Arya berjalan tergesa memasuki ruangan milik Roy. Tadinya mereka berencana ingin bertemu di salah satu cafe, tapi Roy mendadak membatalkan pertemuan itu dan mengabari Arya untuk datang saja ke kantor miliknya.Tentu saja Arya menyanggupi. Di manapun atau kapanpun pasti akan lelaki itu usahakan agar urusan ini cepat selesai. Arya sudah tidak sabar mendengar kabar yang akan Roy sampaikan, hingga ia lupa mengetuk pintu dan langsung menyelonong masuk ke ruangan itu."Ar, kau sudah datang?" Roy bangkit menyambut kedatangan lelaki itu."Ya. Aku sudah tidak sabar menunggu kabar baik yang akan kau sampaikan." Keduanya mendaratkan tubuhnya di sofa ruangan Roy. "Tidak perlu terburu-buru, masih ada banyak waktu, hahaha!" Roy tergelak melihat Arya yang terlihat sudah tidak sabar lagi."Mungkin waktu memang masih banyak. Tapi, aku tidak bisa membiarkan kejahatan terlalu lama tersimpan," balas Arya tak kalah santai. "Aku yakin kau lebih paham situasinya seperti apa.""Oke, oke!" Roy paham sekali d
"Kurang ajar!" Dion membanting seluruh berkas yang sudah tersusun rapi di atas meja kerja ruangannya. Pria itu mengamuk dan melampiaskan pada benda-benda yang tidak bersalah itu."Kenapa kita bisa kalah lagi, Sen!" Ia sedikit meninggikan suara. Padahal ini bukanlah kekalahan untuk yang lertama kalinya. Tapi, baginya kekalahannya kali ini adalah suatu hal yang ia anggap mustahil. "Padahal kita sudah mempersiapkannya sebaik mungkin. Tapi, tetap saja kita masih kalah unggul dengan Perusahaan Pratama." Pria itu mengacak rambutnya sendiri. Ruangan itu juga sudah terlihat mirip dengan kapal pecah.Asisten Seno hanya diam dan menunduk. Pria itu menunggu sampai emosi dari sang bos sedikit mereda."Panggil Nabil ke sini, cepat!" Barulah saat mendengar perintah, Seno langsung mendongak. Ia berbalik dan mengayun langkahnya ke arah pintu.Lima menit kemudian, Seno masuk lagi dengan Nabil yang berjalan di belakangnya. Wajah gadis itu sudah memucat, membayangkan akan semurka apa pria itu karena re
"Ada kabar yang menggembirakan." Arya langsung masuk dan menerobos ruangan Alex tanpa mengetuk pintunya lebih dulu. Senyum lelaki itu terus mengembang, menggambarkan betapa gembira hatinya saat ini."Iya, Tuan, saya juga sudah mendengarnya." Alex bangkit dan menyambut kedatangannya. "Selamat atas kemenangan Anda sebagai pemilik nilai tertinggi di kompetisi tadi." Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Arya. Namun, sambutan Arya sangat berbeda."Apa? Bukan itu yang ingin aku katakan." Lelaki itu malah mendaratkan tubuhnya pada sofa.Alex hanya mengernyit, mendengar penuturan Arya baru saja. "Lantas kabar menggembirakan apa yang Anda maksud, Tuan?" Ia juga ikut duduk bersebelahan dengannya."Ini lebih dari menggembirakan. Kau ingin tahu?" tanya Arya lagi. 'Tentu saja. Kenapa masih bertanya?' Alex hanya membatin. 'Dasar aneh!'"Roy sudah memulai penyelidikan. Dan kau tahu, ia sudah berhasil masuk ke dalam perusahaan itu," jelas Arya. Ia berharap Alex akan sangat senang mendengar kabar
Elisa berbinar senang menatap setelah pakaian bayi yang baru saja ia pilih. Beberapa setelah baju untuk bayi perempuan itu sudah berada di tangan Elisa dan tengah di bawa ke arah kasir."Astaga, Elisa ...! Kamu tidak salah membeli barang sebanyak ini?" Roy menggeleng tak percaya dengan apa yang di lakukan istrinya. Sudah lebih dari satu jam mereka ada di sana, dan selama itu pula banyak sekali barang yang sudah wanita itu pilih untuk calon anaknya yang beberapa bulan lagi akan lahir."Apa sih, Kak? Ini kan untuk calon anak kita." Wanita itu memutar kedua bola matanya malas. Selalu saja seperti itu jika di minta untuk menemaninya berbelanja."Tapi tidak harus sebanyak ini kan, El? Bahkan minggu kemarin saja kamu sudah membeli banyak sekali barang!" protes Roy lagi. Lelaki itu tidak pernah paham dengan cara berpikir istrinya yang gampang sekali tergoda jika sudah melihat barang yang bagus."Memangnya kenapa sih, Kak? Apa Kakak merasa keberatan untuk membayarnya?" Elisa sudah merubah rau
Roy mengayun langkah mantap ke arah parkiran yang terletak di seberang sana. Selain lelah dan ingin segera beristirahat, ia juga masih ada satu pekerjaan lagi yang rencananya akan ia selesaikan malam nanti.Entah hanya perasaannya saja atau mungkin Elisa yang sengaja ingin menggodanya, lelaki itu beberapa kali membalikkan tubuh ke belakang untuk bisa melihat keberadaan istrinya yang ia tinggalkan untuk menunggu.Parkiran memang tidak terlalu jauh, namun bagi Roy tidak mungkin untuk mengajak Elisa karena khawatir wanita itu akan kelelahan dengan keadaan perutnya yang sudah membesar seperti saat ini.'Tunggu aku, El. Tunggu!' Roy berbisik sendiri. Ia menatap sekitar parkiran yang lumayan ramai. Lantas pandangannya fokus pada mobil hitam miliknya yang terlihat di depan sana. Tanpa ragu lagi lelaki itu melangkah untuk mendekatinya.Namun malang tak dapat di tolak. Dari arah samping tiba-tiba saja sebuah mobil hitam melaju dengan kencangnya. Mobil itu keluar dari arah parkiran dan langsung
Alex memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit tempat Roy di rawat. Tadi, setelah sambungan telepon terputus, ia berinisiatif menghubungi Elisa lagi untuk memastikan apa maksud dari wanita itu yang tiba-tiba saja menghubunginya. Setelah mendengar penjelasan dari orang seberang sana yang menjawab teleponnya, detak jantung Alex pun terpompa dengan kian cepatnya. Darah lelaki itu bergejolak dengan hebatnya, dan atmosfer di ruangan itu pun seketika berubah. Alex hampir menjatuhkan ponsel yang ia gengam tatkala mendengar kabar yang sangat mengejutkan itu.[Apa!! Roy kecelakaan!!] Pantas saja tadi suara Elisa terdengar tengah menagis. Dan bodohnya ia sempat mengacuhkannya, bahkan meninggikan suaranya. [Katakan, di rumah sakit mana Roy akan di bawa?] Klik, telepon Alex matikan segera setelah mendengar jawaban dari orang itu. Seakan kekhawatirannya sejak pagi tadi terjawab sudah. Ternyata benar kata pepatah, jika darah lebih kental daripada air. Dan buktinya ia lun ikut mera
"Keadaan Tuan Roy masih kritis, Nona. Dan dia kehilangan banyak sekali darah."Elisa hampir saja limbung mendengar kabar tersebut. Untung saja Airin dengan sigap menahannya. "El, kamu baik-baik aja, kan?" Gadis itu memastikan temannya yang masih terlihat pucat."Lantas, apa yang harus kami lakukan, Dokter?" Alex mewakili semuanya untuk bertanya. Nampaknya lelaki itu pun ikut terpukul dengan kabar yang baru saja mereka dengar.Dokter menjelaskan jika Roy sangat membutuhkan beberapa kantong darah secepatnya. Namun sayang sekali bank darah untuk golongan yang Roy butuhkan saat ini tengah kosong sehingga pihak rumah sakit tengah berusaha mencarikannya.Setelah Dokter melangkah pergi, semua membisu di tempatnya masing-masing. Airin masih mencoba menenangkan Elisa yang terlihat sangat hancur, wanita itu saat ini sungguh sangat menyedihkan.Saat semuanya memilih bungkam, tiba-tiba saja Elisa bangkit. Dengan sedikit langkahnya yang sempoyongan ia mendekati Bu Lasmi yang juga tak kalah sedih.
"Apa! Jadi kau penyebab terjadinya malapetaka ini!" Akhirnya amarah yang sejak tadi pria itu tahan meledak sudah. Tuan Andreas sangat murka saat tak sengaja mendengar pembicaraan antara Roy dan juga Alex. Padahal pria paruh baya itu baru saja tiba di rumah sakit dan hendak menuju ruangan tempat Roy di rawat.Namun tanpa di sangka sebelum sampai di ruangan menantunya, Tuan Andreas melihat Arya dan Alex tengah berbincang, ia sangat penasaran jadi memutuskan untuk mencuri dengar dari jarak yang lumayan dekat. Dan selanjutnya pria paruh baya itu mendengar kabar yang sangat mengejutkan dari keduanya."Saya curiga kejadian ini ada hubungannya dengan penyelidikan kita," ungkap Alex. Sedangkan Arya yang berdiri di depannya nampak berpikir keras. Tak lama kemudian ia pun mengangguk."Kau yakin? Jangan asal menuduh, Lex. Nanti kita sendiri yang repot karena itu merupakan pencemaran nama baik." Arya mengingatkannya agar Alex tidak terburu-buru mengambil tindakan."Lantas siapa lagi, Tuan? Saya t
Setelah pertemuannya Riska dengan Erick di depan kampus beberapa hari yang lalu. Riska memutuskan untuk menceritakan siapa sebenarnya pria itu pada putrinya. Dan sejak itu pula Erick berusaha mendekati Nisya dengan perlahan. "Jadi, Om itu papaku, Ma?" tanya Nisya sekali lagi. Yang langsung di jawab anggukan kepala oleh sang mama. "Ya. Dia papamu, Nak." Dan hari-hari mereka mulai berwarna. Apalagi saat Erick terang-terangan melamar Riska di depan semua temannya. Meski terkesan buru-buru, Riska akhirya pun menerima lamaran itu demi putri tercintanya. "Menikahlah denganku, Riska. Aku janji akan membahagiakanmu dan juga Nisya." Seluruh mahasiswa yang menyaksikan acara lamaran itu langsung bersorak, meminta pada Riska untuk segera memberikan jawaban. Tidak butuh waktu lama, acara pernikahan Riska dan Erick segera di laksanakan. Pernikahan sederhana itu di gelar di rumah kediaman Riska dan hanya di hadiri oleh kerabat serta teman dekatnya saja. Mereka melanjutkan hidup dengan bahagia.
"Airinnn ...!!" teriak Elisa kegirangan. Ia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu ... Bughhh!! Satu pukulan mendarat lagi di perut pria asing yang tadi mencekal sebelah tangannya. Kini Elisa tidak merasa takut lagi, karena ada Airin yang siap membantunya. "Kamu tidak apa-apa 'kan, El?" Meski khawatir, Airin tetap waspada. Tidak ingin ceroboh sampai memberi kesempatan pada penjahat itu lagi. "Aku baik-baik saja, Rin." Elisa berlari ke arah ketiga bocah tadi. Memeriksa satu-persatu dari mereka. Elisa lega karena semuanya dalam keadaan baik-baik saja. "Kalian tunggu Mama di sini. Jangan ke mana-mana!" Lalu Elisa berdiri tepat di depan ketiga bocah itu untuk melindungi dari pria jahat yang masih meringis kesakitan. "Sialan!!" Pria itu mengumpat lagi. Bahkan terdengar juga sumpah serapahnya, memaki pada dua ibu muda yang sudah berhasil mengalahkannya. Tidak ingin memberikan kesempatan lagi, Airin dan Elisa segera memberikan pukulan secara bersamaan. Bughhh, bug
Drama panjang mengenai hilangnya Haidar dan Rey yang terjadi di rumah milik Alex berlalu sudah. Kini dua minggu setelah kejadian itu Airin dan Elisa mengajak anak-anaknya bermain di sebuah taman permainan khusus anak. Dan tentu saja di temani oleh kedua suami dari mereka.Anak-anak mulai bermain, saling berkejaran dan menikmati suasana sore yang semakin ramai. Di sana-sini juga terlihat anak-anak lain tengah bermain dengan di awasi oleh para orang tuanya masing-masing.Suasana taman terasa ramai sekali, apalagi saat ini tengah libur akhir pekan. Sementara para ibu tengah mengawasi para anak main, Alex dan Roy memilih menyingkir mencari tempat untuk berbincang. "Kak Rey, ayo main!" ajak Azki. Gadis kecil itu mulai menyeret tangan Rey untuk mengikutinya. Padahal sejak tadi Lexa juga sudah ada di sebelahnya memainkan boneka yang sengaja mereka bawa dari rumah."Kakak di sini aja ya? Kakak nggak suka main boneka." Rey ogah-ogahan mengikuti tangan gadis itu yanga terus saja menggandengnya
"Kalian ...?" Kay menatap bingung pada dua pria kecil di depannya. Haidar dan Rey kini tengah duduk bersebelahan di dalam gudang yang terletak di samping taman. "Kalian ngapain di sini?"Dua pria kecil tadi menoleh serempak. Melihat gadis kecil berkuncir kuda dengan tatapannya yang berbeda."Kak Kay ...!" Haidar langsung bangkit dan berusaha menyembunyikan tubuh sang kakak di belakangnya. "Kenapa Kakak ke sini?" ucapnya lagi."Kalian ngapain ada di sini?" Kay mengulang pertanyaan itu lagi.Sedangkan di depan sana Rey menatap gadis itu dengan kedua mata yang berbinar."Berhenti menatap Kak Kay seperti itu!" Haidar memasang badan tepat di depan Kay. Menghalangi pandangan pria di depan sana agar tidak terus menerus menatap ke arah sang kakak."Kamu ngapain sih, Dek?" Kay bingung sendiri melihat aksi konyol adiknya. "Ayo, Mama sama Ayah khawatir." Menarik tubuh Haidar agar mengikutinya."Awas kalau kamu berani menatap Kak Kay seperti itu lagi!" ancamnya sebelum melangkah keluar dari dalam
Beberapa tahun kemudian."Kakak, gendong ..." rengek Azki manja pada pria kecil berusia sepuluh tahun. Pria kecil itu hanya menurut, berjongkok dan memasang punggungnya di depan gadis kecil tadi."Yeyyy, asikkk!" Azki tersenyum senang mendapati pria itu tidak menolaknya lagi. Padahal ia tidak tahu saja sebenarnya pria itu tengah memakinya dengan kesal.Azkia Putri Aditama.Nama yang di berikan Airin dan Alex untuk putri pertama mereka. Gadis kecil berkulit putih, serta berambut lurus itu saat ini sudah berusia lima tahun. Azki tumbuh menjadi sosok yang ceria dan juga pintar.Saat ini mereka tengah kedatangan tamu dari Keluarga Roy dan juga Arya. Semua berkumpul di taman belakang menyaksikan anak-anak mereka bermain. Saling berkejaran, ada juga yang terlihat saling berbincang."Lihat ekspresi wajah putramu, El, dia lucu sekali, 'kan?" Airin menunjuk ke arah Rey yang saat ini tengah menggendong Azkia. Gadis kecil itu tampak tertawa senang, sedangkan Rey terus saja menekuk wajahnya masam
"Pa, bagaimana dengan nasibku?" Saat ini perempuan itu tengah menemui papanya di sel tahanan. Tuan Bara harus menjalani hukuman dua tahun lebih lama di banding dengan Sigit Prasetya karena kesalahannya dia anggap lebih fatal. Sedangkan Riska dengan keadaan perutnya yang semakin hari kian membuncit kebingungan harus menyembunyikan kehamilannya dari orang-orang di tempat tinggal barunya nanti."Dari awal Papa sudah bertanya padamu, kan? Siapa Ayah dari bayi yang kau kandungan? Tapi kau malah diam dan seolah melindunginya. " Papa Bara kesal dengan Riska yang sangat keras kepala. Coba saja dulu ia mau jujur, pasti keadaannya tidak akan seperti ini."Maaf, Pa. Maafkan Riska." Bulir bening jatuh begitu saja melewati kedu pipi perempuan itu. Mama Nathali hanya mampu menenangkan dan mengusap lembut punggung putri satu-satunya itu."Sudahlah, Ris. Sebaiknya kita segera pulang." Ibu dan anak itu melangkah gontai meninggalkan sel tahanan suaminya menuju tempat tinggal baru yang mereka sewa denga
Setelah di buat bingung dengan tingkah Airin yang tiba-tiba meminta berhenti secara mendadak, saat ini Alex juga di buat terkesiap dengan kedua bola mata yang membulat serta mulut yang terbuka lebar tatkala melihat tingkah istrinya yang tak masuk akal.Bagaimana mungkin orang yang tadinya terlihat kesakitan sekali sekarang tengah santai dan menyantap semangkuk bakso dengan sangat lahap? Di tambah lagi setelah adegan itu selesai, Alex nyaris jatuh, bangun, serta guling-guling sendiri ketika mendengar si tukang bakso yang bersuara dan meminta bayaran untuk harga bakso yang baru saja istrinya makan."Satu juta lima ratus ribu?! Jangan gila, Pak! Istri saya hanya memesan semangkuk bakso. Kenapa mahal sekali?" Rasanya Alex ingin menghancurkan gerobak sekaligus pemiliknya. Tapi melihat tatapan heran orang-orang di sekitar, Alex terpaksa duduk kembali di bangku plastik yang di sediakan pedagang itu."Memang yang di makan istri Anda hanya semangkuk, Tuan. Tapi, dia tadi bilang akan memborong
Beberapa Bulan Kemudian ...Kehamilan Airin sudah memasuki trimester terakhir. Wanita itu sudah terlihat sekali kesulitan untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Beruntung Alex selalu menyempatkan waktunya untuk menemani istrinya kemana pun pergi.Seperti pagi ini, mendadak Airin ingin di temani jalan-jalan. Padahal Alex sudah rapi dengan setelan jas dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Terpaksa Alex harus menghubungi sekretarisnya dan meminta jadwal ulang untuk rapat yang akan di adakan dua jam lagi.[Tapi, Tuan ....?] Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana. Alex paham jika sang sekretaris pasti kebingungan mencari alasan di batalkannya rapat itu.[Katakan saja pada mereka jika istriku sedang ingin di temani di rumah] Alasan yang logis memang. Tapi, apa mungkin mereka akan percaya? Atau malah akan di jadikan bahan lelucon nanti? Entahlah.[Kau mendengarku?] Alex terpaksa bersuara lagi tatkala tidak mendapatkan sahutan dari seberang sana.[I–iya, Tuan. Saya akan coba menjelask
Beberapa bulan setelah semua beres, keadaan akhirya kembali normal seperti biasa. Alex telah menyeret satu persatu orang yang sudah terlibat dalam hancurnya perusahaan papanya. Sigit Prasetya dan Bara adalah dua orang utama yang menerima hukuman dari Alex. Tentu dengan masa hukuman yang berbeda tergantung seberapa besar keterlibatan mereka dalam permasalahan itu.Pengalihan perusahaan milik Papa Wahyu ke tangannya kembali juga sudah di laksanakan dengan mengundang perwakilan dari beberapa perusahaan saja, termasuk dari Keluarga Pratama dan Andreas yang menjadi pendukung utama.Alex sengaja mengadakan acara itu di rumah karena tidak terlalu banyak yang mereka undang. Hanya orang-orang terdekat serta beberapa kolega dari Papa Wahyu dulu yang masih menjalin pertemanan baik dengan mereka.Jika dulu Papa Wahyu yang memimpin perusahaan itu sendiri, tapi sekarang ia sudah menyerahkan tanggung jawab penuh perusahaan pada Alex. Pria paruh baya itu merasa jika Alex lebih mampu di bandingkan dir