Kabar yang dinantikan akhirnya tiba. Dokter menyatakan bahwa Nathalia sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Prasetyo, yang mendengar kabar itu, merasa sedikit lega. Setidaknya, ia berpikir, berada di rumah mungkin bisa membantu Nathalia kembali menemukan kedamaian.Namun, kenyataan jauh dari harapannya. Hubungan mereka, yang sebelumnya sudah renggang, kini semakin memburuk. Prasetyo, yang diliputi rasa bersalah, mulai menghindari Nathalia. Ia semakin jarang pulang, menghabiskan waktunya di kantor dengan dalih pekerjaan. Setiap kali Nathalia mencoba berbicara, ia hanya memberi jawaban singkat sebelum mengalihkan perhatian.Di sisi lain, Nathalia tenggelam dalam mimpi buruk yang tak pernah berhenti. Malam-malamnya dipenuhi bayangan keguguran yang menghantui, suara jeritan di kepalanya yang tak kunjung reda. Dalam mimpinya, ia melihat bayinya yang cantik, tetapi setiap kali ia mencoba meraih, bayi itu menghilang, direnggut oleh bayangan gelap.“Maafkan aku,” bisiknya setiap kali terba
Rasa bersalah Prasetyo tidak berhenti menghantuinya saat ia sadar, tetapi juga menyusup ke dalam tidurnya. Malam-malamnya diisi oleh mimpi buruk yang begitu nyata, seolah menegaskan kegagalannya sebagai suami dan ayah. Dalam mimpi itu, ia sering melihat seorang anak perempuan, wajahnya cantik dengan rambut lebat dan mata bulat yang berkilau seperti berlian. Namun, air mata mengalir deras di pipi anak itu. Bibir kecilnya gemetar saat ia berkata dengan suara yang pecah oleh isakan, “Kenapa Ayah membiarkan aku disakiti? Kenapa Ayah tidak melindungiku?”Anak itu menangis, suara isaknya menggema di seluruh ruangan mimpi, membuat hati Prasetyo terasa seperti dicabik-cabik. Ia mencoba mendekat, tetapi kakinya berat seolah tertanam di tanah. Semakin ia berusaha melangkah, semakin jauh jarak antara dirinya dan anak itu. Wajah anak perempuan itu semakin dipenuhi kesedihan, dan sorot matanya penuh ketakutan.“Ayah...” suara anak itu bergetar. “Kenapa Ayah meninggalkan aku? Kenapa Ayah membiarkan
Prasetyo akhirnya memutuskan untuk pulang. Keputusan itu tidak datang dengan mudah; rasa bersalah yang terus menghantuinya membuat setiap langkah terasa berat. Namun, kekhawatiran akan keadaan Nathalia dan rasa rindu yang perlahan menggerogoti hatinya mendorongnya untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Nathalia—wajah lembut istrinya yang dulu selalu menyambutnya dengan senyuman hangat. Tetapi sekarang, senyuman itu terasa seperti cermin yang memantulkan dosa-dosa yang ia lakukan. Ketika Prasetyo sampai di rumah, suasana terasa berbeda. Nathalia, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit begitu melihatnya. Wajahnya dipenuhi rasa senang dan lega yang sulit disembunyikan. “Kau pulang,” ucap Nathalia dengan suara yang sedikit bergetar, matanya berbinar-binar. Ia berjalan mendekat, senyum hangat menghiasi wajahnya meski masih terlihat bayang-bayang kelelahan dan kesedihan yang belum sepenuhnya hilang. Namun, Prasetyo tidak mampu menatapnya. Kep
Hari-hari berlalu, tetapi keadaan Prasetyo semakin memburuk. Wajahnya yang dulu tegas kini terlihat layu, dengan lingkaran hitam yang mencolok di bawah matanya. Ia sering kehilangan fokus di tengah-tengah pekerjaannya, bahkan saat rapat penting sekalipun. Akbar, yang sudah lama menjadi teman sekaligus rekan kerja Prasetyo, hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali melihat keadaan sahabatnya itu. "Pras, aku nggak bisa tinggal diam melihat kamu seperti ini," kata Akbar suatu sore di kantor. Mereka berdua duduk di ruang kerja Prasetyo, di mana tumpukan dokumen terlihat berantakan di atas meja. Prasetyo hanya mendesah, menunduk sambil memijat pelipisnya. "Aku baik-baik saja, Bar. Aku cuma perlu waktu untuk menyelesaikan semuanya." "Baik-baik saja?" Akbar memelototi Prasetyo dengan tatapan tidak percaya. "Kamu bahkan nggak bisa konsentrasi selama lebih dari lima menit. Dan jangan pikir aku nggak tahu kalau kamu juga hampir nggak tidur beberapa hari ini. Pras, kamu perlu bantuan." "Ak
Prasetyo menggeram kesal begitu mendengar kabar bahwa Samantha telah bertemu dengan Nathalia di supermarket. Tanpa menunggu lama, ia langsung menghubungi perempuan itu, memintanya untuk bertemu di tempat yang jauh dari perhatian publik. Samantha, yang tampaknya sudah menanti momen ini, setuju tanpa banyak bicara. Pertemuan itu berlangsung di sebuah kafe kecil yang sepi. Prasetyo tiba lebih dulu, duduk dengan rahang yang terkatup rapat dan tangan yang mengepal di atas meja. Ketika Samantha masuk, ia mengenakan pakaian yang santai namun tetap elegan, senyum kecil tersungging di bibirnya seperti tidak ada yang salah. "Kamu benar-benar nekat," ujar Prasetyo tanpa basa-basi ketika Samantha duduk di depannya. Nada suaranya rendah, tapi penuh kemarahan yang tertahan. Samantha hanya mengangkat bahu. "Apa yang nekat? Aku hanya berbelanja, sama seperti orang lain. Kebetulan aku bertemu Nathalia. Itu saja." "Kebetulan?" Prasetyo mendesis, matanya menatap tajam ke arah Samantha. "Aku tahu kam
Nathalia tidak bisa mengabaikan firasat buruknya. Pertemuan dengan Samantha di supermarket dan perubahan sikap Prasetyo membuat pikirannya tak henti bertanya-tanya. Suaminya tampak lebih sering melamun, sementara Samantha justru muncul dengan senyuman misterius yang membuat Nathalia semakin curiga.Kali ini, ia memutuskan untuk menemui Samantha secara langsung. Nathalia memilih sebuah kafe kecil di pinggir kota sebagai tempat pertemuan, jauh dari keramaian. Ketika Samantha tiba, ia mengenakan blazer modis dengan senyuman penuh percaya diri yang sudah menjadi ciri khasnya."Wow, kau benar-benar berani mengundangku ke sini," ujar Samantha sambil duduk di kursinya. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nathalia?"Nathalia berusaha menjaga ketenangannya. "Aku ingin tahu sesuatu. Tentang hubunganmu dengan Prasetyo."Samantha menaikkan alisnya, lalu tersenyum licik. "Hubunganku dengan Prasetyo? Maksudmu, hubungan yang mana? Sebagai teman lama? Atau sesuatu yang lebih menarik?"Darah Nathalia berde
Bar kecil di sudut kota itu penuh dengan suara dentingan gelas dan obrolan yang samar-samar. Di salah satu sudutnya, Akbar dan Arman duduk berhadapan di meja dengan beberapa gelas minuman di antara mereka. Dua sahabat Prasetyo itu terlihat tenggelam dalam pembicaraan serius, meskipun ada nada santai yang mereka coba pertahankan. "Jadi," Arman memulai sambil memutar-mutar gelasnya. "Bagaimana kabar Pras dan Nathalia? Masih terlihat seperti pasangan bahagia?" Akbar mendesah, lalu menyesap minumannya. "Kau tahu Pras. Dia tidak pernah menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini." Arman menyeringai kecil, wajahnya penuh kepura-puraan simpati. "Tentu saja. Dengan Samantha kembali dalam hidupnya, siapa yang tidak akan terganggu?" Mata Akbar menyipit. Ia tidak menyukai cara Arman berbicara, tetapi ia tahu sahabat Prasetyo ini selalu memiliki agenda tersembunyi. "Samantha tidak perlu dibawa-bawa, Man. Pras sudah m
Suara bantingan keras dari ruang kerja menggema ke seluruh rumah, memecah keheningan malam yang mencekam. Akbar, yang tengah duduk di ruang tamu sambil menyusun laporan pekerjaan, terkejut mendengar suara itu. Tanpa ragu, ia bangkit dan berjalan cepat menuju ruang kerja Prasetyo. Pintu sedikit terbuka, dan Akbar mengintip ke dalam. Pemandangan yang dilihatnya membuat Akbar tertegun. Prasetyo berdiri di tengah ruangan, tubuhnya membungkuk, tangan mencengkeram pinggir meja dengan erat, seolah berusaha menahan dunia yang runtuh di atasnya. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan kemejanya basah oleh keringat. Dokumen berserakan di lantai bersama gelas yang pecah. "Pras?" Akbar memanggil pelan, tetapi Prasetyo tidak menoleh. Ia tetap diam, hanya napasnya yang berat dan putus-putus terdengar di antara keheningan. Akbar mendorong pintu lebih lebar dan masuk. "Pras, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" Prasetyo mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, penuh dengan kelelahan dan
Chapter Selanjutnya Hari itu, Nathalia memutuskan untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, mencoba melupakan sejenak masalah yang membebani pikirannya. Ia berjalan dari satu toko ke toko lain, matanya menelusuri rak-rak yang penuh dengan barang-barang. Meskipun tampak sibuk dengan belanjaannya, benaknya terus dipenuhi oleh kecemasan akan hasil tes DNA Prasetyo. Di sudut lain pusat perbelanjaan, seorang pria dengan tatapan tajam mengawasinya dengan saksama. Arman, sahabat lama Prasetyo, mengikuti Nathalia sejak ia memasuki tempat itu. Awalnya, ia berusaha membujuk dirinya sendiri bahwa ia hanya ingin memastikan Nathalia baik-baik saja. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ada perasaan lain yang mendorongnya untuk terus berada di dekatnya. Arman mempercepat langkahnya saat Nathalia berhenti di depan sebuah kafe kecil. Dengan hati-hati, ia mendekatinya, berpura-pura tidak sengaja bertemu. "Nathalia?" panggil Arman dengan suara terkejut yang dibuat-buat. "Apa kabar? Lama tidak
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang mencekam. Prasetyo masih tenggelam dalam pikirannya, mencoba memahami jalan keluar dari situasi rumit yang sedang dihadapinya. Pesan dan panggilan dari Samantha terus berdatangan, menambah tekanan yang semakin membuatnya gelisah. Namun, satu keputusan sudah bulat di dalam pikirannya—ia tidak akan mengakui anak itu sebelum melakukan tes DNA. Pagi itu, Prasetyo menghubungi Samantha. Suaranya terdengar tegas, jauh dari nada bersalah atau ragu-ragu yang biasa ia tunjukkan. "Samantha, aku sudah berpikir panjang tentang semua ini," ucap Prasetyo, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku tidak akan mengakui anak itu sebelum kita melakukan tes DNA." Di ujung telepon, Samantha terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Pras, kau meragukan aku? Setelah semua yang kita lalui?" "Aku tidak meragukan apapun, Samantha. Aku hanya ingin memastikan kebenarannya," jawab Prasetyo dengan tegas. "Jika anak itu memang darah dagingku, aku akan bertanggung ja
Chapter SelanjutnyaPagi itu, Prasetyo duduk di ruang kerjanya, mencoba memusatkan perhatian pada berkas-berkas di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke percakapan terakhirnya dengan Nathalia. Rasa bersalah masih menyelimutinya seperti awan gelap yang tak kunjung pergi. Ia tahu, kesalahannya telah merusak segalanya, dan jalan menuju penebusan terasa begitu jauh dan sulit.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdegup lebih kencang—Samantha. Mantan tunangannya yang selama ini berusaha ia hindari setelah kejadian yang menghancurkan pernikahannya.Dengan enggan, Prasetyo membuka pesan yang masuk. Sebuah gambar hasil USG menyambutnya, membuat napasnya tercekat. Di bawah gambar itu, terdapat pesan dari Samantha:"Pras, ini anak kita. Kau tidak ingin kehilangan anak lagi, kan? Jangan sampai kau menyesal."Pesan itu terasa seperti pisau yang menusuk tepat di hatinya. Prasetyo merasa pusing, tubuhnya gemetar saat menatap gambar itu. Ia tahu bahwa in
Chapter SelanjutnyaNathalia duduk di sudut kamar yang redup, menatap kosong ke arah dinding yang dingin dan hampa. Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipinya, membawa serta rasa sakit yang mendalam. Hatinya remuk, seperti kaca yang telah terjatuh dari ketinggian dan pecah berkeping-keping.Beberapa minggu yang lalu, dunia Nathalia telah runtuh saat ia mengalami keguguran. Rasa kehilangan itu begitu menyakitkan, menghancurkan harapan yang telah ia dan suaminya bangun bersama. Ia mencoba kuat, berusaha menerima kenyataan bahwa bayi yang begitu diidamkan kini telah tiada. Namun, luka itu belum sempat sembuh, ketika ia menerima kabar yang jauh lebih memilukan.Suaminya, Prasetyo, telah menghamili perempuan lain.Kabar itu datang seperti petir di siang bolong. Awalnya, Nathalia tidak percaya. Ia berharap itu hanya rumor jahat yang dibuat untuk menghancurkan rumah tangga mereka. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri. Perempuan itu datang sendiri, membawa bukti kehamilan dan cerita yang t
Berikut ini adalah versi teks dengan nama kakak Prasetyo diubah menjadi Pradana: Prasetyo terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berlumuran keringat dingin. Kepalanya terasa berat, seakan-akan baru saja dibebani oleh beban dunia yang tak bisa lagi ia hindari. Mata yang terbuka dengan kebingungan memandang sekeliling, dan sejenak ia merasa tidak yakin di mana dirinya berada. Namun, perasaan hampa dan penyesalan yang menggerogoti hatinya kembali datang dengan begitu kuat. Ia teringat kembali dengan jelas—seperti dalam mimpi yang begitu nyata. Mimpi Prasetyo: Prasetyo melihat dirinya dan Pradana, kakaknya, sedang bermain di halaman belakang rumah besar mereka yang dikelilingi pepohonan rindang. Waktu itu mereka berdua masih anak-anak. Pradana, kakak kembarnya, lebih besar, lebih kuat, dan lebih bijaksana. Meski mereka sering kali berada di bawah tekanan yang sama dari orang tua mereka, Pradana selalu ada untuk Prasetyo. Setiap kali Prasetyo merasa tertekan dengan harapan oran
Keputusan Rahardian dan Kareena untuk kembali ke Indonesia segera setelah panggilan telepon yang tegang itu mengguncang kediaman Rahardjo. Mereka berdua terbang dalam diam, tidak hanya karena kekhawatiran terhadap keadaan keluarga mereka, tetapi juga karena mereka tahu betul betapa beratnya masalah yang harus dihadapi ketika mereka tiba di Jakarta. Mereka tidak lagi merasa bahwa keluarga ini berjalan dengan baik. Malah, mereka merasa seolah-olah mereka sudah kehilangan kendali atas putra mereka, dan itu membuat Rahardian dan Kareena semakin frustasi.Sesampainya di kediaman Rahardjo, suasana semakin tegang. Rumah yang dulunya selalu dipenuhi tawa dan kebanggaan kini terasa hampa. Setiap sudut tampak terabaikan, bahkan langit-langit yang biasanya dipenuhi dengan cahaya lembut, kini tampak suram. Kehadiran orang tua Prasetyo semakin menambah tekanan yang ada. Rahardian yang terkenal dengan ketegasannya langsung mengumpulkan Prasetyo di ruang tamu, menunggu penjelasan yang ia anggap sang
Kareena menatap layar ponselnya dengan ekspresi penuh kecemasan. Panggilan dari putra tunggal mereka, Prasetyo, datang tepat setelah Hans memberi laporan tentang situasi yang semakin buruk. Kejadian-kejadian yang terungkap begitu cepat—kehamilan Samantha, tuntutan Akbar, dan penolakan Prasetyo untuk mengakui anak itu—membuat hati Kareena penuh dengan kemarahan yang belum bisa ia sembunyikan.Rahardian, suaminya yang tenang dan selalu mengedepankan logika, terlihat sangat marah. Mereka memang tidak pernah memiliki hubungan yang dekat dengan Prasetyo. Namun, rasa malu dan frustrasi semakin menggerogoti mereka, apalagi setelah mendengar bahwa anak yang seharusnya membawa kehormatan keluarga malah terjebak dalam skandal yang bisa merusak nama baik mereka.Kareena mengangkat telepon, dengan tatapan tajam pada Rahardian yang kini berdiri di sampingnya. “Prasetyo,” katanya, dengan nada suara yang lebih rendah, namun penuh beban.Di ujung telepon, terdengar napas berat Prasetyo. “Bu, Ayah...”
Suasana rumah Raharjo yang sepi berubah ketika terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Prasetyo sedang duduk di ruang kerja, menatap berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Meski wajahnya terfokus pada pekerjaan, pikirannya jauh dari situasi ini. Ia tidak bisa menenangkan dirinya sejak kejadian dengan Samantha beberapa jam yang lalu. Rasa cemas, rasa bersalah, dan penyesalan yang menggerogoti hatinya semakin dalam.Namun, ketenangan itu segera pecah ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar. Tanpa mengetuk atau meminta izin, Akbar, sepupu Samantha yang juga sahabat dan asisten setianya, masuk dengan wajah penuh amarah. Tubuhnya yang tinggi besar dan kekar tampak lebih mengancam di bawah cahaya redup ruangan."Prasetyo!" teriak Akbar, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Apa yang sudah kamu lakukan?!"Prasetyo terkejut, mengangkat wajahnya dari berkas-berkas yang ada di mejanya. Ia tidak tahu apa yang membuat Akbar begitu marah. Tetapi, saat melihat ekspresi wajah
Hans, kepala pelayan yang telah melayani keluarga Raharjo selama bertahun-tahun, berdiri tegak di dapur setelah Samantha meninggalkan ruang tamu. Meskipun wajahnya tetap tenang dan profesional, perasaan tidak nyaman dan frustrasi yang ia rasakan semakin menguat. Ia tahu bahwa rumah ini, tempat yang telah lama ia anggap sebagai keluarganya, kini sedang berada dalam gejolak yang semakin besar.Samantha, dengan segala cara liciknya, telah menempatkan dirinya sebagai sosok yang sangat berbahaya, dan Hans bisa merasakannya. Namun, meskipun wanita itu mencoba menampilkan kekuasaan, Hans tahu persis bahwa dia bukan tipe orang yang mudah digertak. Ia telah menghadapi banyak situasi sulit dalam kariernya, dan tak pernah sekali pun ia merasa takut kepada orang seperti Samantha.Ketika Samantha muncul dengan sikap angkuh dan mencoba mengancamnya, Hans tidak takut sedikit pun. Ia mengingat betul siapa dirinya—seorang kepala pelayan yang setia kepada keluarga Raharjo. Dia bukanlah seseorang yang m