Bab Selanjutnya: Luka yang Kembali TerbukaNathalia duduk termenung di sudut kamar, memandangi jendela dengan pandangan kosong. Hatinya penuh dengan rasa sakit yang menumpuk. Tindakan Samantha yang semakin merajalela membuat rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan terasa asing dan tidak ramah. Kenangan pahit masa lalu kembali menghantuinya, terutama saat kehamilannya yang penuh tekanan dan berakhir dengan kehilangan.Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan Kareena dengan ekspresi wajah yang dingin dan penuh ketegasan. Prasetyo mengikutinya dengan wajah khawatir, menyadari bahwa perbincangan ini akan berat."Nathalia," Kareena memulai dengan suara yang tenang tapi penuh maksud tersembunyi, "Kita perlu bicara."Nathalia mendongak, melihat mertuanya dengan sorot mata waspada. "Ada apa, Ibu?" tanyanya pelan, meski dalam hatinya sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Kareena duduk di kursi dekat tempat tidur, memandangi Nathalia dengan tatapan tajam. "Aku tahu ada ketegangan
Bab Selanjutnya: Konfrontasi yang Tak TerelakkanPrasetyo berjalan dengan langkah berat menuju kamar tamu tempat Samantha tinggal. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk, tetapi ia tahu satu hal pasti—sudah saatnya ia berbicara dengan Samantha. Ia tidak bisa membiarkan keadaan di rumah terus memburuk dan menghancurkan pernikahannya dengan Nathalia.Ketika Prasetyo mengetuk pintu, Samantha membuka dengan senyuman manis yang selalu ia tunjukkan, meskipun di baliknya tersembunyi niat yang tidak tulus. "Pras, ada apa? Kau terlihat tegang," katanya dengan nada yang terdengar manis namun penuh dengan kepalsuan.Prasetyo masuk dan menutup pintu di belakangnya, berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya serius, tidak ada tanda-tanda kelembutan seperti biasanya. "Kita perlu bicara, Samantha," katanya tanpa basa-basi.Samantha memiringkan kepala, mencoba terlihat tidak mengerti. "Tentu, ada apa?"Prasetyo menatapnya tajam. "Aku tahu apa yang kau lakukan, Samantha. Aku tahu kau terus-mene
Bab Selanjutnya: Percakapan Rahasia yang BerbahayaSamantha menggenggam ponselnya erat-erat, kemarahan membakar setiap inci dari dirinya. Matanya memandang lurus ke depan dengan sorot yang tajam, penuh kebencian yang memuncak. Ia menekan nomor yang telah ia hafal di luar kepala, menunggu sambungan terhubung. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena gugup, tetapi karena amarah yang tertahan.Di seberang sana, Arman menjawab dengan suara yang rendah dan tenang, nyaris seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur siang yang nyaman. "Samantha, ada apa? Kau terdengar... kesal," katanya, seolah menikmati setiap detik dari penderitaan yang Samantha rasakan."Kesal?" Samantha meludah penuh kemarahan. "Prasetyo baru saja datang ke kamarku, menuduhku merusak pernikahannya dengan Nathalia. Dia bahkan berbicara tentang tes DNA, Arman! Seolah-olah aku ini penipu yang hanya berusaha menjeratnya!"Arman terdiam sejenak, dan kemudian tawa kecil terdengar dari seberang telepon. Suara tawanya rend
Akbar duduk di ruang kerjanya, dengan tangan terlipat di depan dada, menatap kosong ke arah berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Pikirannya melayang jauh dari pekerjaan, tenggelam dalam dilema yang tak kunjung usai. Matanya sayu, mencerminkan beban berat yang menghimpit hatinya. Akbar, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang bijak dan selalu mampu menemukan solusi, kini berada di titik terendah dalam hidupnya, tersudut oleh pilihan-pilihan yang sulit. Di satu sisi, ada Prasetyo, sahabatnya sejak masa kuliah. Mereka telah melewati banyak hal bersama—dari masa-masa sulit, kegagalan, hingga kesuksesan. Prasetyo adalah sosok yang Akbar anggap sebagai keluarga, bukan hanya sekadar teman. Persahabatan mereka dibangun di atas kepercayaan dan loyalitas yang tidak tergoyahkan. Namun, kini kepercayaan itu terancam oleh sesuatu yang Akbar tahu tetapi tidak bisa diabaikan. Di sisi lain, ada Samantha, adik sepupu yang selalu ia sayangi. Samantha tumbuh besar di bawah pengawasan Akbar
Malam itu, Akbar berdiri di depan pintu kediaman Raharjo, merasa cemas dan gelisah. Dalam hatinya, ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah. Samantha, adik sepupunya, telah berubah menjadi sosok yang nyaris tak dikenalnya. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu kayu besar itu. Pintu terbuka dengan cepat, memperlihatkan Samantha yang berdiri di ambang pintu, matanya menyipit penuh kecurigaan."Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?" Samantha bertanya dengan nada dingin, suaranya penuh dengan ketidakpedulian.Akbar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Kita perlu bicara, Samantha. Aku khawatir dengan apa yang sedang terjadi antara kamu dan Prasetyo."Samantha mengangkat alis, seolah-olah ucapan Akbar adalah lelucon. "Oh, begitu? Kamu tiba-tiba jadi peduli dengan urusanku?" Ia tertawa sinis dan mempersilakannya masuk. "Silakan, katakan apa yang ingin kamu katakan, Akbar. Aku punya waktu sebentar sebelum aku benar-benar bosan."Mereka duduk di ruang ta
Akbar duduk di dalam mobilnya, pikirannya kacau balau setelah konfrontasi dengan Samantha. Pikirannya terus-menerus berputar mencari solusi, tetapi setiap jalan yang ia pikirkan tampak buntu. Ia merasa semakin terperangkap dalam dilema yang tidak kunjung usai, hingga teleponnya berdering. Nama Arman tertera di layar. Akbar terdiam sejenak sebelum menjawab panggilan itu."Akbar, kita perlu bicara," suara Arman terdengar santai di seberang sana. "Aku pikir kamu punya banyak pertanyaan, dan aku mungkin punya beberapa jawaban."Akbar menggeram pelan, menahan amarah yang tiba-tiba muncul. Arman, pria yang ia curigai selama ini menjadi dalang di balik perubahan Samantha, kini menghubunginya dengan santai, seolah-olah tidak ada masalah. "Di mana kita bisa bertemu?" Akbar bertanya dengan nada tegas."Tempat biasa, kafe di sudut jalan. Lima belas menit lagi," jawab Arman dengan tenang sebelum menutup telepon.Akbar mengepalkan tangannya di kemudi, menahan dorongan untuk segera menuju tempat it
Chapter 4: Percakapan BerbahayaArman duduk di balkon apartemennya yang mewah, memandang kota yang gemerlap di bawah langit malam. Angin malam berhembus lembut, tetapi tidak cukup kuat untuk mengusir aroma tajam dari rokok yang ia hisap perlahan. Di tangannya, segelas anggur merah berkilau dalam cahaya bulan, memberikan sentuhan mewah pada malam yang sunyi. Dia menyesap anggurnya dengan tenang, matanya yang gelap memancarkan kilatan kesombongan dan kelicikan.Dengan satu tarikan napas panjang, Arman mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Samantha dengan jemarinya yang lentur namun tegas. Ketika nada sambung terdengar, sebuah senyum licik menghiasi wajahnya. Di balik segala ketenangannya, ada seorang pria yang terbiasa mengendalikan segala situasi dan memanipulasi orang-orang di sekitarnya."Halo," suara Samantha terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh kewaspadaan."Samantha," sapa Arman dengan suara yang lembut tetapi sarat dengan dominasi terselubung. "Aku baru saja bertemu de
Prasetyo melangkah turun dengan langkah perlahan, berharap bisa menikmati pagi yang damai di rumahnya. Namun, harapannya pupus begitu suara tajam Samantha menyambutnya. Dari lantai atas, ia bisa mendengar kemarahan Samantha yang meledak-ledak, menghardik seorang pelayan dengan kata-kata kasar. Prasetyo menghela napas panjang, menyadari bahwa suasana di rumahnya kembali memanas."Aku sudah bilang, jangan pernah menyentuh barang-barangku tanpa izin! Apa kau tuli?!" Samantha membentak pelayan itu, matanya memancarkan kilatan amarah.Pelayan muda itu berdiri dengan kepala tertunduk, tubuhnya sedikit gemetar. "Maaf, Nona Samantha. Saya tidak sengaja."Nathalia yang berada di dekat situ, mencoba meredakan situasi. "Samantha, sudah cukup. Dia tidak sengaja. Tidak perlu memperbesar masalah ini."Samantha berbalik dengan cepat, tatapannya berubah tajam ke arah Nathalia. "Kau pikir ini urusanmu? Jangan ikut campur, Nathalia!"Nathalia terkejut sejenak, tetapi tidak mundur. "Samantha, aku hanya
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b
Angin malam semakin menusuk saat Prasetyo dan Rendra menyusuri trotoar menuju lokasi yang disebutkan Dira. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, serta suara gemerisik daun yang tertiup angin. Keduanya berjalan dengan waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti."Tempat biasa itu di mana?" tanya Rendra, suaranya sedikit bergetar."Gudang tua di belakang stasiun. Dira sering pakai tempat itu untuk urusan yang nggak mau dilihat banyak orang," jawab Prasetyo dengan nada rendah."Apa kita nggak masuk perangkap?"Prasetyo terdiam sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Dira bukan tipe yang berkhianat. Kalau dia setuju untuk ketemu, berarti dia benar-benar mau membantu."Mereka tiba di sebuah gang sempit yang berujung pada bangunan tua dengan dinding kusam. Cahaya lampu neon di atas pintu berkedip lemah. Prasetyo mengetuk pintu besi tiga kali, lalu hening. Tak lama, suara gerendel terdengar, dan pintu terbuka sedikit."Masuk cepat," suara pe
Hembusan angin malam terasa dingin saat Prasetyo dan Rendra menyusuri gang sempit, napas mereka masih tersengal setelah pelarian mendebarkan dari gudang. Lampu jalan yang temaram hanya memberikan sedikit penerangan, bayangan mereka memanjang di aspal yang basah."Kita harus cari tempat berlindung," ujar Rendra, suaranya rendah namun tegas.Prasetyo mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa pria berkacamata hitam tidak akan menyerah begitu saja. Flash drive yang mereka bawa terlalu berharga, berisi sesuatu yang jelas ingin disembunyikan oleh pihak yang mengejar mereka.Mereka terus berlari, menyelinap di antara gang-gang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah warung kopi 24 jam yang tampak sepi. Prasetyo mendorong pintu kaca, dan lonceng kecil berdenting pelan. Seorang pria paruh baya di balik meja kasir melirik mereka sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana mereka bisa mengawasi pintu masuk dan keluar."Kita perlu tahu apa isi f
SUV hitam itu berhenti tanpa suara, tapi Prasetyo dan Rendra tahu bahwa ancaman yang ada di dalamnya lebih berisik daripada yang terlihat. Pintu depan mobil terbuka, dan seorang pria berkacamata hitam melangkah keluar dengan tenang. Dari cara berjalannya, ia jelas bukan orang biasa."Mereka tidak akan menunggu lama sebelum masuk," bisik Rendra sambil merapat ke dinding.Prasetyo mengamati sekeliling, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Gudang ini hanya memiliki satu pintu utama dan beberapa jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dilalui dengan cepat. Jika mereka bertahan di sini, pertarungan tak terhindarkan.Suara pintu mobil lain terbuka. Dua pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa sesuatu di balik jaket mereka. Prasetyo dan Rendra tidak perlu menunggu untuk tahu bahwa itu bukan sesuatu yang ramah."Kita harus ambil inisiatif duluan," bisik Prasetyo.Rendra mengangguk. "Aku akan ke sisi kiri, buat pengalihan. Begitu mereka masuk, kita buat mereka sibuk."Langkah kaki s