Chapter Selanjutnya (Revisi)Nathalia duduk di sudut ruang tamu, matanya sembab setelah tangisan panjang semalam. Bayangan kegugurannya beberapa bulan lalu masih menghantui, luka yang belum sempat sembuh kini terasa diperparah oleh kehadiran Samantha. Wanita itu terus menggunakan kehamilannya sebagai senjata untuk menarik perhatian Prasetyo, bahkan berani memanipulasi situasi hingga membuat Nathalia tampak sebagai pihak yang tidak berperasaan.Sementara itu, Samantha semakin memainkan perannya dengan sempurna. Setiap kali berada di hadapan Prasetyo, ia menunjukkan sisi rapuhnya sebagai calon ibu yang membutuhkan perhatian. Dengan penuh kepura-puraan, ia sering mengeluhkan rasa sakit atau kelelahan, memancing simpati dari Prasetyo yang merasa harus menjaga hubungannya dengan Samantha tetap baik demi masa depan anak dalam kandungannya.Suatu sore, Samantha sengaja datang ke kantor Prasetyo dengan membawa makanan yang ia klaim sebagai "bentuk perhatian seorang calon ibu." Di hadapan Nath
Chapter SelanjutnyaNathalia duduk di kamar, menatap kosong ke luar jendela. Hatinya masih perih setelah kejadian di ruang tamu. Kata-kata Kareena dan kepura-puraan Samantha terus berputar di benaknya. Ia merasa semakin terkucilkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa nyaman. Kegugurannya yang belum sepenuhnya ia terima menjadi luka yang diperburuk oleh tekanan dari Samantha dan Kareena.Prasetyo, yang merasa bersalah atas situasi tersebut, mengetuk pintu kamar dengan lembut. "Nathalia, boleh aku masuk?"Nathalia mengusap air matanya, berusaha terlihat lebih tenang. "Masuklah."Prasetyo duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja. Aku minta maaf jika apa yang terjadi tadi membuatmu semakin terluka. Aku benar-benar tidak ingin kau merasa seperti ini."Nathalia menatap Prasetyo, matanya masih berkaca-kaca. "Pras, aku merasa aku tidak pernah cukup baik untuk keluargamu. Kehadiran Samantha membuatku merasa tidak ada temp
Chapter SelanjutnyaArman duduk di sebuah lounge eksklusif dengan segelas minuman di tangannya, senyum licik terlukis di wajahnya. Suasana ruangan remang-remang, diiringi alunan musik jazz lembut. Di depannya, seorang pria misterius dengan jas hitam elegan duduk tenang, mengamati Arman dengan tatapan tajam. Pria itu tidak banyak bicara, hanya sesekali menyesap minuman dari gelas kristal yang ia pegang."Jadi," kata pria itu dengan suara berat, akhirnya memecah keheningan. "Aku dengar rencanamu mulai membuahkan hasil. Nathalia dan Prasetyo bertengkar hebat tadi malam, bukan?"Arman tertawa kecil, meletakkan gelasnya di atas meja. "Tentu saja. Segalanya berjalan lebih mulus dari yang kubayangkan. Prasetyo terlalu mudah dipancing cemburu. Sedangkan Nathalia... dia terlalu lemah untuk melawan tekanan ini."Pria itu mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Bagus. Kau tahu, kehancuran rumah tangga mereka hanyalah awal. Aku butuh lebih dari itu. Kau dan Samantha harus memastikan s
Chapter SelanjutnyaMalam sudah larut ketika Nathalia akhirnya pulang ke rumah. Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam, mencoba menghindari perhatian. Namun, suara pintu yang tertutup membuat Prasetyo, yang sedang duduk di ruang tamu dengan raut wajah penuh kekhawatiran, langsung menoleh. Matanya berbinar lega ketika melihat Nathalia berdiri di sana.“Nathalia,” ucap Prasetyo, berdiri dan menghampirinya. “Kau baik-baik saja? Aku sudah mencoba menghubungimu sepanjang malam.”Nathalia menunduk, mencoba menahan air matanya. “Aku hanya butuh waktu sendiri, Pras.”Prasetyo menghela napas panjang. “Aku mengerti. Aku minta maaf atas semua yang terjadi tadi malam. Aku tidak seharusnya berbicara seperti itu. Aku terlalu terbawa emosi.”Namun, sebelum Nathalia sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Kareena, yang rupanya belum tidur, muncul dengan ekspresi tidak senang. Wajahnya memancarkan ketegasan yang dingin saat ia menatap Nathalia.“Jadi, kau akhirnya pulang,” uja
Chapter Selanjutnya (Revisi)Samantha berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi bayangan dirinya dengan perut yang mulai membesar. Senyum puas terlukis di wajahnya. Kehamilan ini adalah senjata terkuatnya untuk merebut perhatian Prasetyo. Ia yakin, dengan waktu dan manipulasi yang tepat, ia bisa membuat Prasetyo menyayangi anak ini tanpa syarat. Namun, kali ini, rencananya tidak berjalan semulus yang ia bayangkan.Hari itu, Samantha memutuskan untuk pergi ke kantor Prasetyo. Dengan membawa makanan yang ia klaim baik untuk kehamilan, ia mengetuk pintu ruangan Prasetyo."Masuk," terdengar suara Prasetyo dari dalam.Samantha membuka pintu dengan senyum lebar. "Hai, Pras. Aku membawakan sesuatu untukmu," katanya dengan nada lembut.Prasetyo mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang ia baca, tampak terkejut melihat Samantha. "Samantha? Kau tidak perlu repot datang ke sini. Kau seharusnya lebih banyak istirahat."Samantha meletakkan makanan di meja Prasetyo dan duduk di kursi di hadap
Chapter SelanjutnyaSamantha duduk di tepi ranjangnya, memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu, setelah penolakan Prasetyo di kantor, ia harus bermain lebih cerdik. Dengan senyum tipis, ia menghubungi seseorang untuk memastikan rencananya berjalan lancar.Malam itu, Samantha sengaja berpura-pura mengalami pendarahan. Ia menelepon Kareena dengan suara panik, memohon bantuan. “Bu, aku takut! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kehamilanku.”Kareena yang mendengar suara putus asa Samantha langsung panik. “Samantha, tenang! Aku akan segera ke sana. Jangan bergerak terlalu banyak.”Kareena tiba di rumah Samantha beberapa menit kemudian bersama sopir keluarga. Melihat Samantha yang terbaring di sofa dengan ekspresi lemah, Kareena semakin khawatir. “Kita harus membawamu ke dokter sekarang juga!” katanya tegas.Samantha dengan suara lirih menjawab, “Bu, aku takut bayi ini dalam bahaya. Aku tidak tahu harus bagaimana.”Setelah diperiksa di rumah sakit, dokter mengatakan tidak ada mas
Kehadiran Samantha di kediaman Rahardjo membawa perubahan besar yang tidak menyenangkan, terutama bagi para pelayan. Samantha, yang awalnya tampak lemah dan tidak berdaya, kini mulai bertindak seolah-olah dirinya adalah nyonya rumah. Ia memberi perintah kepada para pelayan dengan nada yang memerintah, tanpa sedikit pun rasa hormat. Suatu pagi, Samantha duduk di ruang makan, memanggil salah satu pelayan dengan nada tinggi. “Kopi ini terlalu dingin. Buatkan yang baru, dan kali ini pastikan panasnya pas,” katanya sambil mengernyitkan dahi. Pelayan itu, seorang wanita tua bernama Ibu Lastri, mengangguk dengan sopan, meski raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. "Baik, Bu Samantha," jawabnya pendek, lalu membawa cangkir kopi itu ke dapur. Di dapur, para pelayan berkumpul dengan wajah penuh frustrasi. "Perempuan itu benar-benar tidak tahu diri," bisik Ibu Lastri dengan nada kesal. "Sejak kapan dia punya hak untuk memberi perintah seperti ini?" Seorang pelayan muda, Wulan, menimpali.
Hari itu, Nathalia merasa lebih lelah dari biasanya. Setiap sudut rumah seolah menjadi medan pertempuran yang tak terlihat, dengan Samantha sebagai lawannya. Ketika Nathalia berjalan menuju ruang tamu, ia mendapati Samantha sedang berbicara dengan salah satu dekorator yang biasa Nathalia pekerjakan untuk acara keluarga. Samantha sedang dengan santainya memutuskan perubahan besar pada dekorasi ruang keluarga tanpa persetujuan Nathalia."Samantha, apa yang kau lakukan?" suara Nathalia gemetar, tetapi ada kekuatan di balik setiap kata.Samantha menoleh, wajahnya terlihat seolah-olah ia baru saja melakukan sesuatu yang sangat biasa. "Oh, Nathalia, aku hanya meminta beberapa perubahan kecil. Rumah ini butuh suasana baru, bukankah begitu?""Ini rumahku!" Nathalia berseru, suaranya penuh emosi. "Kau tidak punya hak untuk mengubah apa pun di sini tanpa izinku."Samantha tersenyum licik. "Kau terlalu sensitif, Nathalia. Aku hanya ingin membantu. Lagipula, dengan keadaanmu yang selalu sibuk, ku
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b
Angin malam semakin menusuk saat Prasetyo dan Rendra menyusuri trotoar menuju lokasi yang disebutkan Dira. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, serta suara gemerisik daun yang tertiup angin. Keduanya berjalan dengan waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti."Tempat biasa itu di mana?" tanya Rendra, suaranya sedikit bergetar."Gudang tua di belakang stasiun. Dira sering pakai tempat itu untuk urusan yang nggak mau dilihat banyak orang," jawab Prasetyo dengan nada rendah."Apa kita nggak masuk perangkap?"Prasetyo terdiam sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Dira bukan tipe yang berkhianat. Kalau dia setuju untuk ketemu, berarti dia benar-benar mau membantu."Mereka tiba di sebuah gang sempit yang berujung pada bangunan tua dengan dinding kusam. Cahaya lampu neon di atas pintu berkedip lemah. Prasetyo mengetuk pintu besi tiga kali, lalu hening. Tak lama, suara gerendel terdengar, dan pintu terbuka sedikit."Masuk cepat," suara pe
Hembusan angin malam terasa dingin saat Prasetyo dan Rendra menyusuri gang sempit, napas mereka masih tersengal setelah pelarian mendebarkan dari gudang. Lampu jalan yang temaram hanya memberikan sedikit penerangan, bayangan mereka memanjang di aspal yang basah."Kita harus cari tempat berlindung," ujar Rendra, suaranya rendah namun tegas.Prasetyo mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa pria berkacamata hitam tidak akan menyerah begitu saja. Flash drive yang mereka bawa terlalu berharga, berisi sesuatu yang jelas ingin disembunyikan oleh pihak yang mengejar mereka.Mereka terus berlari, menyelinap di antara gang-gang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah warung kopi 24 jam yang tampak sepi. Prasetyo mendorong pintu kaca, dan lonceng kecil berdenting pelan. Seorang pria paruh baya di balik meja kasir melirik mereka sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana mereka bisa mengawasi pintu masuk dan keluar."Kita perlu tahu apa isi f
SUV hitam itu berhenti tanpa suara, tapi Prasetyo dan Rendra tahu bahwa ancaman yang ada di dalamnya lebih berisik daripada yang terlihat. Pintu depan mobil terbuka, dan seorang pria berkacamata hitam melangkah keluar dengan tenang. Dari cara berjalannya, ia jelas bukan orang biasa."Mereka tidak akan menunggu lama sebelum masuk," bisik Rendra sambil merapat ke dinding.Prasetyo mengamati sekeliling, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Gudang ini hanya memiliki satu pintu utama dan beberapa jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dilalui dengan cepat. Jika mereka bertahan di sini, pertarungan tak terhindarkan.Suara pintu mobil lain terbuka. Dua pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa sesuatu di balik jaket mereka. Prasetyo dan Rendra tidak perlu menunggu untuk tahu bahwa itu bukan sesuatu yang ramah."Kita harus ambil inisiatif duluan," bisik Prasetyo.Rendra mengangguk. "Aku akan ke sisi kiri, buat pengalihan. Begitu mereka masuk, kita buat mereka sibuk."Langkah kaki s