Bab Selanjutnya: Konfrontasi yang Tak TerelakkanPrasetyo berjalan dengan langkah berat menuju kamar tamu tempat Samantha tinggal. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk, tetapi ia tahu satu hal pasti—sudah saatnya ia berbicara dengan Samantha. Ia tidak bisa membiarkan keadaan di rumah terus memburuk dan menghancurkan pernikahannya dengan Nathalia.Ketika Prasetyo mengetuk pintu, Samantha membuka dengan senyuman manis yang selalu ia tunjukkan, meskipun di baliknya tersembunyi niat yang tidak tulus. "Pras, ada apa? Kau terlihat tegang," katanya dengan nada yang terdengar manis namun penuh dengan kepalsuan.Prasetyo masuk dan menutup pintu di belakangnya, berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya serius, tidak ada tanda-tanda kelembutan seperti biasanya. "Kita perlu bicara, Samantha," katanya tanpa basa-basi.Samantha memiringkan kepala, mencoba terlihat tidak mengerti. "Tentu, ada apa?"Prasetyo menatapnya tajam. "Aku tahu apa yang kau lakukan, Samantha. Aku tahu kau terus-mene
Bab Selanjutnya: Percakapan Rahasia yang BerbahayaSamantha menggenggam ponselnya erat-erat, kemarahan membakar setiap inci dari dirinya. Matanya memandang lurus ke depan dengan sorot yang tajam, penuh kebencian yang memuncak. Ia menekan nomor yang telah ia hafal di luar kepala, menunggu sambungan terhubung. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena gugup, tetapi karena amarah yang tertahan.Di seberang sana, Arman menjawab dengan suara yang rendah dan tenang, nyaris seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur siang yang nyaman. "Samantha, ada apa? Kau terdengar... kesal," katanya, seolah menikmati setiap detik dari penderitaan yang Samantha rasakan."Kesal?" Samantha meludah penuh kemarahan. "Prasetyo baru saja datang ke kamarku, menuduhku merusak pernikahannya dengan Nathalia. Dia bahkan berbicara tentang tes DNA, Arman! Seolah-olah aku ini penipu yang hanya berusaha menjeratnya!"Arman terdiam sejenak, dan kemudian tawa kecil terdengar dari seberang telepon. Suara tawanya rend
Akbar duduk di ruang kerjanya, dengan tangan terlipat di depan dada, menatap kosong ke arah berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Pikirannya melayang jauh dari pekerjaan, tenggelam dalam dilema yang tak kunjung usai. Matanya sayu, mencerminkan beban berat yang menghimpit hatinya. Akbar, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang bijak dan selalu mampu menemukan solusi, kini berada di titik terendah dalam hidupnya, tersudut oleh pilihan-pilihan yang sulit. Di satu sisi, ada Prasetyo, sahabatnya sejak masa kuliah. Mereka telah melewati banyak hal bersama—dari masa-masa sulit, kegagalan, hingga kesuksesan. Prasetyo adalah sosok yang Akbar anggap sebagai keluarga, bukan hanya sekadar teman. Persahabatan mereka dibangun di atas kepercayaan dan loyalitas yang tidak tergoyahkan. Namun, kini kepercayaan itu terancam oleh sesuatu yang Akbar tahu tetapi tidak bisa diabaikan. Di sisi lain, ada Samantha, adik sepupu yang selalu ia sayangi. Samantha tumbuh besar di bawah pengawasan Akbar
Malam itu, Akbar berdiri di depan pintu kediaman Raharjo, merasa cemas dan gelisah. Dalam hatinya, ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah. Samantha, adik sepupunya, telah berubah menjadi sosok yang nyaris tak dikenalnya. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu kayu besar itu. Pintu terbuka dengan cepat, memperlihatkan Samantha yang berdiri di ambang pintu, matanya menyipit penuh kecurigaan."Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?" Samantha bertanya dengan nada dingin, suaranya penuh dengan ketidakpedulian.Akbar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Kita perlu bicara, Samantha. Aku khawatir dengan apa yang sedang terjadi antara kamu dan Prasetyo."Samantha mengangkat alis, seolah-olah ucapan Akbar adalah lelucon. "Oh, begitu? Kamu tiba-tiba jadi peduli dengan urusanku?" Ia tertawa sinis dan mempersilakannya masuk. "Silakan, katakan apa yang ingin kamu katakan, Akbar. Aku punya waktu sebentar sebelum aku benar-benar bosan."Mereka duduk di ruang ta
Akbar duduk di dalam mobilnya, pikirannya kacau balau setelah konfrontasi dengan Samantha. Pikirannya terus-menerus berputar mencari solusi, tetapi setiap jalan yang ia pikirkan tampak buntu. Ia merasa semakin terperangkap dalam dilema yang tidak kunjung usai, hingga teleponnya berdering. Nama Arman tertera di layar. Akbar terdiam sejenak sebelum menjawab panggilan itu."Akbar, kita perlu bicara," suara Arman terdengar santai di seberang sana. "Aku pikir kamu punya banyak pertanyaan, dan aku mungkin punya beberapa jawaban."Akbar menggeram pelan, menahan amarah yang tiba-tiba muncul. Arman, pria yang ia curigai selama ini menjadi dalang di balik perubahan Samantha, kini menghubunginya dengan santai, seolah-olah tidak ada masalah. "Di mana kita bisa bertemu?" Akbar bertanya dengan nada tegas."Tempat biasa, kafe di sudut jalan. Lima belas menit lagi," jawab Arman dengan tenang sebelum menutup telepon.Akbar mengepalkan tangannya di kemudi, menahan dorongan untuk segera menuju tempat it
Chapter 4: Percakapan BerbahayaArman duduk di balkon apartemennya yang mewah, memandang kota yang gemerlap di bawah langit malam. Angin malam berhembus lembut, tetapi tidak cukup kuat untuk mengusir aroma tajam dari rokok yang ia hisap perlahan. Di tangannya, segelas anggur merah berkilau dalam cahaya bulan, memberikan sentuhan mewah pada malam yang sunyi. Dia menyesap anggurnya dengan tenang, matanya yang gelap memancarkan kilatan kesombongan dan kelicikan.Dengan satu tarikan napas panjang, Arman mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Samantha dengan jemarinya yang lentur namun tegas. Ketika nada sambung terdengar, sebuah senyum licik menghiasi wajahnya. Di balik segala ketenangannya, ada seorang pria yang terbiasa mengendalikan segala situasi dan memanipulasi orang-orang di sekitarnya."Halo," suara Samantha terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh kewaspadaan."Samantha," sapa Arman dengan suara yang lembut tetapi sarat dengan dominasi terselubung. "Aku baru saja bertemu de
Prasetyo melangkah turun dengan langkah perlahan, berharap bisa menikmati pagi yang damai di rumahnya. Namun, harapannya pupus begitu suara tajam Samantha menyambutnya. Dari lantai atas, ia bisa mendengar kemarahan Samantha yang meledak-ledak, menghardik seorang pelayan dengan kata-kata kasar. Prasetyo menghela napas panjang, menyadari bahwa suasana di rumahnya kembali memanas."Aku sudah bilang, jangan pernah menyentuh barang-barangku tanpa izin! Apa kau tuli?!" Samantha membentak pelayan itu, matanya memancarkan kilatan amarah.Pelayan muda itu berdiri dengan kepala tertunduk, tubuhnya sedikit gemetar. "Maaf, Nona Samantha. Saya tidak sengaja."Nathalia yang berada di dekat situ, mencoba meredakan situasi. "Samantha, sudah cukup. Dia tidak sengaja. Tidak perlu memperbesar masalah ini."Samantha berbalik dengan cepat, tatapannya berubah tajam ke arah Nathalia. "Kau pikir ini urusanmu? Jangan ikut campur, Nathalia!"Nathalia terkejut sejenak, tetapi tidak mundur. "Samantha, aku hanya
Prasetyo duduk di meja makan dengan ekspresi yang sulit dibaca, sesekali melirik Nathalia yang diam di sampingnya. Pagi itu, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Samantha masih belum muncul dari kamarnya sejak pertengkaran tadi, sementara Kareena tampak sibuk dengan koran pagi, meskipun Prasetyo tahu pikirannya jauh dari berita yang dibacanya."Nathalia, aku harus pergi ke kantor pagi ini," Prasetyo akhirnya berkata, suaranya terdengar tenang tetapi penuh maksud. Ia melirik Nathalia sejenak sebelum beralih ke Kareena. "Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan."Kareena menurunkan korannya, menatap Prasetyo dengan alis terangkat. "Bukankah kau bilang akan bekerja dari rumah hari ini?"Prasetyo tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya. "Ada rapat mendadak yang harus kuhadiri. Tidak bisa dihindari."Kareena menatapnya beberapa detik, seolah mencoba membaca sesuatu di balik wajahnya, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Pastikan kau tidak terlalu lelah."
Prasetyo menarik napas panjang saat ia dan Rendra keluar dari kafe melalui pintu belakang. Jalanan di belakang kafe sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berkelip. Namun, Prasetyo tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan pergi begitu saja."Kita harus cepat," kata Rendra, matanya menyapu sekeliling.Langkah kaki terdengar semakin dekat. Prasetyo menoleh ke belakang dan melihat pria bertubuh besar yang tadi masuk ke kafe kini berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tajam. Dua orang lainnya muncul dari gang sempit di samping kafe, membuat jalan keluar mereka semakin terbatas."Mereka datang lebih cepat dari yang kukira," gumam Prasetyo."Tidak ada waktu untuk ragu," balas Rendra. Ia dengan cekatan meraih sesuatu dari dalam jaketnya—sebuah flash drive kecil. "Ambil ini. Jika terjadi sesuatu padaku, pastikan Samantha dan Nadia mendapatkannya. Mereka tahu harus berbuat apa."Prasetyo mengambil flash drive itu dan memasukkannya ke dalam saku dalam jaketnya
Prasetyo berdiri di tengah ruangan yang perlahan-lahan mulai kosong. Orang-orang masih berbisik tentang apa yang baru saja terjadi, beberapa di antara mereka mencuri pandang ke arahnya dengan berbagai ekspresi—kagum, lega, atau bahkan ketidakpercayaan. Tapi Prasetyo tidak peduli. Pikirannya masih tertuju pada satu hal: ini belum berakhir.Samantha masih berdiri di dekatnya, wajahnya terlihat lebih tenang meski sisa ketegangan belum sepenuhnya hilang. Ia meremas jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. "Pras, kita harus memastikan Arman benar-benar tidak punya jalan untuk lolos lagi. Kita tidak bisa membiarkannya bermain di balik bayang-bayang."Nadia, sang jurnalis investigasi, menyelipkan tablet ke dalam tasnya lalu menatap Prasetyo dengan serius. "Bukti ini cukup untuk menjatuhkannya sekarang, tapi seperti yang kubilang tadi, ini belum selesai. Ada banyak orang di belakang Arman yang mungkin mencoba membersihkan namanya atau bahkan membalas dendam."Prasetyo mengangguk. "
Prasetyo menatap pria berseragam itu dengan tajam, pikirannya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu jika ia mengikuti mereka sekarang, Arman akan semakin unggul. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu melambat dalam ketegangan yang semakin menyesakkan."Tuan, kami harus meminta Anda untuk tidak membuat ini lebih sulit," suara pria itu tegas, namun tetap formal. Tangannya sudah terulur, siap menggiring Prasetyo keluar dari ruangan.Samantha berdiri dengan gemetar, wajahnya penuh ketakutan dan amarah yang bergejolak. "Tidak! Dia tidak bersalah! Semua ini rekayasa! Arman menjebaknya!"Arman mendesah, menggelengkan kepalanya seolah bosan dengan drama yang terjadi. "Samantha, sayangku, terima saja kenyataan. Prasetyo kalah. Kau juga kalah. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti kalian."Namun sebelum pria berseragam itu bisa membawa Prasetyo, sebuah suara lain menggema di ruangan."Tunggu!"Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan jas ab
Ruangan itu masih sunyi. Udara terasa tegang, seakan-akan waktu berhenti setelah semua kebenaran terungkap. Prasetyo menarik napas panjang, matanya menatap Samantha yang kini benar-benar kehilangan kata-kata. Namun, ia tahu, ini belum selesai.Tiba-tiba, suara tepukan tangan menggema di ruangan itu. Semua orang menoleh ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam rapi, ekspresi wajahnya penuh dengan kepuasan. Arman."Luar biasa, Pras," ujarnya dengan nada mengejek. "Aku harus mengakui, kau memang lebih pintar dari yang aku kira. Tapi apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari segalanya?"Prasetyo mengepalkan tangannya. "Arman, ini sudah selesai. Semua bukti ada di sini. Tidak ada lagi kebohongan yang bisa kau sembunyikan."Namun, alih-alih panik, Arman justru tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, matanya menatap Samantha yang kini tampak putus asa."Samantha, sayangku," ucapnya dengan nada merendahkan. "Aku sudah bilang, jangan ter
Ruangan yang awalnya penuh dengan tawa dan kegembiraan kini berubah menjadi panggung pembongkaran. Semua mata tertuju pada Prasetyo, yang berdiri tegak di tengah-tengah ruang, dengan wajah penuh tekad. Di belakangnya, layar televisi lebar yang sudah disiapkan sebelumnya menampilkan serangkaian bukti yang akan mengungkapkan kebohongan besar yang selama ini disembunyikan oleh Samantha dan Kareena.Samantha, yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak panik. Wajahnya memucat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tak menyangka jika Prasetyo benar-benar memiliki bukti yang begitu kuat, bukti yang mampu mengguncang seluruh dunia yang ia bangun dengan kebohongannya. Namun, Samantha masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, ia berusaha mengelak, suaranya bergetar ketika ia membuka mulut."T-tunggu, Prasetyo! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Samantha mencoba menyusun kata-kata, meskipun suaranya terdengar semakin terbata-bata. "Kamu salah paham! Aku… aku tidak tahu apa
Meski ingatannya telah kembali sepenuhnya, ia memilih untuk berpura-pura tidak ingat, bahkan bersikap seolah-olah ia masih kehilangan ingatannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi itu adalah cara terbaik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Samantha dan orang-orang yang telah menipu dan memanipulasinya selama ini. Prasetyo merasa bahwa saat ini ia harus menjadi seorang aktor yang baik, menyembunyikan perasaannya dan berakting sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Samantha dan ibunya, Kareena.Samantha, dengan segala kebohongannya, terus berusaha menambah kepingan puzzle kebohongan yang selama ini mereka bangun. Ia tahu bahwa Prasetyo masih berada di dalam genggamannya, dan ia terus mencoba untuk meyakinkannya bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, bahwa dia adalah wanita yang terbaik untuknya. Sementara itu, Kareena, ibu Prasetyo, tampaknya juga telah membenarkan semua kebohongan itu, memberikan dukungan penuh pada Samantha, seolah-olah semuanya be
Nathalia masih berdiri di depan pintu rumah sewaannya, matanya penuh kebingungan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya ingin percaya, tapi rasa takut dan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya membuatnya ragu. Namun, di tengah ketidakpastian itu, ponsel Nathalia tiba-tiba berbunyi.Dia melihat nama Akbar muncul di layar. Nathalia merasa sedikit cemas, karena dia tahu Akbar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Prasetyo, dan bisa jadi, Akbar tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, Nathalia mengangkat telepon itu."Halo, Akbar," sapanya dengan suara sedikit terengah-engah, masih mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuannya dengan Prasetyo."Nat, kamu baik-baik saja?" suara Akbar terdengar prihatin dari ujung telepon. "Aku dengar Prasetyo datang menemuimu tadi. Apa yang terjadi?"Nathalia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. "Iya, dia datang," jawabnya perlahan. "Tapi... ada banyak hal ya
Setelah beberapa waktu terpisah dan melalui berbagai kebohongan yang menjerat, hatinya kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam. Ia harus menemui Nathalia, harus melihat wajah wanita itu lagi, meskipun ia tahu ia sudah terlambat. Akibat tindakan ibunya, ia dan Nathalia kini terpisah. Tetapi, berkat bantuan Akbar, akhirnya ia berhasil mengetahui keberadaan Nathalia. Tak ada lagi waktu untuk ragu—Prasetyo merasa ia harus melangkah, walaupun ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang penuh emosi dan kerumitan.Saat sampai di depan rumah sewaan Nathalia, perasaan Prasetyo semakin bergejolak. Rumah itu tampak sederhana, jauh berbeda dengan rumah mewah yang dulu mereka impikan bersama. Rumah ini adalah tempat di mana Nathalia harus berjuang sendiri, tanpa kehadirannya. Dalam kondisi seperti ini, Prasetyo merasa dirinya semakin tidak pantas berada di sana.Prasetyo mengatur napasnya, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya, Nathali
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Prasetyo akhirnya keluar dan kembali ke rumah, meskipun ingatannya masih sedikit kabur. Samantha tetap berada di sisinya, menjaga setiap langkahnya. Namun, dalam hati Prasetyo, sebuah niat mulai berkembang—untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia sadar bahwa ingatannya yang hilang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ada di sekitarnya.Suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Prasetyo memutuskan untuk menghubungi Akbar. Ia tidak memberi tahu Samantha sebelumnya, tapi ia tahu bahwa Akbar adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya mengungkap semua yang disembunyikan. Di luar dugaan, Akbar menjawab telepon dengan cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran."Pras? Apa kabar? Kenapa tiba-tiba menghubungi aku?" tanya Akbar dengan nada cemas.Prasetyo menghela napas, menatap langit malam yang gelap di luar jendela. "Ingatan aku su