tenaga menjadi suami yang baik untuk Luna. Ia ingin membina dan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah bersama wanita pilihan. Meski sesekali sempat terniat hendak menghabiskan waktu bersama teman-teman, sekedar nongkrong sampai tengah malam, tetapi Rizky terus mencoba menahan diri. Ia tak ingin berbuat tidak adil kepada Luna yang rela berhenti bekerja, hanya demi mengabdi untuk menjadi istri salehah untuknya.
“Aku baca chatting grup kantor Abang. Aku lihat ada yang namanya Zizi siapa tu, dia sengaja nge-tag nama Abang, terus maksa buat ikutan karaokean. Aku benci bacanya!”
Luna terisak. Ia memeluk guling kian erat.
Sementara Rizky hanya mampu mengulum senyum. Ada-ada saja hal yang dilakukan perempuan yang berstatus istrinya itu. Entah untuk apa gunanya memeriksa sesuatu yang tak ada manfaat sama sekali demi kewarasan hati dan pikiran sendiri.
Pria yang masih mengenakan seragam ASN itu, mendekat. Ia menggapai bahu sang istri yang terus ditepis, hingga akhirnya Rizky pun ikut berbaring, lalu memeluk Luna dari belakang dengan erat.
“Lepasin!” Wanita yang tengah terbakar cemburu itu, memberontak. Sikunya bahkan mengenai bagian tubuh Rizky beberapa kali.
“Nggak, Abang nggak akan lepasin. Terserah, deh, mau diapain juga. Abang nggak akan laporin kamu karena kasus KDRT. Beneran.”
Baru saja selesai mengucapkan kalimat itu, pergelangan tangannya yang mengait tubuh si Istri, digigit juga. Namun, tak serta merta membuat Rizky melepaskan pelukannya. Ia menahan meski Luna melakukan dengan sekuat hati.
Pria itu malah terus menciumi kepala sang istri, seolah tak merasakan sakit apa-apa hingga akhirnya Luna berhenti menggigit. Tubuhnya yang sejak tadi menegang dan memberontak pun melemah.
“Kalau kamu lihat semuanya, kamu pasti tahu, Abang nggak balas sedikit pun tag dari dia. Jadi, tolonglah, jangan begini terus, ya. Abang bener-bener udah janji di dalam hati, hanya akan mencintai kamu seorang. Janji ini bukan sembarang janji. Allah langsung yang menyaksikan dari atas sana. Abang nggak berani mengkhianati kepercayaan Allah dengan berbuat curang di belakang kamu.”
Rizky terus berusaha meyakinkan. Ia tahu, Luna sebenarnya memiliki perasaan yang lembut. Apa yang dilakukannya saat ini, semata-mata hanya karena ketidakpercayaan diri saja. Dan sudah menjadi tugas Rizky untuk terus membuatnya tidak mudah minder terhadap apa dan siapa pun juga.
“Kamu itu tetap cantik di mata Abang, Sayang. Udahlah. Jangan menyiksa diri dengan pikiran yang enggak-enggak kayak gitu.”
Kali ini, Luna menghela napas dalam. Ia lantas bangkit setelah Rizky melepaskan pelukan.
“Aku minta maaf,” ucap perempuan itu kemudian. Ia duduk di sisi ranjang, membelakangi Rizky yang baru akan bangkit menyusulnya duduk di sebelah.
“Kamu nggak salah. Jadi, nggak perlu minta maaf. Abang cuma minta, lain kali, kalau ada hal yang mengganjal, mohon dibicarakan dulu, ya. Abang nggak mau, kamu kayak gini terus, Luna. Kamu jangan sampai stres. Abang nggak mau itu terjadi.”
Manik mata Rizky menyorot bagian perut Luna. Ia berharap ada benih yang tertinggal di sana. Semoga saja, uring-uringan istrinya kali ini, sebab mood yang berubah-ubah karena kehamilan. Walau, setiap kali dicoba tespack, tetap saja menunjukkan garis satu.
Luna menoleh ke arah Rizky. Matanya sudah bengkak karena terlalu banyak menangis.
“Aku nggak masak. Dan aku lapar,” keluhnya sambil mengusap perut.
Rizky tertawa, lalu mengelus kepala sang istri.
“Ayo, cuci muka. Ganti baju. Kita pergi makan keluar.”
***Next>>>
Seperti biasa, setiap akan keluar dari rumah, Luna tak pernah lupa memakai masker untuk menutup sebagian wajahnya. Tersisa hanya mata saja yang tampak. Rizky tentu tidak keberatan dengan style istrinya yang seperti itu. Ia bahkan ingin jika Luna mengenakan niqab sekalian.Sepanjang perjalanan menuju tempat makan di dekat GOR Haji Agus Salim, Rizky terus mengajak istrinya bicara, terlebih mengenang kebersamaan mereka dahulu. Sejak awal berkenalan, hingga jadian, kemudian memutuskan untuk menikah.“Abang bener-bener masih belum nyangka, ternyata sosok yang Abang impikan selama ini, bisa juga Abang miliki.”Binar di mata Rizky begitu jelas terlihat setiap kali membahas kenangan mereka dulu. Tampak nyata, betapa besar cinta yang diberikannya untuk sang istri.Sementara Luna, hanya tersenyum kecil di balik masker yang dikenakan.“Kamu masih ingat nggak, Sayang, tempat pertama Abang ajak kamu makan?”Luna mengangguk. “Ingat,” jawabnya kemudian. Meski pelan dan terkesan tidak bersemangat, te
Mirna dan Ajeng terkejut ketika melihat Luna berdiri di depan pintu toilet, menyorot ke arah mereka. Tadi perempuan itu sama sekali tidak ditegur oleh keduanya, tahu-tahu di sini malah dibicarakan.“Lain kali kalau ngobrol, lihat-lihat tempat, ya, mbak-mbak sekalian. Jangan sampai apa yang kalian bicarakan menyinggung perasaan orang lain. Permisi,” ucap Luna tegas. Ia juga melirik ke arah Zizi yang cuek saja sambil terus berdandan, sebelum berlalu pergi. Sesekali perempuan itu juga menyorot Luna dari pantulan cermin.Mirna dan Ajeng tak menjawab. Mereka malu dan tidak enak, apalagi kalau sampai Luna memberitahu Rizky perihal yang mereka bicarakan ini.“Aduh, Uni, udah, deh, nggak usah lebay gitu. Biasa aja. Emangnya kita bilang apa tadi? Kan nggak ada yang menghina dia? Ya, meski keliatan sama aku, kalau muka dia itu nggak bersih, banyak jerawatnya. Makanya dia pake masker. Sekarang kan udah nggak pandemi lagi.”Zizi lantas memasukkan peralatan make up ke dalam pouch berwarna keemasan
“Kalau sayang, bilang sama semua orang, dong. Jangan ke aku aja!” pekik Luna di sela isak tangis. Ia benci ingat Zizi dengan lekuk indah tubuh dan kulit wajahnya yang bersih tanpa noda. Ketakutan bahwa Rizky akan berpaling kian besar saja.Semula Luna tak pernah tahu bagaimana rupa sosok perempuan yang ada di sekitar suaminya di kantor itu. Akan tetapi, setelah melihat langsung bagaimana sempurnanya Zizi, jantung Luna berdetak kian kencang. Ia tak suka, sebab mulai detik tadi pikiran buruk terus menggelayuti benak.“Nggak harus apa-apa diposting juga, Sayang. Nggak ada gunanya!”Luna mendelik. Ia masih tidak ingin mengikuti ucapan Rizky barusan.“Berikan ponsel Abang. Biar aku yang posting, minimal mereka melihat, kalau Abang itu sayang sama aku. Abang itu punya aku!” lirih Luna sambil mengulurkan tangan. Ia perlu membuktikan keseriusan cinta Rizky kepadanya dengan cara seperti ini.Sejenak, pria di balik kemudi bergeming. Menurutnya, sikap sang istri terlalu berlebihan. Akan tetapi,
Hingga pagi menjelang, Luna masih saja tidak mood. Ia benci setiap kali mengingat balasan pesan yang dikirimkan oleh Zizi semalam. Namun, ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Rizky agar jangan terlalu mempertontonkan apa pun dari kehidupan rumah tangga mereka pada semua, terlebih di dunia maya. Bagi Luna, itu penting. Ia memiliki suami yang tampan dan ramah kepada semua orang. Sejak dulu, Rizky memang menjadi incaran banyak gadis. Ia beruntung telah dipilih menjadi kekasih sampai diperistri seperti sekarang. Hanya saja, ke-insecure-an membuat dirinya menjadi takut berlebihan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ia hanya takut kehilangan Rizky, itu saja.“Abang berangkat kerja dulu, ya,” ucap Rizky sambil menjulurkan tangan kepada sang istri.Luna mengantar hingga ambang pintu. Tak ada apa-apa yang disiapkan untuk sang suami di kantor—semisal bekal sarapan atau makan siang. Bahkan pagi ini saja, Rizky berangkat kerja dengan perut kosong. Lelaki itu tak pernah
Tak lama, pemberitahuan balasan komentar berdenting juga. Tangan Luna sampai gemetar menahan marah saat membukanya.[@Ziezie : Paula, kamu lagi. Kamu nggak baca balasan inbox dari aku? Kamu itu, ya. Udahlah SKSD banget sama aku. Sok akrab pula sama aku. Terus jadi berani gitu komen kayak gini. Sengaja nggak aku hapus komentar kamu, biar banyak yang liat dan nilai kamu tukang julid yang cuman iri sama aku. Siapa pun kamu. Aku tahu ini bukan akun dan foto kamu yang sebenarnya. Udahi kepo kamu, ya. Bye!]Luna tidak lagi membalas. Ia lebih memilih melihat balasan inbox yang dikirimkan oleh Zizi.[@Ziezie : BTW, aku orangnya sangat terbuka dan spontanitas terhadap apa yang aku rasakan. Jujurly, kamu itu annoying banget, Paula. Aku nggak kenal sama kamu. Nggak tahu siapa kamu sebenarnya. Terus ujug-ujug bikin akun baru dan nge-invite aku, terus sok akrab. Aku orangnya emang welcome aja, sih, sama semua orang. Cuma, sebaiknya kamu nggak usah terlalu frontal nunjukkin diri kamu sebenarnya di
Selepas Magrib, Rizky belum juga sampai di rumah. Ia sama sekali tidak memberi kabar apa pun kepada Luna, hingga membiarkan sang istri menunggu di rumah dengan perasaan resah. Ketika dihubungi, ponselnya tak aktif. Hal tersebut tentu saja membuat Luna kian dilanda gundah gulana. Pikirannya kembali berkecamuk. Lagi-lagi bayangan Zizi menari-nari di pelupuk mata. Perempuan itu sudah terang-terangan menunjukkan kesukaan kepada Rizky di media sosial. Siapa pun yang mengenal pria di balik foto blur, pasti bisa saja menebak.Luna menggeleng resah. Ia tidak bisa menelepon suami sendiri. Bahkan untuk pergi keluar pun ia tak berani. Langit sudah menggelap.Pada akhirnya, dia kembali merebahkan tubuh di sofa tamu. Jemari lincah mengetuk-ngetuk layar. Ia mengirimkan pesan untuk sang suami. Lelaki itu pasti bisa membaca setelah ponselnya aktif.[Abang, di mana? Kenapa teleponnya nggak aktif? Katanya janji pulang cepat. Aku udah masak banyak. Tapi nggak ada yang makan.]Luna memeluk sepi. Ia takut
“Maaf, tapi saya nggak bisa. Istri saya nunggu di rumah. Ini udah terlalu malam.”Rizky tetap menolak. Imti dan Bayu yang mengendarai sepeda motor, mengelakson. Sedangkan Mirna suaminya sudah menunggu sejak tadi. Mereka pun telah pergi lebih dulu. Pak Kabid juga baru berlalu sebentar ini. Ia pikir semua bawahannya sudah bisa mengatur kepulangan masing-masing. Sama sekali tak terpikir ada satu yang tercecer—Zizi.“Abang. Mereka semua udah pulang. Aku takut tinggal sendirian di sini. Nanti kenapa-napa.”Kali ini Zizi benar-benar pias. Ia sungguh berharap Rizky akan memberi tumpangan. Walau pada awalnya hanya ingin modus. Sengaja pula tak membawa kendaraan seperti biasa, agar bisa nebeng dengan Rizky.Sejak berbalas pesan dengan Luna yang mengatasnamakan Rizky, semalam. Berakhir nomornya diblokir oleh Luna. Zizi jadi kian getol hendak mendapatkan pria incaran sepenuhnya. Tak peduli sudah beristri sekalipun. Terlebih di mata gadis itu, Luna tidak ada apa-apanya. Ia lebih cantik, jauh ket
“Sayang … Luna, Abang pengen bicara. Ke sini dulu. Kamu nggak bisa kayak gini terus, Yank.”Rizky masih mencoba menyabarkan hati. Ia harus mampu mengendalikan diri dan emosi. Jangan sampai membuat rumah tangga mereka jadi tidak harmonis hanya karena menuruti bisikan setan. Ia tak boleh seperti itu.Sementara Luna, tidak mau mendengarkan. Ia terus melangkah keluar dari kamar sambil terus menyeka air mata. Tak tinggal diam, Rizky pun menyusul.“Kamu kenapa? Cerita sama Abang. Kalau ada masalah, sebaiknya kita bicarakan baik-baik. Apa yang pengen kamu tanyakan?” Pria yang masih mengenakan seragam kerja, duduk di sebelah istrinya. Tadinya Luna hendak beranjak lagi, tetapi ditahan oleh Rizky. “Kamu jangan seperti ini terus, Yank. Jangan turuti kemauan setan untuk bertengkar dengan suamimu.”Luna menepis tangan Rizky. Namun, tenaganya kalah telak oleh sang suami. Pria itu memegangi dengan kuat, bahkan hendak memeluk istrinya.“Kalau kamu begini terus, jangan salahkan jika kita akan sering b
Rizky bangun sebelum subuh dan tak mendapati Luna di sebelah pembaringan. Tangannya meraba lalu langsung bangkit karena takut terjadi apa-apa pada istrinya yang keras kepala itu. Cepat pintu kamar dibuka, lalu melongok ke ruang tamu. Rupanya, Luna sudah tertidur sendirian tanpa selimut di sofa. Kasihan.Rizky tiba-tiba saja merasa sangat bersalah. Ia tak tega melihat Luna seperti itu. Perlahan didekati, lalu tangan mengusap kepala sang istri. Seketika perempuan itu terjaga. Padahal, Rizky sudah tersenyum dan menghilangkan kejengkelannya semalam, tetapi sikap Luna yang menepis tangannya membuat perasaan lelaki itu terusik kembali.“Kamu masih mau masalah kita berlanjut?” tanyanya serius.Luna bangkit dari pembaringan, lalu pergi meninggalkan Rizky di ruang tamu tanpa berkata apa pun.“Mau ke mana lagi, Luna? Ini sudah pagi dan Abang pikir semua udah selesai. Ternyata kamu tetap aja keras hati dan melawan seperti ini,” ucap Rizky dengan sedikit mengeraskan suara sambil berdiri. Manik ma
“Sayang … Luna, Abang pengen bicara. Ke sini dulu. Kamu nggak bisa kayak gini terus, Yank.”Rizky masih mencoba menyabarkan hati. Ia harus mampu mengendalikan diri dan emosi. Jangan sampai membuat rumah tangga mereka jadi tidak harmonis hanya karena menuruti bisikan setan. Ia tak boleh seperti itu.Sementara Luna, tidak mau mendengarkan. Ia terus melangkah keluar dari kamar sambil terus menyeka air mata. Tak tinggal diam, Rizky pun menyusul.“Kamu kenapa? Cerita sama Abang. Kalau ada masalah, sebaiknya kita bicarakan baik-baik. Apa yang pengen kamu tanyakan?” Pria yang masih mengenakan seragam kerja, duduk di sebelah istrinya. Tadinya Luna hendak beranjak lagi, tetapi ditahan oleh Rizky. “Kamu jangan seperti ini terus, Yank. Jangan turuti kemauan setan untuk bertengkar dengan suamimu.”Luna menepis tangan Rizky. Namun, tenaganya kalah telak oleh sang suami. Pria itu memegangi dengan kuat, bahkan hendak memeluk istrinya.“Kalau kamu begini terus, jangan salahkan jika kita akan sering b
“Maaf, tapi saya nggak bisa. Istri saya nunggu di rumah. Ini udah terlalu malam.”Rizky tetap menolak. Imti dan Bayu yang mengendarai sepeda motor, mengelakson. Sedangkan Mirna suaminya sudah menunggu sejak tadi. Mereka pun telah pergi lebih dulu. Pak Kabid juga baru berlalu sebentar ini. Ia pikir semua bawahannya sudah bisa mengatur kepulangan masing-masing. Sama sekali tak terpikir ada satu yang tercecer—Zizi.“Abang. Mereka semua udah pulang. Aku takut tinggal sendirian di sini. Nanti kenapa-napa.”Kali ini Zizi benar-benar pias. Ia sungguh berharap Rizky akan memberi tumpangan. Walau pada awalnya hanya ingin modus. Sengaja pula tak membawa kendaraan seperti biasa, agar bisa nebeng dengan Rizky.Sejak berbalas pesan dengan Luna yang mengatasnamakan Rizky, semalam. Berakhir nomornya diblokir oleh Luna. Zizi jadi kian getol hendak mendapatkan pria incaran sepenuhnya. Tak peduli sudah beristri sekalipun. Terlebih di mata gadis itu, Luna tidak ada apa-apanya. Ia lebih cantik, jauh ket
Selepas Magrib, Rizky belum juga sampai di rumah. Ia sama sekali tidak memberi kabar apa pun kepada Luna, hingga membiarkan sang istri menunggu di rumah dengan perasaan resah. Ketika dihubungi, ponselnya tak aktif. Hal tersebut tentu saja membuat Luna kian dilanda gundah gulana. Pikirannya kembali berkecamuk. Lagi-lagi bayangan Zizi menari-nari di pelupuk mata. Perempuan itu sudah terang-terangan menunjukkan kesukaan kepada Rizky di media sosial. Siapa pun yang mengenal pria di balik foto blur, pasti bisa saja menebak.Luna menggeleng resah. Ia tidak bisa menelepon suami sendiri. Bahkan untuk pergi keluar pun ia tak berani. Langit sudah menggelap.Pada akhirnya, dia kembali merebahkan tubuh di sofa tamu. Jemari lincah mengetuk-ngetuk layar. Ia mengirimkan pesan untuk sang suami. Lelaki itu pasti bisa membaca setelah ponselnya aktif.[Abang, di mana? Kenapa teleponnya nggak aktif? Katanya janji pulang cepat. Aku udah masak banyak. Tapi nggak ada yang makan.]Luna memeluk sepi. Ia takut
Tak lama, pemberitahuan balasan komentar berdenting juga. Tangan Luna sampai gemetar menahan marah saat membukanya.[@Ziezie : Paula, kamu lagi. Kamu nggak baca balasan inbox dari aku? Kamu itu, ya. Udahlah SKSD banget sama aku. Sok akrab pula sama aku. Terus jadi berani gitu komen kayak gini. Sengaja nggak aku hapus komentar kamu, biar banyak yang liat dan nilai kamu tukang julid yang cuman iri sama aku. Siapa pun kamu. Aku tahu ini bukan akun dan foto kamu yang sebenarnya. Udahi kepo kamu, ya. Bye!]Luna tidak lagi membalas. Ia lebih memilih melihat balasan inbox yang dikirimkan oleh Zizi.[@Ziezie : BTW, aku orangnya sangat terbuka dan spontanitas terhadap apa yang aku rasakan. Jujurly, kamu itu annoying banget, Paula. Aku nggak kenal sama kamu. Nggak tahu siapa kamu sebenarnya. Terus ujug-ujug bikin akun baru dan nge-invite aku, terus sok akrab. Aku orangnya emang welcome aja, sih, sama semua orang. Cuma, sebaiknya kamu nggak usah terlalu frontal nunjukkin diri kamu sebenarnya di
Hingga pagi menjelang, Luna masih saja tidak mood. Ia benci setiap kali mengingat balasan pesan yang dikirimkan oleh Zizi semalam. Namun, ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Rizky agar jangan terlalu mempertontonkan apa pun dari kehidupan rumah tangga mereka pada semua, terlebih di dunia maya. Bagi Luna, itu penting. Ia memiliki suami yang tampan dan ramah kepada semua orang. Sejak dulu, Rizky memang menjadi incaran banyak gadis. Ia beruntung telah dipilih menjadi kekasih sampai diperistri seperti sekarang. Hanya saja, ke-insecure-an membuat dirinya menjadi takut berlebihan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ia hanya takut kehilangan Rizky, itu saja.“Abang berangkat kerja dulu, ya,” ucap Rizky sambil menjulurkan tangan kepada sang istri.Luna mengantar hingga ambang pintu. Tak ada apa-apa yang disiapkan untuk sang suami di kantor—semisal bekal sarapan atau makan siang. Bahkan pagi ini saja, Rizky berangkat kerja dengan perut kosong. Lelaki itu tak pernah
“Kalau sayang, bilang sama semua orang, dong. Jangan ke aku aja!” pekik Luna di sela isak tangis. Ia benci ingat Zizi dengan lekuk indah tubuh dan kulit wajahnya yang bersih tanpa noda. Ketakutan bahwa Rizky akan berpaling kian besar saja.Semula Luna tak pernah tahu bagaimana rupa sosok perempuan yang ada di sekitar suaminya di kantor itu. Akan tetapi, setelah melihat langsung bagaimana sempurnanya Zizi, jantung Luna berdetak kian kencang. Ia tak suka, sebab mulai detik tadi pikiran buruk terus menggelayuti benak.“Nggak harus apa-apa diposting juga, Sayang. Nggak ada gunanya!”Luna mendelik. Ia masih tidak ingin mengikuti ucapan Rizky barusan.“Berikan ponsel Abang. Biar aku yang posting, minimal mereka melihat, kalau Abang itu sayang sama aku. Abang itu punya aku!” lirih Luna sambil mengulurkan tangan. Ia perlu membuktikan keseriusan cinta Rizky kepadanya dengan cara seperti ini.Sejenak, pria di balik kemudi bergeming. Menurutnya, sikap sang istri terlalu berlebihan. Akan tetapi,
Mirna dan Ajeng terkejut ketika melihat Luna berdiri di depan pintu toilet, menyorot ke arah mereka. Tadi perempuan itu sama sekali tidak ditegur oleh keduanya, tahu-tahu di sini malah dibicarakan.“Lain kali kalau ngobrol, lihat-lihat tempat, ya, mbak-mbak sekalian. Jangan sampai apa yang kalian bicarakan menyinggung perasaan orang lain. Permisi,” ucap Luna tegas. Ia juga melirik ke arah Zizi yang cuek saja sambil terus berdandan, sebelum berlalu pergi. Sesekali perempuan itu juga menyorot Luna dari pantulan cermin.Mirna dan Ajeng tak menjawab. Mereka malu dan tidak enak, apalagi kalau sampai Luna memberitahu Rizky perihal yang mereka bicarakan ini.“Aduh, Uni, udah, deh, nggak usah lebay gitu. Biasa aja. Emangnya kita bilang apa tadi? Kan nggak ada yang menghina dia? Ya, meski keliatan sama aku, kalau muka dia itu nggak bersih, banyak jerawatnya. Makanya dia pake masker. Sekarang kan udah nggak pandemi lagi.”Zizi lantas memasukkan peralatan make up ke dalam pouch berwarna keemasan
Seperti biasa, setiap akan keluar dari rumah, Luna tak pernah lupa memakai masker untuk menutup sebagian wajahnya. Tersisa hanya mata saja yang tampak. Rizky tentu tidak keberatan dengan style istrinya yang seperti itu. Ia bahkan ingin jika Luna mengenakan niqab sekalian.Sepanjang perjalanan menuju tempat makan di dekat GOR Haji Agus Salim, Rizky terus mengajak istrinya bicara, terlebih mengenang kebersamaan mereka dahulu. Sejak awal berkenalan, hingga jadian, kemudian memutuskan untuk menikah.“Abang bener-bener masih belum nyangka, ternyata sosok yang Abang impikan selama ini, bisa juga Abang miliki.”Binar di mata Rizky begitu jelas terlihat setiap kali membahas kenangan mereka dulu. Tampak nyata, betapa besar cinta yang diberikannya untuk sang istri.Sementara Luna, hanya tersenyum kecil di balik masker yang dikenakan.“Kamu masih ingat nggak, Sayang, tempat pertama Abang ajak kamu makan?”Luna mengangguk. “Ingat,” jawabnya kemudian. Meski pelan dan terkesan tidak bersemangat, te