Alex masuk kembali ke dalam ruangannya dengan santai setelah menyelesakan laporan bulanan pada sang bos. Lelaki itu kembali duduk dan bersiap meraih kembali papan ketik yang ada di hadapannya. Namun belum sempat kedua tangannya menyentuh benda itu, ponsel miliknya yang berada di samping berdering dengan begitu kencang."Astaga! Sial! Siapa yang menambah volume dering ponselku hingga keras seperti ini?" Ia mengumpat kesal.Lelaki itu meraih ponsel itu cepat, dan menunggu orang di seberang sana bersuara.[Hallo, Alex...!] Suara cempreng Nana langsung terdengar tatkala Alex menerimanya. Ia pun sampai harus menjauhkan ponselnya sejenak karena teriakan dari gadis itu.[Kenapa kau berteriak?] gerutu Alex. Beruntung ia tidak memiliki riwayat jantung. Kalau iya, entah lah seperti apa nasibnya sekarang.[Apa Airin bersamamu?] Pertanyaan yang sungguh membuat Alex tak mengerti.[Maksudnya?] jawab lelaki itu.[Maksudku, apa saat ini Airin tengah bersamamu? Karena ia sudah tidak ada di restoran.]
Airin merasakan cengkeraman kuat di kedua bahunya. Gadis itu berusaha menghindar, namun ... "Akhhhh ....!" Dorongan hawa panas yang menjalar di tubuh Alfa lebih mendominasi akal sehatnya. "Cepat pergi, Rin, sebelum ...?" Dengan sekuat tenaga Alfa menahan rasa yang terus bergejolak. Menahan untuk ia tidak melakukan sesuatu di luar kendali yang mungkin bisa menjadikannya penyesalan. Mendengar ucapan dari pria itu, Airin lantas berlari cepat ke arah pintu. Ia ingin segera keluar, setidaknya menghindari perbuatan dosa yang mungkin saja akan terjadi. "Kenapa pintunya tidak bisa di buka?" Menyadari jika pintu itu terkunci. "Kumohon, terbukalah ..." Ia hampir menangis. Perasaannya semakin kalut membayangkan hal-hal buruk di depan matanya. "Rin, kenapa kau masih di situ? Cepat pergi! Aku benar-benar tidak bisa menahanannya lagi!" Suara Alfa kembali terdengar. Airin semakin tak kuasa untuk menahan tangisnya. Ia bingung, ia juga takut. Akhhh! Bagaimana ini! "
Alex tidak ragu lagi saat sang istri telah memberinya ijin. Ia segera menarik pakaian milik gadis itu yang sudah tidak berbentuk lagi , dan terpampang jelas pemandangan indah di depan matanya."Cepat, lakukan!" Airin sudah meracau tidak jelas. Tubuhnya juga menggelinjang hebat seperti cacing yang tengah kepanasan. Alex yang menyaksikannya tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan itu. Ia semakin menggila saat Airin ternyata menyerangnya lebih dulu."Hei, kenapa kau bar-bar sekali!" Alex sedikit terkekeh menyaksikan gadis itu yang terlihat sangat bersemangat. Bahkan Airin yang memulainya lebih dulu, memimpin permainan itu tanpa rasa malu lagi."Sekarang giliranku!" Alex menyeringai, mengambil alih permainan yang sejak tadi gadis itu kendalikan.Racauan serta desahan dari gadis itu semakin membuat suasana kamar memanas. Mereka saling berpacu dan meraup kenikmatan masing-masing. Cukup lama keduanya saling larut dalam percintaan, hingga keduanya mendapatkan kepuasan entah sudah yang keb
"Lihat, apa yang sudah kau lakukan padaku?" Kini gantian Alex yang menunjukkan bekas merah di beberapa bagian tubuhnya.Awalnya Airin mengintip sedikit, namun ia semakin penasaran saja. Apa iya, dirinya sampai segila itu hingga meninggalkan bekas kemerahan di tubuh Alex."Buka matamu, kenapa kau aneh sekali!" Alex malah sengaja menarik tangan Airin. Benar saja, saat kedua matanya terbuka, pemandangan pertama yang ia lihat adalah tubuh lelaki itu yang di penuhi banyak sekali tanda merah."Apa semua ini ... ulahku?" Airin shock sendiri membayangkan seliar apa dirinya semalam."Tapi kau hebat, aku saja sampai ...?""Lex ...!" Gadis itu sudah melotot , ia tidak ingin lagi mendengar Alex yang semakin membuatnya malu."Baiklah. Jika kau tidak ingin mendengarnya lagi, bagiamana kalau kita mengulang kegiatan semalam?""Apa!!"Kedua mata gadis itu membola sempurana saat Alex tiba-tiba menariknya. Meski tanpa persetujuan, Alex dengan mudahnya membimbing tubuh Airin ke arah tempat tidur."Auwww
[Bagaimana, apa kau sudah mendapatkan informasi tentang siapa perempuan yang bersama istriku semalam?] tanya Alex untuk yang ke sekian kalinya. Lelaki itu sudah sangat kesal karena orang suruhannya belum juga menemukan titik terang mengenai siapa yang menjebak Airin tadi malam. Sedangkan Airin? Entahlah, gadis itu malah bungkam saat di tanya mengenai siapa yang mengajaknya ke hotel. Ia malah terlihat kesal dan langsung menghindar. Membuat Alex bingung sendiri harus bagaimana. [Belum, Tuan. Saya tidak menemukan apapun. Termasuk CCTV hotel, tidak tahu kenapa semua rusak pada saat itu. Sepertinya mereka sudah merencanakan sebelumnya dengan matang.] Alex semakin frustasi. Bisanya ia akan sangat mudah jika hanya mengenai hal ini. Tapi sekarang, nampakanya mereka telah memikirkannya sampai hal yang terkecil. [Baiklah. Kau boleh istirahat. Biar masalah ini aku sendiri yang akan menanganinya.] Akhirnya mau tak mau Alex menyerah untuk sementara waktu. Ia memutuskan untuk memikirkannya nanti
"Sial, sial!" umpatan demi umpatan Riska lontarkan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kesialan yang ia alami bak bertubi-tubi. Wanita itu hampir saja menggila, jika tidak mengingat saat ini ia masih berada di kantor. Ia takut sang papa mengetahui permasalahan yang baru saja menimpanya.Akan semurka apa nanti jika mengetahui putri semata wayangnya ternyata berani melakukan tindakan kriminal. Apalagi jika tahu dirinya baru saja menghabiskan malam bersama seorang pria, pasti papanya akan langsung marah, atau mungkin saja mengirimnya ke luar negeri."Tidak!" Riska menggeleng cepat. Ia masih ingin memperjuangkan cintanya pada Alex yang sampai saat ini belum kesampaian."Kurang ajar kamu, Rick!" Ia meremas ponsel yang ia gengam saat mengingat pria itu lagi. Pesan yang di kirimkan Erick sungguh membuat darahnya mendidih. Bagaimana mungkin setelah ia di kerjai habis-habisan semalaman penuh, Erick meninggalkannya begitu saja.Meski Riska sendiri sadar, permainan pria itu mampu membuatny
Arya berjalan tergesa memasuki ruangan milik Roy. Tadinya mereka berencana ingin bertemu di salah satu cafe, tapi Roy mendadak membatalkan pertemuan itu dan mengabari Arya untuk datang saja ke kantor miliknya.Tentu saja Arya menyanggupi. Di manapun atau kapanpun pasti akan lelaki itu usahakan agar urusan ini cepat selesai. Arya sudah tidak sabar mendengar kabar yang akan Roy sampaikan, hingga ia lupa mengetuk pintu dan langsung menyelonong masuk ke ruangan itu."Ar, kau sudah datang?" Roy bangkit menyambut kedatangan lelaki itu."Ya. Aku sudah tidak sabar menunggu kabar baik yang akan kau sampaikan." Keduanya mendaratkan tubuhnya di sofa ruangan Roy. "Tidak perlu terburu-buru, masih ada banyak waktu, hahaha!" Roy tergelak melihat Arya yang terlihat sudah tidak sabar lagi."Mungkin waktu memang masih banyak. Tapi, aku tidak bisa membiarkan kejahatan terlalu lama tersimpan," balas Arya tak kalah santai. "Aku yakin kau lebih paham situasinya seperti apa.""Oke, oke!" Roy paham sekali d
"Kurang ajar!" Dion membanting seluruh berkas yang sudah tersusun rapi di atas meja kerja ruangannya. Pria itu mengamuk dan melampiaskan pada benda-benda yang tidak bersalah itu."Kenapa kita bisa kalah lagi, Sen!" Ia sedikit meninggikan suara. Padahal ini bukanlah kekalahan untuk yang lertama kalinya. Tapi, baginya kekalahannya kali ini adalah suatu hal yang ia anggap mustahil. "Padahal kita sudah mempersiapkannya sebaik mungkin. Tapi, tetap saja kita masih kalah unggul dengan Perusahaan Pratama." Pria itu mengacak rambutnya sendiri. Ruangan itu juga sudah terlihat mirip dengan kapal pecah.Asisten Seno hanya diam dan menunduk. Pria itu menunggu sampai emosi dari sang bos sedikit mereda."Panggil Nabil ke sini, cepat!" Barulah saat mendengar perintah, Seno langsung mendongak. Ia berbalik dan mengayun langkahnya ke arah pintu.Lima menit kemudian, Seno masuk lagi dengan Nabil yang berjalan di belakangnya. Wajah gadis itu sudah memucat, membayangkan akan semurka apa pria itu karena re