"Jadi, ini yang kamu bilang urusan pekerjaan!" ucap Airin ketus dan penuh emosi. Wanita itu tiba-tiba saja masuk dan membuka pintu ruangan itu dengan sangat kasar.Saat itu di dalam hanya ada Elisa dan Alex yang tengah berbincang, kedua langsung mengalihkan perhatian ke arah Airin yang baru saja tiba dan marah-marah."Rin ...!" Alex mendekat dan mencoba menenangkan istrinya. Namun, belum sempat ia meraih pundak wanita itu, Airin lagi-lagi berteriak seperti orang yang kehilangan kewarasannya."Apa! Kamu ingin membela wanita ini!" tunjuk Airin tepat di depan wajah Elisa."Apa yang kau lakukan? Kumohon ... kendalikan dirimu?" Sejujurnya ia merasa tidak enak dengan Elisa. Beruntung wanita itu memilih diam dan tidak terpancing dengan tuduhan Airin."Rin, aku bisa jelaskan. Ak–u ....?" Elisa juga berusaha berbicara. Tadinya Alex juga tengah menjelaskan pertengkarannya dengan Airin tadi pagi, saat itu juga Elisa berjanji akan menjelaskan nanti jika bertemu dengan sahabatnya itu.Nyatanya bel
Elisa masih terduduk lesu dengan air mata yang terus membanjiri wajah cantiknya Perasaan marah sekaligus hancur karena ucapan Airin masih tergambar jelas di depan matanya. Bagaimana wanita itu memakinya tadi. Namun, ia sekuat mungkin bertahan untuk tidak terpancing. Hingga akhirnya pertahanannya runtuh ketika Airin menyinggung soal Roy yang langsung membuatnya tidak terima.Tak lama, terdengar pintu terbuka dari luar, kedua orang tuanya masuk, dan saat itu pula mereka di buat heran dengan penampilan wajah Elisa yang terlihat sembab. Meski wanita hamil itu berusaha bersikap biasa saja, namun Nyonya Sintia tetap saja merasakan kesedihan yang tengah putrinya rasakan."El, kau tak apa-apa kan? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Roy?" tanya Nyonya Sintia seraya membantu putrinya untuk bangkit. Elisa hanya menurut dan mengikuti sang mami yang membimbingnya untuk duduk lagi di sebelah ranjang yang Roy tempati."Aku tidak apa-apa, Mi. Tadi hanya– ...?" Sejenak ia bingung harus menjelaskan ba
Riska bersorak senang setelah berhasil mengirimkan video itu ke nomor Airin. Di tambah lagi laporan dari orang suruhannya yang mengatakan jika sudah terjadi pertengkaran hebat antara Alex, Airin, dan Elisa di rumah sakit. Ia tidak bisa membayangkan seheboh apa tadi di ruangan itu. Sampai-sampai gelak tawanya memenuhi langit-langit ruangan. Sesaat perempuan itu lupa jika saat ini ia masih berada di kantor. Riska terlalu senang, hingga baru menyadari pintu ruangannya terbuka dengan sangat keras. Brakkk! Papa Bara masuk dengan wajah memerah dan gigi yang gemeletuk menakutkan. Pria paruh baya itu langsung berdiri tegap, lantas melemparkan sebuah kertas putih tepat di hadapan putrinya. "Jelaskan, apa ini!" Riska yang belum mengetahui apa-apa hanya menatap bingung pada kertas putih di depannya. "Ini apa, Pa?" tanya Riska kembali. Di raihnya lipatan kertas yang bertuliskan nama salah satu rumah sakit, selanjutnya ia baru tersadar saat mengingatnya. Jantung Riska berdetak lebih cepat, m
"Kau yakin akan meneruskan misi ini secepatnya?" tanya Arya sekali lagi. Saat ini keduanya berada di ruangan Alex. Dua lelaki itu sudah berunding sejak tadi mengenai rencana yang sempat tertunda karena kecelakaan Roy. Dan Alex memutuskan untuk tetap meneruskannya, meski ia sendiri belum yakin apa sanggup menjalankannya tanpa bantuan lelaki itu. "Baiklah. Tapi, sebaiknya kita lebih hati-hati lagi, Lex. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Roy, menimpa kita juga." Arya terus berusaha mengingatkan. Selain itu ia juga sudah menugaskan beberapa orang untuk berjaga dan mengawasi ruangan Roy dari jarak jauh. "Apa ada laporan yang mencurigakan dari orang suruhan kita?" Sesaat Alex mengehentikan tangannya yang sejak tadi bermain-main di papan ketik itu. Pandangannya serius menatap ke arah lelaki yang ada di sebelahnya. "Belum ada, Tuan. Tapi ....?" Sejenak Alex mencoba mengingatnya lagi. Malam itu ia baru saja tiba di rumah sakit setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor. Alex yang
"Jadi, maksudmu ...? Ya Tuhan .... kenapa tega sekali tidak memberitahuku dari awal!" Airin sampai geram sendiri mengetahui Alex menyembunyikan hal sepenting itu darinya. "Maaf, aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir." Bukannya tersanjung oleh ungkapan suaminya baru saja, Airin malah meleotot dan terlihat sangat marah. "Jadi, kamu mengkhawatirkanku, begitu? Lantas, bagaimana dengan Elisa?" ucapnya dengan wajah yang berapi-api. "Elisa, maksudmu?" Alex masih tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. Kenapa mendadak menyinggung nama Elisa? Apa mungkin ia cemburu dengan wanita itu lagi? "Maksudku, kamu sengaja mengorbankan Elisa!" tanya Airin dengan wajah yang sudah di liputi emosi. Sungguh ia tidak akan terima jika Elisa di perlakukan seperti itu. "Bukan begitu maksudku." Alex lebih mendekat lagi. Mensejajari istrinya yang tengah duduk di atas ranjang, "Roy memang membatuku, tapi atas permintaan dari Tuan Arya." Airin merasa sedikit lega mendengarnya. Namun saat ia mengingat kesala
Setelah meluruskan kesalahpahaman yang selama ini terjadi, akhirnya Airin bisa bernapas lega karena Elisa sudah benar-benar memaafkannya seperti perkataan Alex waktu itu. Entah apa yang membuat Elisa sampai berubah sedratis itu, yang pasti Elisa sekarang terlihat lebih dewasa dan mandiri. Berbeda sekali dengan sifatnya dahulu yang terkesan manja, menyebalkan, dan bertindak sesuka hati. Airin sampai melongo di buatnya, padahal ia sudah khawatir jika wanita itu akan marah dan membalasnya tak kalah sengit, nyatanya Elisa hanya tersenyum dan langsung memaafkannya dengan mudah. "Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kau meminta maaf." Ucapan Elisa terdengar tulus dan tanpa paksaan sama sekali. Airin yang semula ragu akhirya langsung memeluk tubuh sahabatnya itu dengan perasaan lega. "Sekali lagi maafkan aku, El. Aku bodoh karena lebih mempercayai orang lain ketimbang sahabatku sendiri." Mereka berbaikan tepat di ruangan itu juga. Tempat di mana terjadi keributan beberapa hari yang lalu
Nyonya Sintia terjaga saat tiba-tiba ia seperti mendengar suara orang yang tengah memanggil. Ia coba mendengar lebih jelas lagi di mana asal suara itu, lantas ia begitu terkejut karena yang memanggilnya sedari tadi adalah putrinya sendiri. "Mi, sakit ...!" Elisa merintih, meraskan kontraksi itu yang tiba-tiba datang lagi. Nyonya Sintia segera bangkit dan menghampiri Elisa yang sudah terlihat sangat kesakitan. "Maafkan Mami, El." Nyonya Sintia ingin segera menekan tombol yang ada di samping ranjang untuk memberikan informasi pada dokter agar segera datang. Namun, belum sempat tangannya sampai ke tombol tersebut, Elisa sudah lebih dulu mencegahnya. "Tidak perlu memanggil Dokter, Mi. El baik-baik saja," cegah Elisa. Meski berulangkali ia meringis menahannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Kau kesakitan, El! Mami tidak tega melihatmu seperti ini." Perempuan paruh baya itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran putrinya, kenapa Elisa malah menolak saat ia akan memanggil dokter? "Aku hanya t
Setelah melalui drama panjang lebih dahulu, akhirnya Airin dan Alex tiba di rumah sakit tepat pukul tiga malam. Mereka bergegas melalui lorong-lorong yang sepi untuk menuju ke ruang rawat Roy. Tiba di sana Airin terlihat terkejut mendapati Elisa masih duduk di samping ranjang suaminya. Ia pikir wanita itu sudah di berada di ruang persalinan dan menunggu detik-detik anak keduanya akan lahir ke dunia. Tapi ternyata wanita itu masih bersikeras untuk tetap tinggal dan tidak beranjak sedikitpun dari sisi sang suami. "El ...?" Airin mendekati Elisa yang terkadang meringis menahan sakit. Wanita itu sudah terlihat pucat dan keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya. "Apa tidak sebaiknya kamu istirahat di ruang bersalin?" Jika sejak tadi Mami Sintia yang mencoba membujuknya, kali ini pertanyaan itu berasal dari sahabatnya yang baru saja datang. Elisa menggeleng lemah, dengan sesekali menggigit bibir bawahnya sendiri untuk mengurangi rasa sakit itu. "Aku nggak apa-apa, Rin. Aku nggak mun
Setelah pertemuannya Riska dengan Erick di depan kampus beberapa hari yang lalu. Riska memutuskan untuk menceritakan siapa sebenarnya pria itu pada putrinya. Dan sejak itu pula Erick berusaha mendekati Nisya dengan perlahan. "Jadi, Om itu papaku, Ma?" tanya Nisya sekali lagi. Yang langsung di jawab anggukan kepala oleh sang mama. "Ya. Dia papamu, Nak." Dan hari-hari mereka mulai berwarna. Apalagi saat Erick terang-terangan melamar Riska di depan semua temannya. Meski terkesan buru-buru, Riska akhirya pun menerima lamaran itu demi putri tercintanya. "Menikahlah denganku, Riska. Aku janji akan membahagiakanmu dan juga Nisya." Seluruh mahasiswa yang menyaksikan acara lamaran itu langsung bersorak, meminta pada Riska untuk segera memberikan jawaban. Tidak butuh waktu lama, acara pernikahan Riska dan Erick segera di laksanakan. Pernikahan sederhana itu di gelar di rumah kediaman Riska dan hanya di hadiri oleh kerabat serta teman dekatnya saja. Mereka melanjutkan hidup dengan bahagia.
"Airinnn ...!!" teriak Elisa kegirangan. Ia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu ... Bughhh!! Satu pukulan mendarat lagi di perut pria asing yang tadi mencekal sebelah tangannya. Kini Elisa tidak merasa takut lagi, karena ada Airin yang siap membantunya. "Kamu tidak apa-apa 'kan, El?" Meski khawatir, Airin tetap waspada. Tidak ingin ceroboh sampai memberi kesempatan pada penjahat itu lagi. "Aku baik-baik saja, Rin." Elisa berlari ke arah ketiga bocah tadi. Memeriksa satu-persatu dari mereka. Elisa lega karena semuanya dalam keadaan baik-baik saja. "Kalian tunggu Mama di sini. Jangan ke mana-mana!" Lalu Elisa berdiri tepat di depan ketiga bocah itu untuk melindungi dari pria jahat yang masih meringis kesakitan. "Sialan!!" Pria itu mengumpat lagi. Bahkan terdengar juga sumpah serapahnya, memaki pada dua ibu muda yang sudah berhasil mengalahkannya. Tidak ingin memberikan kesempatan lagi, Airin dan Elisa segera memberikan pukulan secara bersamaan. Bughhh, bug
Drama panjang mengenai hilangnya Haidar dan Rey yang terjadi di rumah milik Alex berlalu sudah. Kini dua minggu setelah kejadian itu Airin dan Elisa mengajak anak-anaknya bermain di sebuah taman permainan khusus anak. Dan tentu saja di temani oleh kedua suami dari mereka.Anak-anak mulai bermain, saling berkejaran dan menikmati suasana sore yang semakin ramai. Di sana-sini juga terlihat anak-anak lain tengah bermain dengan di awasi oleh para orang tuanya masing-masing.Suasana taman terasa ramai sekali, apalagi saat ini tengah libur akhir pekan. Sementara para ibu tengah mengawasi para anak main, Alex dan Roy memilih menyingkir mencari tempat untuk berbincang. "Kak Rey, ayo main!" ajak Azki. Gadis kecil itu mulai menyeret tangan Rey untuk mengikutinya. Padahal sejak tadi Lexa juga sudah ada di sebelahnya memainkan boneka yang sengaja mereka bawa dari rumah."Kakak di sini aja ya? Kakak nggak suka main boneka." Rey ogah-ogahan mengikuti tangan gadis itu yanga terus saja menggandengnya
"Kalian ...?" Kay menatap bingung pada dua pria kecil di depannya. Haidar dan Rey kini tengah duduk bersebelahan di dalam gudang yang terletak di samping taman. "Kalian ngapain di sini?"Dua pria kecil tadi menoleh serempak. Melihat gadis kecil berkuncir kuda dengan tatapannya yang berbeda."Kak Kay ...!" Haidar langsung bangkit dan berusaha menyembunyikan tubuh sang kakak di belakangnya. "Kenapa Kakak ke sini?" ucapnya lagi."Kalian ngapain ada di sini?" Kay mengulang pertanyaan itu lagi.Sedangkan di depan sana Rey menatap gadis itu dengan kedua mata yang berbinar."Berhenti menatap Kak Kay seperti itu!" Haidar memasang badan tepat di depan Kay. Menghalangi pandangan pria di depan sana agar tidak terus menerus menatap ke arah sang kakak."Kamu ngapain sih, Dek?" Kay bingung sendiri melihat aksi konyol adiknya. "Ayo, Mama sama Ayah khawatir." Menarik tubuh Haidar agar mengikutinya."Awas kalau kamu berani menatap Kak Kay seperti itu lagi!" ancamnya sebelum melangkah keluar dari dalam
Beberapa tahun kemudian."Kakak, gendong ..." rengek Azki manja pada pria kecil berusia sepuluh tahun. Pria kecil itu hanya menurut, berjongkok dan memasang punggungnya di depan gadis kecil tadi."Yeyyy, asikkk!" Azki tersenyum senang mendapati pria itu tidak menolaknya lagi. Padahal ia tidak tahu saja sebenarnya pria itu tengah memakinya dengan kesal.Azkia Putri Aditama.Nama yang di berikan Airin dan Alex untuk putri pertama mereka. Gadis kecil berkulit putih, serta berambut lurus itu saat ini sudah berusia lima tahun. Azki tumbuh menjadi sosok yang ceria dan juga pintar.Saat ini mereka tengah kedatangan tamu dari Keluarga Roy dan juga Arya. Semua berkumpul di taman belakang menyaksikan anak-anak mereka bermain. Saling berkejaran, ada juga yang terlihat saling berbincang."Lihat ekspresi wajah putramu, El, dia lucu sekali, 'kan?" Airin menunjuk ke arah Rey yang saat ini tengah menggendong Azkia. Gadis kecil itu tampak tertawa senang, sedangkan Rey terus saja menekuk wajahnya masam
"Pa, bagaimana dengan nasibku?" Saat ini perempuan itu tengah menemui papanya di sel tahanan. Tuan Bara harus menjalani hukuman dua tahun lebih lama di banding dengan Sigit Prasetya karena kesalahannya dia anggap lebih fatal. Sedangkan Riska dengan keadaan perutnya yang semakin hari kian membuncit kebingungan harus menyembunyikan kehamilannya dari orang-orang di tempat tinggal barunya nanti."Dari awal Papa sudah bertanya padamu, kan? Siapa Ayah dari bayi yang kau kandungan? Tapi kau malah diam dan seolah melindunginya. " Papa Bara kesal dengan Riska yang sangat keras kepala. Coba saja dulu ia mau jujur, pasti keadaannya tidak akan seperti ini."Maaf, Pa. Maafkan Riska." Bulir bening jatuh begitu saja melewati kedu pipi perempuan itu. Mama Nathali hanya mampu menenangkan dan mengusap lembut punggung putri satu-satunya itu."Sudahlah, Ris. Sebaiknya kita segera pulang." Ibu dan anak itu melangkah gontai meninggalkan sel tahanan suaminya menuju tempat tinggal baru yang mereka sewa denga
Setelah di buat bingung dengan tingkah Airin yang tiba-tiba meminta berhenti secara mendadak, saat ini Alex juga di buat terkesiap dengan kedua bola mata yang membulat serta mulut yang terbuka lebar tatkala melihat tingkah istrinya yang tak masuk akal.Bagaimana mungkin orang yang tadinya terlihat kesakitan sekali sekarang tengah santai dan menyantap semangkuk bakso dengan sangat lahap? Di tambah lagi setelah adegan itu selesai, Alex nyaris jatuh, bangun, serta guling-guling sendiri ketika mendengar si tukang bakso yang bersuara dan meminta bayaran untuk harga bakso yang baru saja istrinya makan."Satu juta lima ratus ribu?! Jangan gila, Pak! Istri saya hanya memesan semangkuk bakso. Kenapa mahal sekali?" Rasanya Alex ingin menghancurkan gerobak sekaligus pemiliknya. Tapi melihat tatapan heran orang-orang di sekitar, Alex terpaksa duduk kembali di bangku plastik yang di sediakan pedagang itu."Memang yang di makan istri Anda hanya semangkuk, Tuan. Tapi, dia tadi bilang akan memborong
Beberapa Bulan Kemudian ...Kehamilan Airin sudah memasuki trimester terakhir. Wanita itu sudah terlihat sekali kesulitan untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Beruntung Alex selalu menyempatkan waktunya untuk menemani istrinya kemana pun pergi.Seperti pagi ini, mendadak Airin ingin di temani jalan-jalan. Padahal Alex sudah rapi dengan setelan jas dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Terpaksa Alex harus menghubungi sekretarisnya dan meminta jadwal ulang untuk rapat yang akan di adakan dua jam lagi.[Tapi, Tuan ....?] Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana. Alex paham jika sang sekretaris pasti kebingungan mencari alasan di batalkannya rapat itu.[Katakan saja pada mereka jika istriku sedang ingin di temani di rumah] Alasan yang logis memang. Tapi, apa mungkin mereka akan percaya? Atau malah akan di jadikan bahan lelucon nanti? Entahlah.[Kau mendengarku?] Alex terpaksa bersuara lagi tatkala tidak mendapatkan sahutan dari seberang sana.[I–iya, Tuan. Saya akan coba menjelask
Beberapa bulan setelah semua beres, keadaan akhirya kembali normal seperti biasa. Alex telah menyeret satu persatu orang yang sudah terlibat dalam hancurnya perusahaan papanya. Sigit Prasetya dan Bara adalah dua orang utama yang menerima hukuman dari Alex. Tentu dengan masa hukuman yang berbeda tergantung seberapa besar keterlibatan mereka dalam permasalahan itu.Pengalihan perusahaan milik Papa Wahyu ke tangannya kembali juga sudah di laksanakan dengan mengundang perwakilan dari beberapa perusahaan saja, termasuk dari Keluarga Pratama dan Andreas yang menjadi pendukung utama.Alex sengaja mengadakan acara itu di rumah karena tidak terlalu banyak yang mereka undang. Hanya orang-orang terdekat serta beberapa kolega dari Papa Wahyu dulu yang masih menjalin pertemanan baik dengan mereka.Jika dulu Papa Wahyu yang memimpin perusahaan itu sendiri, tapi sekarang ia sudah menyerahkan tanggung jawab penuh perusahaan pada Alex. Pria paruh baya itu merasa jika Alex lebih mampu di bandingkan dir