Kareena menatap Nathalia dengan tatapan penuh penghinaan, bibirnya melengkung dalam senyum sinis yang tidak menyembunyikan rasa tidak sukanya. Di balik wajah angkuhnya, tersirat jelas keengganan untuk menerima Nathalia sebagai bagian dari keluarganya. Ruang tamu yang luas terasa semakin sempit oleh ketegangan yang kian memuncak.“Nathalia,” kata Kareena dengan nada meremehkan, “kau sungguh percaya bahwa kau pantas berdiri di sini sebagai istri Prasetyo? Kau pikir sedikit waktu yang kau habiskan bersamanya cukup untuk membuatmu bagian dari keluarga ini? Kau tak lebih dari seorang penyusup.”Nathalia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya meski hatinya bergolak. Ia tahu, sejak awal pernikahannya dengan Prasetyo, Kareena tidak pernah menyetujuinya. Tapi kali ini, kata-kata ibunya terlalu menusuk, menyayat setiap bagian dari dirinya. “Bu, saya mencintai Prasetyo dan saya berusaha yang terbaik untuk menjadi istri yang baik. Apapun yang Anda pikirkan tentang saya, saya tetap istri sahn
Samantha duduk di sudut kamarnya, tangannya mengepal erat ponsel yang ia genggam. Amarah dan frustrasi bercampur aduk dalam dirinya. Nathalia dan Prasetyo, bukannya semakin menjauh, malah terlihat lebih dekat dari sebelumnya. Dengan bibir mengerucut penuh kebencian, ia mengetik pesan singkat kepada Arman.Samantha: Kita perlu bicara sekarang. Hubungi aku segera.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Nama Arman muncul di layar. Samantha langsung menjawab panggilan itu dengan nada tajam. "Arman, apa yang sedang kau lakukan? Bukannya Nathalia menjauh, dia malah semakin dekat dengan Prasetyo. Aku tidak mengerti, kau bilang rencanamu akan membuatnya berpikir ulang tentang suaminya!"Di ujung telepon, Arman terdengar tenang, namun ada nada serius dalam suaranya. "Tenang, Samantha. Rencana ini butuh waktu. Aku sudah memulai langkah-langkahnya, tapi kita tidak bisa terburu-buru. Nathalia bukan wanita yang mudah terpengaruh begitu saja."Samantha menggeram kesal. "Kau bilang kau akan mendekat
Nathalia duduk termenung di sudut kamar, pesan suara yang baru saja ia dengar masih terngiang-ngiang di telinganya. Rasa terkejut dan sakit hati bercampur aduk dalam dirinya. Namun, ia tahu bahwa panik tidak akan membawanya ke mana-mana. Ia perlu tetap tenang dan mencari tahu siapa yang mengirim pesan suara itu. Prasetyo mungkin telah merencanakan sesuatu yang keji, tetapi Nathalia tidak akan menyerah begitu saja tanpa perlawanan.Dengan napas yang teratur, Nathalia mengambil ponselnya dan mulai mencari-cari cara untuk melacak nomor asing tersebut. Setelah beberapa saat, ia menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan seseorang yang lebih berpengalaman. Nama Arman muncul di benaknya. Arman adalah seseorang yang selalu dapat diandalkan dalam situasi sulit, dan Nathalia merasa bahwa ia bisa mempercayainya untuk membantu menyelesaikan misteri ini.Nathalia mengetik pesan cepat ke Arman: "Arman, aku butuh bantuanmu. Ada sesuatu yang sangat penting. Bisakah kita bertemu secepatnya?"Tak lama kem
Chapter SelanjutnyaMalam itu, Nathalia mencoba tidur, tetapi pikirannya tidak bisa tenang. Pesan suara yang diterimanya terus berputar di kepalanya, mengguncang kepercayaannya terhadap Prasetyo. Suara itu terdengar sangat meyakinkan, membuatnya percaya bahwa Prasetyo telah menyembunyikan sesuatu. Meskipun hatinya enggan, logikanya terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pagi berikutnya, Nathalia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Ia tidak bisa membiarkan ketidakpastian ini menguasai pikirannya. Setelah Prasetyo berangkat kerja, Nathalia mengambil jaketnya dan keluar dari rumah. Ia tahu ini berisiko, tetapi ia merasa perlu untuk mencari tahu sendiri. Dengan langkah mantap, ia menuju ke kantor Prasetyo.Saat tiba di gedung kantor, Nathalia merasa gugup. Tangannya sedikit gemetar saat ia menekan tombol lift ke lantai di mana Prasetyo bekerja. Ia tidak memiliki rencana yang jelas, hanya tekad kuat untuk menemukan jawaban. Ketika pintu lift terbuka, Nathalia melangk
Chapter SelanjutnyaPrasetyo menyusuri koridor kantor dengan langkah tergesa. Pikiran tentang Nathalia yang tidak menjawab telepon terus mengganggu pikirannya. Ia merasa ada yang tidak beres. Ponselnya kembali bergetar di tangan, tetapi saat melihat layar, nama Nathalia masih belum muncul. Dengan rasa kecewa, ia menekan nomor Nathalia lagi, berharap kali ini ia akan mendapatkan jawaban.Namun sebelum panggilan tersambung, sebuah suara memanggilnya. "Pras, tunggu sebentar!" Akbar berdiri di dekat pintu ruangannya, wajahnya serius dan penuh kekhawatiran.Prasetyo menghentikan langkahnya dan menoleh. "Ada apa, Akbar?" tanyanya, berusaha menghapus kecemasan dari suaranya.Akbar melambaikan tangan, mengisyaratkan agar mereka berbicara di ruang kerjanya. "Masuklah. Ada sesuatu yang penting yang perlu kita bicarakan. Ini tentang Arman dan Samantha."Nama itu—Samantha—membuat Prasetyo mengernyit. Ia mengikuti Akbar masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di belakang mereka untuk memastikan tida
Arman menatap layar ponselnya dengan senyum yang nyaris tak terlihat. Pesan dari Nathalia, singkat namun penuh makna, berbunyi: "Kita perlu bicara. Bisa bertemu malam ini?"Ia tahu bahwa Nathalia sudah mencium kebusukannya. Rencana yang selama ini ia susun perlahan mulai berantakan, dan ia harus bertindak cepat. Ia mengetik balasan dengan santai, meskipun hatinya berdegup kencang dengan rencana baru yang lebih berbahaya. "Tentu, Nathalia. Katakan saja di mana dan kapan."Pertemuan itu diatur di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota. Nathalia memilih tempat itu karena berharap bisa berbicara dengan Arman tanpa gangguan. Namun, yang tidak ia sadari, Arman datang dengan niat berbeda.Nathalia duduk di salah satu sudut kafe, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Kepalanya dipenuhi dengan kecurigaan dan kekhawatiran, tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban. Pintu kafe berderit pelan ketika Arman masuk, matanya langsung mencari sosok Nathal
Prasetyo mondar-mandir di ruang tamu, ponselnya digenggam erat di tangan. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Nathalia, tetapi tidak ada jawaban. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu. Ia merasa ada sesuatu yang sangat salah. Akbar, yang telah berada di sisi Prasetyo sejak ia menyadari Nathalia tidak bisa dihubungi, mencoba menenangkan temannya. "Pras, kita harus tetap tenang. Panik tidak akan membantu Nathalia. Kita harus berpikir jernih dan mencari tahu di mana dia." Prasetyo berhenti sejenak, menatap Akbar dengan mata penuh kegelisahan. "Aku tidak bisa tenang, Akbar. Nathalia tidak seperti ini. Dia selalu memberi tahu aku jika ada sesuatu. Aku... aku takut sesuatu yang buruk telah terjadi." Akbar mengangguk pelan. "Baik, kalau begitu kita mulai dengan mencari tahu siapa orang terakhir yang dia temui. Aku bisa melacak riwayat komunikasinya jika kau memberiku akses ke ponselnya." Tanpa ragu, Prasetyo menyerahkan ponsel Nathalia yang ia temukan di kamar
Di ruangan gelap itu, Nathalia memutar otaknya mencari celah untuk melarikan diri. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia memaksa dirinya tetap tenang. Ia tahu bahwa melawan Arman secara langsung hanya akan memperburuk keadaan. Perlahan, ia memperhatikan sekelilingnya. Cahaya redup dari lampu gantung menyoroti sebuah meja kecil dengan pisau buah di atasnya, tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk.Arman sibuk dengan ponselnya, membelakangi Nathalia. "Kau tahu, Nathalia," katanya sambil mengetik sesuatu, "ini semua salahmu. Jika saja kau tidak ikut campur, aku tidak perlu sejauh ini.""Ikut campur?" Nathalia mendesis, mencoba membuat percakapan berjalan untuk mengalihkan perhatiannya. "Kau menculikku hanya karena aku tidak setuju dengan caramu, Arman. Kau pengecut."Arman tertawa kecil tanpa berbalik. "Kau menyebutku pengecut? Menarik, mengingat posisimu sekarang. Aku hanya melakukan apa yang perlu untuk melindungi diriku sendiri."Sementara itu, Prasetyo dan Akbar akhirnya menemukan p
Prasetyo menarik napas panjang saat ia dan Rendra keluar dari kafe melalui pintu belakang. Jalanan di belakang kafe sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berkelip. Namun, Prasetyo tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan pergi begitu saja."Kita harus cepat," kata Rendra, matanya menyapu sekeliling.Langkah kaki terdengar semakin dekat. Prasetyo menoleh ke belakang dan melihat pria bertubuh besar yang tadi masuk ke kafe kini berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tajam. Dua orang lainnya muncul dari gang sempit di samping kafe, membuat jalan keluar mereka semakin terbatas."Mereka datang lebih cepat dari yang kukira," gumam Prasetyo."Tidak ada waktu untuk ragu," balas Rendra. Ia dengan cekatan meraih sesuatu dari dalam jaketnya—sebuah flash drive kecil. "Ambil ini. Jika terjadi sesuatu padaku, pastikan Samantha dan Nadia mendapatkannya. Mereka tahu harus berbuat apa."Prasetyo mengambil flash drive itu dan memasukkannya ke dalam saku dalam jaketnya
Prasetyo berdiri di tengah ruangan yang perlahan-lahan mulai kosong. Orang-orang masih berbisik tentang apa yang baru saja terjadi, beberapa di antara mereka mencuri pandang ke arahnya dengan berbagai ekspresi—kagum, lega, atau bahkan ketidakpercayaan. Tapi Prasetyo tidak peduli. Pikirannya masih tertuju pada satu hal: ini belum berakhir.Samantha masih berdiri di dekatnya, wajahnya terlihat lebih tenang meski sisa ketegangan belum sepenuhnya hilang. Ia meremas jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. "Pras, kita harus memastikan Arman benar-benar tidak punya jalan untuk lolos lagi. Kita tidak bisa membiarkannya bermain di balik bayang-bayang."Nadia, sang jurnalis investigasi, menyelipkan tablet ke dalam tasnya lalu menatap Prasetyo dengan serius. "Bukti ini cukup untuk menjatuhkannya sekarang, tapi seperti yang kubilang tadi, ini belum selesai. Ada banyak orang di belakang Arman yang mungkin mencoba membersihkan namanya atau bahkan membalas dendam."Prasetyo mengangguk. "
Prasetyo menatap pria berseragam itu dengan tajam, pikirannya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu jika ia mengikuti mereka sekarang, Arman akan semakin unggul. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu melambat dalam ketegangan yang semakin menyesakkan."Tuan, kami harus meminta Anda untuk tidak membuat ini lebih sulit," suara pria itu tegas, namun tetap formal. Tangannya sudah terulur, siap menggiring Prasetyo keluar dari ruangan.Samantha berdiri dengan gemetar, wajahnya penuh ketakutan dan amarah yang bergejolak. "Tidak! Dia tidak bersalah! Semua ini rekayasa! Arman menjebaknya!"Arman mendesah, menggelengkan kepalanya seolah bosan dengan drama yang terjadi. "Samantha, sayangku, terima saja kenyataan. Prasetyo kalah. Kau juga kalah. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti kalian."Namun sebelum pria berseragam itu bisa membawa Prasetyo, sebuah suara lain menggema di ruangan."Tunggu!"Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan jas ab
Ruangan itu masih sunyi. Udara terasa tegang, seakan-akan waktu berhenti setelah semua kebenaran terungkap. Prasetyo menarik napas panjang, matanya menatap Samantha yang kini benar-benar kehilangan kata-kata. Namun, ia tahu, ini belum selesai.Tiba-tiba, suara tepukan tangan menggema di ruangan itu. Semua orang menoleh ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam rapi, ekspresi wajahnya penuh dengan kepuasan. Arman."Luar biasa, Pras," ujarnya dengan nada mengejek. "Aku harus mengakui, kau memang lebih pintar dari yang aku kira. Tapi apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari segalanya?"Prasetyo mengepalkan tangannya. "Arman, ini sudah selesai. Semua bukti ada di sini. Tidak ada lagi kebohongan yang bisa kau sembunyikan."Namun, alih-alih panik, Arman justru tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, matanya menatap Samantha yang kini tampak putus asa."Samantha, sayangku," ucapnya dengan nada merendahkan. "Aku sudah bilang, jangan ter
Ruangan yang awalnya penuh dengan tawa dan kegembiraan kini berubah menjadi panggung pembongkaran. Semua mata tertuju pada Prasetyo, yang berdiri tegak di tengah-tengah ruang, dengan wajah penuh tekad. Di belakangnya, layar televisi lebar yang sudah disiapkan sebelumnya menampilkan serangkaian bukti yang akan mengungkapkan kebohongan besar yang selama ini disembunyikan oleh Samantha dan Kareena.Samantha, yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak panik. Wajahnya memucat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tak menyangka jika Prasetyo benar-benar memiliki bukti yang begitu kuat, bukti yang mampu mengguncang seluruh dunia yang ia bangun dengan kebohongannya. Namun, Samantha masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, ia berusaha mengelak, suaranya bergetar ketika ia membuka mulut."T-tunggu, Prasetyo! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Samantha mencoba menyusun kata-kata, meskipun suaranya terdengar semakin terbata-bata. "Kamu salah paham! Aku… aku tidak tahu apa
Meski ingatannya telah kembali sepenuhnya, ia memilih untuk berpura-pura tidak ingat, bahkan bersikap seolah-olah ia masih kehilangan ingatannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi itu adalah cara terbaik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Samantha dan orang-orang yang telah menipu dan memanipulasinya selama ini. Prasetyo merasa bahwa saat ini ia harus menjadi seorang aktor yang baik, menyembunyikan perasaannya dan berakting sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Samantha dan ibunya, Kareena.Samantha, dengan segala kebohongannya, terus berusaha menambah kepingan puzzle kebohongan yang selama ini mereka bangun. Ia tahu bahwa Prasetyo masih berada di dalam genggamannya, dan ia terus mencoba untuk meyakinkannya bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, bahwa dia adalah wanita yang terbaik untuknya. Sementara itu, Kareena, ibu Prasetyo, tampaknya juga telah membenarkan semua kebohongan itu, memberikan dukungan penuh pada Samantha, seolah-olah semuanya be
Nathalia masih berdiri di depan pintu rumah sewaannya, matanya penuh kebingungan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya ingin percaya, tapi rasa takut dan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya membuatnya ragu. Namun, di tengah ketidakpastian itu, ponsel Nathalia tiba-tiba berbunyi.Dia melihat nama Akbar muncul di layar. Nathalia merasa sedikit cemas, karena dia tahu Akbar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Prasetyo, dan bisa jadi, Akbar tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, Nathalia mengangkat telepon itu."Halo, Akbar," sapanya dengan suara sedikit terengah-engah, masih mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuannya dengan Prasetyo."Nat, kamu baik-baik saja?" suara Akbar terdengar prihatin dari ujung telepon. "Aku dengar Prasetyo datang menemuimu tadi. Apa yang terjadi?"Nathalia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. "Iya, dia datang," jawabnya perlahan. "Tapi... ada banyak hal ya
Setelah beberapa waktu terpisah dan melalui berbagai kebohongan yang menjerat, hatinya kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam. Ia harus menemui Nathalia, harus melihat wajah wanita itu lagi, meskipun ia tahu ia sudah terlambat. Akibat tindakan ibunya, ia dan Nathalia kini terpisah. Tetapi, berkat bantuan Akbar, akhirnya ia berhasil mengetahui keberadaan Nathalia. Tak ada lagi waktu untuk ragu—Prasetyo merasa ia harus melangkah, walaupun ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang penuh emosi dan kerumitan.Saat sampai di depan rumah sewaan Nathalia, perasaan Prasetyo semakin bergejolak. Rumah itu tampak sederhana, jauh berbeda dengan rumah mewah yang dulu mereka impikan bersama. Rumah ini adalah tempat di mana Nathalia harus berjuang sendiri, tanpa kehadirannya. Dalam kondisi seperti ini, Prasetyo merasa dirinya semakin tidak pantas berada di sana.Prasetyo mengatur napasnya, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya, Nathali
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Prasetyo akhirnya keluar dan kembali ke rumah, meskipun ingatannya masih sedikit kabur. Samantha tetap berada di sisinya, menjaga setiap langkahnya. Namun, dalam hati Prasetyo, sebuah niat mulai berkembang—untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia sadar bahwa ingatannya yang hilang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ada di sekitarnya.Suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Prasetyo memutuskan untuk menghubungi Akbar. Ia tidak memberi tahu Samantha sebelumnya, tapi ia tahu bahwa Akbar adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya mengungkap semua yang disembunyikan. Di luar dugaan, Akbar menjawab telepon dengan cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran."Pras? Apa kabar? Kenapa tiba-tiba menghubungi aku?" tanya Akbar dengan nada cemas.Prasetyo menghela napas, menatap langit malam yang gelap di luar jendela. "Ingatan aku su