Arman menghembuskan napas panjang saat pintu selnya terbuka. Kebebasannya bukanlah hasil yang ia duga, namun satu hal memenuhi benaknya sejak ia keluar: Nathalia. Ada banyak hal yang harus ia sampaikan, terutama setelah mendengar kabar tentang kehamilan Nathalia dari desas-desus yang beredar.“Jadi, apa rencanamu sekarang?” Akbar berdiri di luar penjara, menyambut sahabat lamanya dengan sorot mata waspada.“Aku harus menemuinya,” kata Arman dengan tegas. “Aku harus memastikan dia baik-baik saja, Akbar. Terlebih dengan kondisinya.”Akbar menahan tangan Arman saat pria itu melangkah menuju mobil. “Itu bukan ide yang baik. Kamu tahu bagaimana situasinya dengan Prasetyo. Nathalia tidak butuh lebih banyak kekacauan.”Arman menatap Akbar, tatapannya tajam namun penuh rasa bersalah. “Aku tidak bisa tinggal diam. Aku hanya ingin memastikan dia aman.”“Jika kamu benar-benar peduli, biarkan dia menjalani hidupnya tanpa gangguan,” Akbar memperingatkan. “Keadaan sudah cukup rumit. Kehadiranmu han
Satu tahun yang lalu, di sudut swalayan kecil di pinggiran kota, Nathalia berdiri di belakang meja kasir, sibuk menghitung kembalian untuk seorang pelanggan. Kehidupannya sederhana, berputar antara pekerjaannya di swalayan dan waktu luangnya bersama sang ibu yang sakit. Dia tidak pernah membayangkan bahwa hari itu akan mengubah segalanya. Di luar swalayan, Akbar, Arman, dan Prasetyo berdiri bersandar pada mobil sport hitam milik Prasetyo. Ketiganya tertawa, berbicara tentang hal-hal remeh, hingga mata mereka tertuju pada Nathalia yang sedang bekerja di dalam. “Lihat dia,” ujar Akbar sambil menunjuk dengan dagunya. “Cantik, ya? Terlihat seperti tipe yang sulit ditaklukkan.” Arman tertawa kecil, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. "Susah? Tidak ada yang susah untukku," katanya dengan nada sombong. Namun, ada kilatan di matanya yang mencerminkan rasa frustrasi. "Aku sudah mencoba mendekatinya minggu lalu, tapi dia bahkan tidak melirikku," lanjut Arman, kini dengan nada lebih tajam
Prasetyo membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela menyilaukan matanya, memaksanya menyesuaikan diri dengan realitas yang menggantung di hadapannya. Ia melirik jam di dinding, pukul tujuh pagi. Waktu dokter visit akan segera tiba.Ia bangkit dari tempat tidur, menarik napas dalam-dalam, lalu merapikan diri. Suara langkah suster yang berlalu-lalang di koridor rumah sakit menjadi latar belakang yang menenangkan sekaligus menegangkan. Ketika pintu kamar Nathalia terbuka, ia masuk dengan langkah mantap.Di dalam ruangan, Nathalia duduk di ranjangnya, wajahnya tampak letih. Namun, matanya tetap memancarkan keteguhan hati, meski terselubung dalam kebimbangan. Prasetyo berdiri di samping ranjang, diam-diam memperhatikan perut Nathalia yang semakin membesar.Ketika dokter memulai pemeriksaan, layar monitor USG menampilkan bayangan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam Nathalia. Jantung Prasetyo berdegup lebih cepat. Bayi itu—calon buah hatinya—bergerak pelan, seolah meng
Siang itu, Prasetyo baru saja selesai dengan panggilan telepon panjang dari kliennya. Ia mengusap wajahnya yang lelah, tetapi pikirannya langsung tertuju pada Nathalia. Ia merasa perlu memastikan bahwa istrinya benar-benar beristirahat seperti yang dianjurkan dokter.Ketika ia menuju kamar Nathalia, pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya mendidih. Nathalia berjalan perlahan di koridor rumah sakit, menyeret tiang infusnya. Wajahnya tampak pucat, tetapi tekad terlihat jelas di matanya. Ia bahkan tidak memperhatikan ketika seorang suster mencoba menegurnya.“Nathalia!” seru Prasetyo, nadanya penuh amarah dan kekhawatiran. Langkahnya besar-besar mendekati istrinya. Nathalia menoleh, sedikit terkejut melihat Prasetyo.“Apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya kau beristirahat di ranjang!” lanjut Prasetyo dengan nada tinggi.“Aku hanya ingin meregangkan kaki sedikit,” jawab Nathalia pelan, mencoba membela diri. “Aku merasa lebih baik.”Namun, jawaban itu tidak membuat Prasetyo tenang.
Samantha melangkah keluar dari rumah sakit dengan langkah cepat. Wajahnya merah padam, tidak hanya karena panas terik siang itu tetapi juga karena amarah yang membara di dalam dadanya. Ia tidak pernah merasa sefrustrasi ini sebelumnya. Hubungan antara Prasetyo dan Nathalia tidak hanya terlihat baik-baik saja, tetapi bahkan lebih kokoh dari yang ia bayangkan. Pemandangan itu membuatnya merasa tidak berdaya, sebuah emosi yang sangat dibencinya.“Bagaimana bisa? Prasetyo tidak pernah bersikap seperti itu padaku,” gumamnya, suaranya nyaris seperti desisan. Tangannya menggenggam erat tasnya, seolah ingin melampiaskan kemarahan pada benda mati itu.Langkahnya terhenti ketika ponselnya bergetar. Nomor tidak dikenal tertera di layar, tetapi rasa ingin tahu membuatnya mengangkat panggilan tersebut.“Halo?” suaranya dingin, mencerminkan suasana hatinya.“Samantha,” suara di ujung sana terdengar berat, hampir tanpa emosi. “Aku pikir kau akan tertarik dengan ini.”Sebelum Samantha sempat bertanya
Hubungan Nathalia dan Prasetyo yang membaik membawa perubahan besar bagi kesehatan Nathalia. Setelah berminggu-minggu menjalani perawatan intensif di rumah sakit, perempuan itu akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, warna wajahnya mulai kembali, dan senyum kecil menghiasi bibirnya, sesuatu yang jarang terlihat dalam beberapa bulan terakhir.Namun, Prasetyo tampak gelisah. Ia berdiri di samping tempat tidur Nathalia, tangan menyilang di dada, dan matanya menatap tajam ke arah perawat yang sibuk mempersiapkan dokumen kepulangan Nathalia.“Kau yakin sudah cukup sehat untuk pulang?” tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran meski berusaha terdengar tenang.Nathalia menoleh, tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Pras. Dokter sendiri yang bilang aku boleh pulang. Lagi pula, aku tidak bisa selamanya tinggal di sini.”Prasetyo menghela napas berat. “Tapi bagaimana kalau sesuatu terjadi? Di rumah tidak ada dokter atau perawat yang bisa langsung membantumu
Malam itu, suasana rumah terasa hangat. Nathalia, yang mulai merasa lebih sehat sejak kembali dari rumah sakit, duduk di sofa ruang tengah dengan wajah cerah. Prasetyo memandangnya dari sudut ruangan, memperhatikan setiap detail ekspresi istrinya. Ada kebahagiaan yang mulai terpancar dari Nathalia, dan itu membuat hatinya tenang, meski ia berusaha menyembunyikannya di balik sikap dinginnya.“Pras,” panggil Nathalia dengan suara lembut.Prasetyo, yang sedang berdiri di dekat rak buku, berpaling dengan cepat. “Ada apa?” tanyanya singkat, meski matanya penuh perhatian.“Aku ingin makan cokelat. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mencicipinya,” jawab Nathalia dengan mata berbinar, menatap suaminya penuh harap.Prasetyo mengangkat alis, mencoba terlihat acuh. “Cokelat? Itu permintaan sederhana. Kenapa tidak bilang lebih awal?” Ia berjalan menuju dapur sambil menambahkan, “Tunggu di sini.”Namun, sebelum ia beranjak lebih jauh, Nathalia menarik lengan suaminya. “Tunggu. Aku ingin kita meni
Pagi itu, Nathalia masih terjebak dalam pikirannya tentang mimpi yang menghantui tidurnya semalam. Ia mencoba menyibukkan diri dengan membaca buku di ruang tengah, tetapi bayangan tentang Samantha dan bayi yang direnggut darinya terus berputar di benaknya. Wajahnya tampak murung, meskipun ia berusaha menyembunyikannya dari Prasetyo.Prasetyo, yang baru saja turun dari lantai atas, langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Nathalia dengan tatapan penuh perhatian yang dibalut gengsinya. Akhirnya, ia duduk di sofa di seberang Nathalia dan pura-pura membaca koran.“Nath, kau baik-baik saja?” tanyanya, mencoba terdengar santai.Nathalia menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pras.”Namun, Prasetyo tidak mudah dibodohi. Ia melipat korannya dan mendekati istrinya. “Kau masih memikirkan mimpi itu, ya?” tebaknya.Nathalia terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak tahu kenapa itu begitu nyata. Aku merasa… seperti aku benar-be
Chapter Lanjutan: Perayaan Pahit dengan Rahasia TersembunyiSamantha kembali ke rumah Akbar dengan langkah pelan, menyembunyikan kepuasan di balik raut wajah yang tenang. Perasaan kosong masih menggelayuti dirinya meskipun rencananya untuk merusak hubungan Prasetyo dan Nathalia berjalan sesuai harapan. Duduk di sofa, ia menatap kosong pada layar televisi yang menyala tanpa suara, pikirannya sibuk memutar balik kenangan masa lalu.Ponselnya bergetar di atas meja, menampilkan nama Arman. Samantha menghela napas, kemudian tersenyum tipis sebelum menjawab panggilan tersebut. "Arman," sapanya dengan suara lembut namun penuh makna."Bagaimana semuanya berjalan?" tanya Arman dengan nada antusias. "Aku dengar Kareena dan Nathalia terlibat dalam perdebatan sengit tadi."Samantha menyesap anggur dari gelasnya, mencoba menenangkan pikirannya. "Ya, Kareena benar-benar membuat Nathalia terpojok. Prasetyo mencoba membela istrinya, tetapi aku bisa melihat Nathalia semakin tertekan."Arman tertawa ke
Chapter Berikutnya: Dalam Cengkeraman Kebencian Nathalia berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat melihat Samantha duduk di ruang tamu. Perempuan itu tampak santai, seolah-olah tidak ada yang salah dengan kunjungannya. Di sebelahnya, Kareena, ibu mertua Nathalia, duduk dengan senyum puas di wajahnya. Keduanya tampak akrab, seperti dua teman lama yang tengah berbagi cerita. "Nathalia," suara Kareena terdengar tajam, meskipun dibalut dengan nada sopan. "Samantha datang untuk berbicara, tidak sopan jika kau tidak menyapanya." Nathalia mengatur napasnya, mencoba menahan amarah yang berkecamuk di dadanya. "Apa yang dia lakukan di sini?" tanyanya dengan nada yang berusaha ia jaga tetap tenang. Samantha tersenyum tipis, meletakkan tangan di perutnya yang mulai membesar. "Aku hanya ingin berkunjung, Nathalia. Lagipula, aku mengandung anak Prasetyo, dan aku pikir keluarga berhak tahu bagaimana keadaanku." Nathalia merasa darahnya mendidih. "Kau pikir ini tempat yang pantas untuk da
Hari itu, Nathalia memutuskan untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, mencoba melupakan sejenak masalah yang membebani pikirannya. Ia berjalan dari satu toko ke toko lain, matanya menelusuri rak-rak yang penuh dengan barang-barang. Meskipun tampak sibuk dengan belanjaannya, benaknya terus dipenuhi oleh kecemasan akan hasil tes DNA Prasetyo. Di sudut lain pusat perbelanjaan, seorang pria dengan tatapan tajam mengawasinya dengan saksama. Arman, sahabat lama Prasetyo, mengikuti Nathalia sejak ia memasuki tempat itu. Awalnya, ia berusaha membujuk dirinya sendiri bahwa ia hanya ingin memastikan Nathalia baik-baik saja. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ada perasaan lain yang mendorongnya untuk terus berada di dekatnya. Arman mempercepat langkahnya saat Nathalia berhenti di depan sebuah kafe kecil. Dengan hati-hati, ia mendekatinya, berpura-pura tidak sengaja bertemu. "Nathalia?" panggil Arman dengan suara terkejut yang dibuat-buat. "Apa kabar? Lama tidak bertemu." Nathal
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang mencekam. Prasetyo masih tenggelam dalam pikirannya, mencoba memahami jalan keluar dari situasi rumit yang sedang dihadapinya. Pesan dan panggilan dari Samantha terus berdatangan, menambah tekanan yang semakin membuatnya gelisah. Namun, satu keputusan sudah bulat di dalam pikirannya—ia tidak akan mengakui anak itu sebelum melakukan tes DNA. Pagi itu, Prasetyo menghubungi Samantha. Suaranya terdengar tegas, jauh dari nada bersalah atau ragu-ragu yang biasa ia tunjukkan. "Samantha, aku sudah berpikir panjang tentang semua ini," ucap Prasetyo, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku tidak akan mengakui anak itu sebelum kita melakukan tes DNA." Di ujung telepon, Samantha terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Pras, kau meragukan aku? Setelah semua yang kita lalui?" "Aku tidak meragukan apapun, Samantha. Aku hanya ingin memastikan kebenarannya," jawab Prasetyo dengan tegas. "Jika anak itu memang darah dagingku, aku akan bertanggung ja
Chapter SelanjutnyaPagi itu, Prasetyo duduk di ruang kerjanya, mencoba memusatkan perhatian pada berkas-berkas di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke percakapan terakhirnya dengan Nathalia. Rasa bersalah masih menyelimutinya seperti awan gelap yang tak kunjung pergi. Ia tahu, kesalahannya telah merusak segalanya, dan jalan menuju penebusan terasa begitu jauh dan sulit.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdegup lebih kencang—Samantha. Mantan tunangannya yang selama ini berusaha ia hindari setelah kejadian yang menghancurkan pernikahannya.Dengan enggan, Prasetyo membuka pesan yang masuk. Sebuah gambar hasil USG menyambutnya, membuat napasnya tercekat. Di bawah gambar itu, terdapat pesan dari Samantha:"Pras, ini anak kita. Kau tidak ingin kehilangan anak lagi, kan? Jangan sampai kau menyesal."Pesan itu terasa seperti pisau yang menusuk tepat di hatinya. Prasetyo merasa pusing, tubuhnya gemetar saat menatap gambar itu. Ia tahu bahwa in
Chapter SelanjutnyaNathalia duduk di sudut kamar yang redup, menatap kosong ke arah dinding yang dingin dan hampa. Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipinya, membawa serta rasa sakit yang mendalam. Hatinya remuk, seperti kaca yang telah terjatuh dari ketinggian dan pecah berkeping-keping.Beberapa minggu yang lalu, dunia Nathalia telah runtuh saat ia mengalami keguguran. Rasa kehilangan itu begitu menyakitkan, menghancurkan harapan yang telah ia dan suaminya bangun bersama. Ia mencoba kuat, berusaha menerima kenyataan bahwa bayi yang begitu diidamkan kini telah tiada. Namun, luka itu belum sempat sembuh, ketika ia menerima kabar yang jauh lebih memilukan.Suaminya, Prasetyo, telah menghamili perempuan lain.Kabar itu datang seperti petir di siang bolong. Awalnya, Nathalia tidak percaya. Ia berharap itu hanya rumor jahat yang dibuat untuk menghancurkan rumah tangga mereka. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri. Perempuan itu datang sendiri, membawa bukti kehamilan dan cerita yang t
Berikut ini adalah versi teks dengan nama kakak Prasetyo diubah menjadi Pradana: Prasetyo terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berlumuran keringat dingin. Kepalanya terasa berat, seakan-akan baru saja dibebani oleh beban dunia yang tak bisa lagi ia hindari. Mata yang terbuka dengan kebingungan memandang sekeliling, dan sejenak ia merasa tidak yakin di mana dirinya berada. Namun, perasaan hampa dan penyesalan yang menggerogoti hatinya kembali datang dengan begitu kuat. Ia teringat kembali dengan jelas—seperti dalam mimpi yang begitu nyata. Mimpi Prasetyo: Prasetyo melihat dirinya dan Pradana, kakaknya, sedang bermain di halaman belakang rumah besar mereka yang dikelilingi pepohonan rindang. Waktu itu mereka berdua masih anak-anak. Pradana, kakak kembarnya, lebih besar, lebih kuat, dan lebih bijaksana. Meski mereka sering kali berada di bawah tekanan yang sama dari orang tua mereka, Pradana selalu ada untuk Prasetyo. Setiap kali Prasetyo merasa tertekan dengan harapan oran
Keputusan Rahardian dan Kareena untuk kembali ke Indonesia segera setelah panggilan telepon yang tegang itu mengguncang kediaman Rahardjo. Mereka berdua terbang dalam diam, tidak hanya karena kekhawatiran terhadap keadaan keluarga mereka, tetapi juga karena mereka tahu betul betapa beratnya masalah yang harus dihadapi ketika mereka tiba di Jakarta. Mereka tidak lagi merasa bahwa keluarga ini berjalan dengan baik. Malah, mereka merasa seolah-olah mereka sudah kehilangan kendali atas putra mereka, dan itu membuat Rahardian dan Kareena semakin frustasi.Sesampainya di kediaman Rahardjo, suasana semakin tegang. Rumah yang dulunya selalu dipenuhi tawa dan kebanggaan kini terasa hampa. Setiap sudut tampak terabaikan, bahkan langit-langit yang biasanya dipenuhi dengan cahaya lembut, kini tampak suram. Kehadiran orang tua Prasetyo semakin menambah tekanan yang ada. Rahardian yang terkenal dengan ketegasannya langsung mengumpulkan Prasetyo di ruang tamu, menunggu penjelasan yang ia anggap sang
Kareena menatap layar ponselnya dengan ekspresi penuh kecemasan. Panggilan dari putra tunggal mereka, Prasetyo, datang tepat setelah Hans memberi laporan tentang situasi yang semakin buruk. Kejadian-kejadian yang terungkap begitu cepat—kehamilan Samantha, tuntutan Akbar, dan penolakan Prasetyo untuk mengakui anak itu—membuat hati Kareena penuh dengan kemarahan yang belum bisa ia sembunyikan.Rahardian, suaminya yang tenang dan selalu mengedepankan logika, terlihat sangat marah. Mereka memang tidak pernah memiliki hubungan yang dekat dengan Prasetyo. Namun, rasa malu dan frustrasi semakin menggerogoti mereka, apalagi setelah mendengar bahwa anak yang seharusnya membawa kehormatan keluarga malah terjebak dalam skandal yang bisa merusak nama baik mereka.Kareena mengangkat telepon, dengan tatapan tajam pada Rahardian yang kini berdiri di sampingnya. “Prasetyo,” katanya, dengan nada suara yang lebih rendah, namun penuh beban.Di ujung telepon, terdengar napas berat Prasetyo. “Bu, Ayah...”