Chapter SelanjutnyaAkbar berdiri di balik pintu dapur, napasnya tertahan saat mendengar percakapan antara Samantha dan Arman. Ia tidak sengaja mendengar semuanya ketika kembali ke rumah setelah lembur di kantor Prasetyo. Kebingungan dan rasa tidak percaya bercampur dalam pikirannya. Sejak kapan Samantha dekat dengan Arman? pikirnya. Arman selama ini dikenal sebagai sosok penuh intrik, seseorang yang selalu mencari keuntungan di setiap kesempatan. Dan sekarang, Samantha, sepupunya sendiri, tampak terlibat dalam rencana jahat melawan Prasetyo—atasannya sekaligus sahabatnya.Dengan hati-hati, Akbar melangkah mundur, berusaha menghindari suara yang mungkin mengkhianati keberadaannya. Namun, suara tawa Samantha dan Arman membuat tubuhnya seolah membeku. Percakapan itu terus terngiang di telinganya."Kau pikir Prasetyo akan menyerah begitu saja?" tanya Arman dengan nada penuh keyakinan. "Dia pria keras kepala, tapi semua orang punya batasnya. Dan Nathalia... dia terlalu rapuh untuk bertaha
Chapter Selanjutnya (Revisi)Nathalia duduk di sudut ruang tamu, matanya sembab setelah tangisan panjang semalam. Bayangan kegugurannya beberapa bulan lalu masih menghantui, luka yang belum sempat sembuh kini terasa diperparah oleh kehadiran Samantha. Wanita itu terus menggunakan kehamilannya sebagai senjata untuk menarik perhatian Prasetyo, bahkan berani memanipulasi situasi hingga membuat Nathalia tampak sebagai pihak yang tidak berperasaan.Sementara itu, Samantha semakin memainkan perannya dengan sempurna. Setiap kali berada di hadapan Prasetyo, ia menunjukkan sisi rapuhnya sebagai calon ibu yang membutuhkan perhatian. Dengan penuh kepura-puraan, ia sering mengeluhkan rasa sakit atau kelelahan, memancing simpati dari Prasetyo yang merasa harus menjaga hubungannya dengan Samantha tetap baik demi masa depan anak dalam kandungannya.Suatu sore, Samantha sengaja datang ke kantor Prasetyo dengan membawa makanan yang ia klaim sebagai "bentuk perhatian seorang calon ibu." Di hadapan Nath
Chapter SelanjutnyaNathalia duduk di kamar, menatap kosong ke luar jendela. Hatinya masih perih setelah kejadian di ruang tamu. Kata-kata Kareena dan kepura-puraan Samantha terus berputar di benaknya. Ia merasa semakin terkucilkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa nyaman. Kegugurannya yang belum sepenuhnya ia terima menjadi luka yang diperburuk oleh tekanan dari Samantha dan Kareena.Prasetyo, yang merasa bersalah atas situasi tersebut, mengetuk pintu kamar dengan lembut. "Nathalia, boleh aku masuk?"Nathalia mengusap air matanya, berusaha terlihat lebih tenang. "Masuklah."Prasetyo duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja. Aku minta maaf jika apa yang terjadi tadi membuatmu semakin terluka. Aku benar-benar tidak ingin kau merasa seperti ini."Nathalia menatap Prasetyo, matanya masih berkaca-kaca. "Pras, aku merasa aku tidak pernah cukup baik untuk keluargamu. Kehadiran Samantha membuatku merasa tidak ada temp
Chapter SelanjutnyaArman duduk di sebuah lounge eksklusif dengan segelas minuman di tangannya, senyum licik terlukis di wajahnya. Suasana ruangan remang-remang, diiringi alunan musik jazz lembut. Di depannya, seorang pria misterius dengan jas hitam elegan duduk tenang, mengamati Arman dengan tatapan tajam. Pria itu tidak banyak bicara, hanya sesekali menyesap minuman dari gelas kristal yang ia pegang."Jadi," kata pria itu dengan suara berat, akhirnya memecah keheningan. "Aku dengar rencanamu mulai membuahkan hasil. Nathalia dan Prasetyo bertengkar hebat tadi malam, bukan?"Arman tertawa kecil, meletakkan gelasnya di atas meja. "Tentu saja. Segalanya berjalan lebih mulus dari yang kubayangkan. Prasetyo terlalu mudah dipancing cemburu. Sedangkan Nathalia... dia terlalu lemah untuk melawan tekanan ini."Pria itu mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Bagus. Kau tahu, kehancuran rumah tangga mereka hanyalah awal. Aku butuh lebih dari itu. Kau dan Samantha harus memastikan s
Chapter SelanjutnyaMalam sudah larut ketika Nathalia akhirnya pulang ke rumah. Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam, mencoba menghindari perhatian. Namun, suara pintu yang tertutup membuat Prasetyo, yang sedang duduk di ruang tamu dengan raut wajah penuh kekhawatiran, langsung menoleh. Matanya berbinar lega ketika melihat Nathalia berdiri di sana.“Nathalia,” ucap Prasetyo, berdiri dan menghampirinya. “Kau baik-baik saja? Aku sudah mencoba menghubungimu sepanjang malam.”Nathalia menunduk, mencoba menahan air matanya. “Aku hanya butuh waktu sendiri, Pras.”Prasetyo menghela napas panjang. “Aku mengerti. Aku minta maaf atas semua yang terjadi tadi malam. Aku tidak seharusnya berbicara seperti itu. Aku terlalu terbawa emosi.”Namun, sebelum Nathalia sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Kareena, yang rupanya belum tidur, muncul dengan ekspresi tidak senang. Wajahnya memancarkan ketegasan yang dingin saat ia menatap Nathalia.“Jadi, kau akhirnya pulang,” uja
Chapter Selanjutnya (Revisi)Samantha berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi bayangan dirinya dengan perut yang mulai membesar. Senyum puas terlukis di wajahnya. Kehamilan ini adalah senjata terkuatnya untuk merebut perhatian Prasetyo. Ia yakin, dengan waktu dan manipulasi yang tepat, ia bisa membuat Prasetyo menyayangi anak ini tanpa syarat. Namun, kali ini, rencananya tidak berjalan semulus yang ia bayangkan.Hari itu, Samantha memutuskan untuk pergi ke kantor Prasetyo. Dengan membawa makanan yang ia klaim baik untuk kehamilan, ia mengetuk pintu ruangan Prasetyo."Masuk," terdengar suara Prasetyo dari dalam.Samantha membuka pintu dengan senyum lebar. "Hai, Pras. Aku membawakan sesuatu untukmu," katanya dengan nada lembut.Prasetyo mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang ia baca, tampak terkejut melihat Samantha. "Samantha? Kau tidak perlu repot datang ke sini. Kau seharusnya lebih banyak istirahat."Samantha meletakkan makanan di meja Prasetyo dan duduk di kursi di hadap
Chapter SelanjutnyaSamantha duduk di tepi ranjangnya, memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu, setelah penolakan Prasetyo di kantor, ia harus bermain lebih cerdik. Dengan senyum tipis, ia menghubungi seseorang untuk memastikan rencananya berjalan lancar.Malam itu, Samantha sengaja berpura-pura mengalami pendarahan. Ia menelepon Kareena dengan suara panik, memohon bantuan. “Bu, aku takut! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kehamilanku.”Kareena yang mendengar suara putus asa Samantha langsung panik. “Samantha, tenang! Aku akan segera ke sana. Jangan bergerak terlalu banyak.”Kareena tiba di rumah Samantha beberapa menit kemudian bersama sopir keluarga. Melihat Samantha yang terbaring di sofa dengan ekspresi lemah, Kareena semakin khawatir. “Kita harus membawamu ke dokter sekarang juga!” katanya tegas.Samantha dengan suara lirih menjawab, “Bu, aku takut bayi ini dalam bahaya. Aku tidak tahu harus bagaimana.”Setelah diperiksa di rumah sakit, dokter mengatakan tidak ada mas
Kehadiran Samantha di kediaman Rahardjo membawa perubahan besar yang tidak menyenangkan, terutama bagi para pelayan. Samantha, yang awalnya tampak lemah dan tidak berdaya, kini mulai bertindak seolah-olah dirinya adalah nyonya rumah. Ia memberi perintah kepada para pelayan dengan nada yang memerintah, tanpa sedikit pun rasa hormat. Suatu pagi, Samantha duduk di ruang makan, memanggil salah satu pelayan dengan nada tinggi. “Kopi ini terlalu dingin. Buatkan yang baru, dan kali ini pastikan panasnya pas,” katanya sambil mengernyitkan dahi. Pelayan itu, seorang wanita tua bernama Ibu Lastri, mengangguk dengan sopan, meski raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. "Baik, Bu Samantha," jawabnya pendek, lalu membawa cangkir kopi itu ke dapur. Di dapur, para pelayan berkumpul dengan wajah penuh frustrasi. "Perempuan itu benar-benar tidak tahu diri," bisik Ibu Lastri dengan nada kesal. "Sejak kapan dia punya hak untuk memberi perintah seperti ini?" Seorang pelayan muda, Wulan, menimpali.
Prasetyo menarik napas panjang saat ia dan Rendra keluar dari kafe melalui pintu belakang. Jalanan di belakang kafe sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berkelip. Namun, Prasetyo tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan pergi begitu saja."Kita harus cepat," kata Rendra, matanya menyapu sekeliling.Langkah kaki terdengar semakin dekat. Prasetyo menoleh ke belakang dan melihat pria bertubuh besar yang tadi masuk ke kafe kini berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tajam. Dua orang lainnya muncul dari gang sempit di samping kafe, membuat jalan keluar mereka semakin terbatas."Mereka datang lebih cepat dari yang kukira," gumam Prasetyo."Tidak ada waktu untuk ragu," balas Rendra. Ia dengan cekatan meraih sesuatu dari dalam jaketnya—sebuah flash drive kecil. "Ambil ini. Jika terjadi sesuatu padaku, pastikan Samantha dan Nadia mendapatkannya. Mereka tahu harus berbuat apa."Prasetyo mengambil flash drive itu dan memasukkannya ke dalam saku dalam jaketnya
Prasetyo berdiri di tengah ruangan yang perlahan-lahan mulai kosong. Orang-orang masih berbisik tentang apa yang baru saja terjadi, beberapa di antara mereka mencuri pandang ke arahnya dengan berbagai ekspresi—kagum, lega, atau bahkan ketidakpercayaan. Tapi Prasetyo tidak peduli. Pikirannya masih tertuju pada satu hal: ini belum berakhir.Samantha masih berdiri di dekatnya, wajahnya terlihat lebih tenang meski sisa ketegangan belum sepenuhnya hilang. Ia meremas jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. "Pras, kita harus memastikan Arman benar-benar tidak punya jalan untuk lolos lagi. Kita tidak bisa membiarkannya bermain di balik bayang-bayang."Nadia, sang jurnalis investigasi, menyelipkan tablet ke dalam tasnya lalu menatap Prasetyo dengan serius. "Bukti ini cukup untuk menjatuhkannya sekarang, tapi seperti yang kubilang tadi, ini belum selesai. Ada banyak orang di belakang Arman yang mungkin mencoba membersihkan namanya atau bahkan membalas dendam."Prasetyo mengangguk. "
Prasetyo menatap pria berseragam itu dengan tajam, pikirannya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu jika ia mengikuti mereka sekarang, Arman akan semakin unggul. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu melambat dalam ketegangan yang semakin menyesakkan."Tuan, kami harus meminta Anda untuk tidak membuat ini lebih sulit," suara pria itu tegas, namun tetap formal. Tangannya sudah terulur, siap menggiring Prasetyo keluar dari ruangan.Samantha berdiri dengan gemetar, wajahnya penuh ketakutan dan amarah yang bergejolak. "Tidak! Dia tidak bersalah! Semua ini rekayasa! Arman menjebaknya!"Arman mendesah, menggelengkan kepalanya seolah bosan dengan drama yang terjadi. "Samantha, sayangku, terima saja kenyataan. Prasetyo kalah. Kau juga kalah. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti kalian."Namun sebelum pria berseragam itu bisa membawa Prasetyo, sebuah suara lain menggema di ruangan."Tunggu!"Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan jas ab
Ruangan itu masih sunyi. Udara terasa tegang, seakan-akan waktu berhenti setelah semua kebenaran terungkap. Prasetyo menarik napas panjang, matanya menatap Samantha yang kini benar-benar kehilangan kata-kata. Namun, ia tahu, ini belum selesai.Tiba-tiba, suara tepukan tangan menggema di ruangan itu. Semua orang menoleh ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam rapi, ekspresi wajahnya penuh dengan kepuasan. Arman."Luar biasa, Pras," ujarnya dengan nada mengejek. "Aku harus mengakui, kau memang lebih pintar dari yang aku kira. Tapi apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari segalanya?"Prasetyo mengepalkan tangannya. "Arman, ini sudah selesai. Semua bukti ada di sini. Tidak ada lagi kebohongan yang bisa kau sembunyikan."Namun, alih-alih panik, Arman justru tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, matanya menatap Samantha yang kini tampak putus asa."Samantha, sayangku," ucapnya dengan nada merendahkan. "Aku sudah bilang, jangan ter
Ruangan yang awalnya penuh dengan tawa dan kegembiraan kini berubah menjadi panggung pembongkaran. Semua mata tertuju pada Prasetyo, yang berdiri tegak di tengah-tengah ruang, dengan wajah penuh tekad. Di belakangnya, layar televisi lebar yang sudah disiapkan sebelumnya menampilkan serangkaian bukti yang akan mengungkapkan kebohongan besar yang selama ini disembunyikan oleh Samantha dan Kareena.Samantha, yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak panik. Wajahnya memucat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tak menyangka jika Prasetyo benar-benar memiliki bukti yang begitu kuat, bukti yang mampu mengguncang seluruh dunia yang ia bangun dengan kebohongannya. Namun, Samantha masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, ia berusaha mengelak, suaranya bergetar ketika ia membuka mulut."T-tunggu, Prasetyo! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Samantha mencoba menyusun kata-kata, meskipun suaranya terdengar semakin terbata-bata. "Kamu salah paham! Aku… aku tidak tahu apa
Meski ingatannya telah kembali sepenuhnya, ia memilih untuk berpura-pura tidak ingat, bahkan bersikap seolah-olah ia masih kehilangan ingatannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi itu adalah cara terbaik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Samantha dan orang-orang yang telah menipu dan memanipulasinya selama ini. Prasetyo merasa bahwa saat ini ia harus menjadi seorang aktor yang baik, menyembunyikan perasaannya dan berakting sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Samantha dan ibunya, Kareena.Samantha, dengan segala kebohongannya, terus berusaha menambah kepingan puzzle kebohongan yang selama ini mereka bangun. Ia tahu bahwa Prasetyo masih berada di dalam genggamannya, dan ia terus mencoba untuk meyakinkannya bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, bahwa dia adalah wanita yang terbaik untuknya. Sementara itu, Kareena, ibu Prasetyo, tampaknya juga telah membenarkan semua kebohongan itu, memberikan dukungan penuh pada Samantha, seolah-olah semuanya be
Nathalia masih berdiri di depan pintu rumah sewaannya, matanya penuh kebingungan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya ingin percaya, tapi rasa takut dan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya membuatnya ragu. Namun, di tengah ketidakpastian itu, ponsel Nathalia tiba-tiba berbunyi.Dia melihat nama Akbar muncul di layar. Nathalia merasa sedikit cemas, karena dia tahu Akbar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Prasetyo, dan bisa jadi, Akbar tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, Nathalia mengangkat telepon itu."Halo, Akbar," sapanya dengan suara sedikit terengah-engah, masih mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuannya dengan Prasetyo."Nat, kamu baik-baik saja?" suara Akbar terdengar prihatin dari ujung telepon. "Aku dengar Prasetyo datang menemuimu tadi. Apa yang terjadi?"Nathalia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. "Iya, dia datang," jawabnya perlahan. "Tapi... ada banyak hal ya
Setelah beberapa waktu terpisah dan melalui berbagai kebohongan yang menjerat, hatinya kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam. Ia harus menemui Nathalia, harus melihat wajah wanita itu lagi, meskipun ia tahu ia sudah terlambat. Akibat tindakan ibunya, ia dan Nathalia kini terpisah. Tetapi, berkat bantuan Akbar, akhirnya ia berhasil mengetahui keberadaan Nathalia. Tak ada lagi waktu untuk ragu—Prasetyo merasa ia harus melangkah, walaupun ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang penuh emosi dan kerumitan.Saat sampai di depan rumah sewaan Nathalia, perasaan Prasetyo semakin bergejolak. Rumah itu tampak sederhana, jauh berbeda dengan rumah mewah yang dulu mereka impikan bersama. Rumah ini adalah tempat di mana Nathalia harus berjuang sendiri, tanpa kehadirannya. Dalam kondisi seperti ini, Prasetyo merasa dirinya semakin tidak pantas berada di sana.Prasetyo mengatur napasnya, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya, Nathali
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Prasetyo akhirnya keluar dan kembali ke rumah, meskipun ingatannya masih sedikit kabur. Samantha tetap berada di sisinya, menjaga setiap langkahnya. Namun, dalam hati Prasetyo, sebuah niat mulai berkembang—untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia sadar bahwa ingatannya yang hilang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ada di sekitarnya.Suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Prasetyo memutuskan untuk menghubungi Akbar. Ia tidak memberi tahu Samantha sebelumnya, tapi ia tahu bahwa Akbar adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya mengungkap semua yang disembunyikan. Di luar dugaan, Akbar menjawab telepon dengan cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran."Pras? Apa kabar? Kenapa tiba-tiba menghubungi aku?" tanya Akbar dengan nada cemas.Prasetyo menghela napas, menatap langit malam yang gelap di luar jendela. "Ingatan aku su