Prasetyo membuka matanya perlahan, cahaya terang yang masuk ke ruangan rumah sakit membuatnya sedikit terkejut. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas, namun ada satu hal yang jelas—di hadapannya kini ada dua sosok yang memandangnya dengan intens.Yang pertama adalah seorang wanita yang ia kenal sebagai ibunya, Kareena, yang tampak cemas namun penuh perhatian. Di sampingnya, seorang wanita asing—bermuka tenang, dengan senyum yang agak dipaksakan, dan aura yang tidak bisa dijelaskan—berdiri dengan penuh percaya diri."Prasetyo, ini Samantha, istrimu," kata Kareena dengan suara lembut namun penuh makna. "Dia sedang mengandung anakmu."Samantha melangkah lebih dekat, menatap Prasetyo dengan senyum ramah, mencoba terlihat seolah-olah mereka sudah saling kenal lama. Namun, meski wajahnya terlihat ramah, ada sesuatu dalam matanya yang terasa asing bagi Prasetyo.Prasetyo mengerutkan kening, matanya bingung memandang wanita itu. Nama "Samantha" terdengar familiar di telinganya, tet
Malam itu, di kamar rumah sakit yang kini senyap, Prasetyo berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit. Samar-samar, ia mendengar suara detak mesin medis di sebelah tempat tidurnya. Kepalanya berdenyut pelan, bukan hanya karena rasa sakit akibat luka fisiknya, tetapi juga karena kekacauan pikirannya.Di sudut ruangan, Kareena dan Samantha berbicara pelan, tetapi tetap dalam jangkauan pendengaran Prasetyo. Meskipun ia berpura-pura tidak peduli, telinganya mendengar setiap kata.“Kita tidak punya banyak waktu,” bisik Samantha dengan nada tegas. “Dia harus percaya bahwa aku adalah istrinya sebelum dia mulai mempertanyakan segalanya lebih jauh.”“Aku mengerti,” jawab Kareena, suaranya terdengar ragu. “Tapi kamu harus bersabar. Prasetyo selalu keras kepala. Jika kamu terlalu memaksanya, dia akan semakin curiga.”Prasetyo menutup matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Namun, kata-kata mereka menggema di kepalanya. Mengapa mereka begitu ngotot membuktikan sesuatu yang tidak terasa
Malam itu, angin dingin menyusup ke lorong rumah sakit yang sunyi. Nathalia berhasil menyelinap masuk ke kamar Prasetyo, tapi perjuangan untuk menemui suaminya tidaklah mudah. Sebelumnya, Kareena, sang ibu mertua yang kini berubah menjadi duri dalam daging, selalu menemukan cara untuk menggagalkan setiap langkah Nathalia.Sejak awal Prasetyo dirawat, Nathalia tahu ia harus berjuang keras. Setiap kali ia datang ke rumah sakit, Kareena selalu hadir lebih dulu, seperti penjaga gerbang yang mustahil dilewati.“Kamu tidak berhak menemui Prasetyo,” kata Kareena suatu siang dengan nada dingin, saat Nathalia memohon untuk diizinkan bertemu suaminya.“Ibu, saya istrinya! Tolong, izinkan saya menemui dia. Dia butuh saya sekarang!” Nathalia menahan air matanya, mencoba menunjukkan keberaniannya.Namun Kareena hanya tersenyum tipis, tatapan matanya dingin. “Istri? Sejak kapan kamu benar-benar layak menjadi istrinya? Lihat dirimu sekarang—hanya penghalang untuk masa depan Pras. Samantha adalah pil
Prasetyo membuka matanya di pagi yang baru, tapi seperti hari-hari sebelumnya, ada kekosongan yang menyelimuti pikirannya. Suara detak jam dinding dan langkah kaki para perawat di lorong rumah sakit terasa asing dan jauh. Di sisinya, Samantha sedang sibuk menyiapkan sarapan. Dengan senyuman yang selalu ia tunjukkan, wanita itu tampak ingin memastikan Prasetyo merasa nyaman.Namun kali ini, Prasetyo tidak lagi pasrah menerima semua yang dikatakan Samantha atau Kareena. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya merasa harus lebih waspada. Ia memutuskan untuk tidak hanya mendengar, tapi juga mengamati setiap hal yang terjadi di sekitarnya."Sayang, aku bawakan bubur kesukaanmu," ujar Samantha ceria, menaruh mangkuk di meja kecil di samping tempat tidur. "Aku tahu kamu pasti butuh makanan yang lembut dulu."Prasetyo mengangguk, mencoba tersenyum, meski dalam hatinya ia terus mempertanyakan semua ini. "Terima kasih," jawabnya pendek, lalu mulai mengaduk bubur tanpa benar-benar b
Prasetyo mulai menunjukkan sikap yang lebih kooperatif terhadap Samantha dan Kareena. Ia tidak lagi melontarkan pertanyaan-pertanyaan mencurigakan atau menunjukkan tanda-tanda keraguan yang mencolok. Samantha merasa lega, sementara Kareena bahkan mulai yakin bahwa rencana mereka telah membuahkan hasil. Bagi mereka, Prasetyo sudah mulai menerima kenyataan—atau setidaknya kenyataan yang mereka ciptakan.Namun, di balik sikap kooperatifnya, Prasetyo menyembunyikan rencana sendiri. Ia sadar, untuk mengetahui kebenaran, ia harus bermain dengan hati-hati. Jika terus melawan secara terang-terangan, ia hanya akan membuat Kareena dan Samantha semakin waspada.Beberapa hari menjelang kepulangan Prasetyo dari rumah sakit, Kareena mulai sibuk dengan rencana besar berikutnya. Di ruang kerja rumah mereka, ia berbicara dengan suaminya, Rahardian, sambil membolak-balik dokumen properti.“Kita tidak bisa membiarkan Prasetyo tinggal di rumah lamanya,” kata Kareena, suaranya tegas. “Ada terlalu banyak r
Hari itu, suasana rumah baru Prasetyo terasa sedikit berbeda. Prasetyo duduk di ruang tamu, mencoba menikmati teh hangat yang disiapkan Samantha, tetapi pikirannya melayang-layang, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan yang terasa seperti puzzle tanpa gambar.Ketika bel rumah berbunyi, Samantha bergegas membuka pintu. Di sana berdiri Akbar, kakak sepupu Samantha. Wajah pria itu tegas, tetapi matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam—seolah-olah ia sudah terlalu sering menghadapi konflik yang tidak ada akhirnya."Akbar?" tanya Samantha dengan nada tajam, jelas terkejut melihat kedatangannya. "Kenapa kamu di sini?"“Aku datang untuk melihat Prasetyo,” jawab Akbar tenang, meski suaranya mengandung ketegasan yang sulit diabaikan. Ia melirik ke dalam rumah, mencari keberadaan Prasetyo. "Aku dengar dia sudah pulang dari rumah sakit."Samantha memblokir pintu dengan tubuhnya, memasang ekspresi dingin. “Dia sedang istirahat. Kamu tidak perlu masuk. Kalau ada yang ingin kamu bicara
Hari itu, Prasetyo sedang berbaring di tempat tidur di kamar barunya. Tubuhnya masih lemah, dan ia belum diizinkan banyak bergerak. Matahari sore masuk melalui jendela, menyinari kamar yang tampak terlalu sempurna untuk seseorang yang tidak punya kenangan.Pintu kamar terbuka pelan, dan Akbar melangkah masuk. Ia membawa aura tenang, berbeda dengan sikap Samantha yang selalu tampak tergesa-gesa. Akbar berjalan mendekat tanpa suara, membiarkan kehadirannya menyatu dengan keheningan ruangan.Prasetyo memiringkan kepalanya, menatap pria yang baru saja masuk. Wajahnya tampak bingung, tapi tidak sepenuhnya menolak. "Kamu siapa?" tanyanya dengan nada lemah.Akbar tersenyum kecil, duduk di kursi dekat tempat tidur. "Aku Akbar," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Kita pernah dekat dulu. Aku sepupunya Samantha, tapi aku juga temanmu. Aku tahu ini pasti membingungkan untukmu."Prasetyo menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari serpihan kenangan yang bisa mencocokkan nama dan wajah pria ini. Namu
Nathalia berdiri di depan pintu rumahnya dengan napas yang berat. Matanya yang sembab menatap pintu kayu yang selama ini menjadi saksi kebersamaan mereka, dirinya dan Prasetyo. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang segera berakhir. Namun saat pintu itu terbuka, yang ia temukan hanyalah kehampaan.Ruang tamu yang biasa dipenuhi dengan tawa dan kebersamaan kini kosong. Perabotan telah lenyap, menyisakan jejak debu di lantai yang dingin. Dinding yang dulu dipenuhi foto-foto kebahagiaan mereka kini telanjang, seolah masa lalu telah dilucuti dari tempat itu.“Hans!” Nathalia memanggil dengan nada cemas, suaranya menggema di ruangan yang kosong. Ia bergegas ke arah dapur, berharap menemui seseorang yang bisa memberikan jawaban.Hans, lelaki yang selama ini dipercaya keluarga Raharjo untuk merawat rumah, muncul dari arah belakang. Wajahnya tampak lelah, seperti seseorang yang menyimpan banyak hal tapi tidak berdaya untuk mengungkapkannya.“N
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b
Angin malam semakin menusuk saat Prasetyo dan Rendra menyusuri trotoar menuju lokasi yang disebutkan Dira. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, serta suara gemerisik daun yang tertiup angin. Keduanya berjalan dengan waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti."Tempat biasa itu di mana?" tanya Rendra, suaranya sedikit bergetar."Gudang tua di belakang stasiun. Dira sering pakai tempat itu untuk urusan yang nggak mau dilihat banyak orang," jawab Prasetyo dengan nada rendah."Apa kita nggak masuk perangkap?"Prasetyo terdiam sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Dira bukan tipe yang berkhianat. Kalau dia setuju untuk ketemu, berarti dia benar-benar mau membantu."Mereka tiba di sebuah gang sempit yang berujung pada bangunan tua dengan dinding kusam. Cahaya lampu neon di atas pintu berkedip lemah. Prasetyo mengetuk pintu besi tiga kali, lalu hening. Tak lama, suara gerendel terdengar, dan pintu terbuka sedikit."Masuk cepat," suara pe
Hembusan angin malam terasa dingin saat Prasetyo dan Rendra menyusuri gang sempit, napas mereka masih tersengal setelah pelarian mendebarkan dari gudang. Lampu jalan yang temaram hanya memberikan sedikit penerangan, bayangan mereka memanjang di aspal yang basah."Kita harus cari tempat berlindung," ujar Rendra, suaranya rendah namun tegas.Prasetyo mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa pria berkacamata hitam tidak akan menyerah begitu saja. Flash drive yang mereka bawa terlalu berharga, berisi sesuatu yang jelas ingin disembunyikan oleh pihak yang mengejar mereka.Mereka terus berlari, menyelinap di antara gang-gang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah warung kopi 24 jam yang tampak sepi. Prasetyo mendorong pintu kaca, dan lonceng kecil berdenting pelan. Seorang pria paruh baya di balik meja kasir melirik mereka sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana mereka bisa mengawasi pintu masuk dan keluar."Kita perlu tahu apa isi f
SUV hitam itu berhenti tanpa suara, tapi Prasetyo dan Rendra tahu bahwa ancaman yang ada di dalamnya lebih berisik daripada yang terlihat. Pintu depan mobil terbuka, dan seorang pria berkacamata hitam melangkah keluar dengan tenang. Dari cara berjalannya, ia jelas bukan orang biasa."Mereka tidak akan menunggu lama sebelum masuk," bisik Rendra sambil merapat ke dinding.Prasetyo mengamati sekeliling, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Gudang ini hanya memiliki satu pintu utama dan beberapa jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dilalui dengan cepat. Jika mereka bertahan di sini, pertarungan tak terhindarkan.Suara pintu mobil lain terbuka. Dua pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa sesuatu di balik jaket mereka. Prasetyo dan Rendra tidak perlu menunggu untuk tahu bahwa itu bukan sesuatu yang ramah."Kita harus ambil inisiatif duluan," bisik Prasetyo.Rendra mengangguk. "Aku akan ke sisi kiri, buat pengalihan. Begitu mereka masuk, kita buat mereka sibuk."Langkah kaki s