Ketika seseorang membuka pintu kamar, William juga tengah menarik pintu yang sama dari arah dalam. Begitu pintu terbuka, dua manusia itu sama-sama tersentak ke belakang saat bertemu pandang. Alisha spontan mengelus dada, tetapi lelaki itu berusaha untuk terlihat biasa saja walaupun hampir kehilangan sirkulasi udara dalam tubuhnya.Biasanya, William pulang petang. Namun, akibat protes yang dilayangkan sang ibu, pria itu lantas memutuskan untuk pulang setelah makan siang. Sementara Alisha sengaja tidak berpamitan sebab perkiraannya saat ia pulang nanti, suaminya masih berada di kantor. Akan tetapi dugaannya meleset, William justru sudah tiba di rumah lebih dulu.Sepasang suami istri itu masih berdiri di ambang pintu. Saling bergeming, menunggu siapa yang akan beringsut mundur lebih dulu. Pada akhirnya, setelah menelan saliva dengan kasar, Alisha yang mengalah untuk melakukannya. Wanita itu bergeser ke samping kanan memberi ruang agar William bisa melangkah keluar.“Maaf, aku tadi pergi
Pada akhirnya William tetap mencuci sendiri semua pakaiannya. Tidak rela jika baju-bajunya itu disentuh oleh Alisha.Namun, wanita itu tidak hilang akal. Jarak yang lumayan dekat dari dapur membuat Alisha dengan mudah melihat apapun aktivitas yang dilakukan sang Suami. Diam-diam ia memperhatikan William yang sedang berkutat di ruang laundry sembari memanaskan makanan yang sudah ia masak tadi pagi. Tidak ada maksud lain, hanya ingin tahu bagaimana cara mencuci lelaki itu. Serumit apa langkahnya, hingga tak mau memberikan kepercayaan kepada Alisha. Padahal hanya sekadar mencuci baju.Memang saat Alisha mencari tahu, lelaki berkaos putih sibuk memisahkan baju-baju kotornya. Kemudian terdengar dua bunyi mesin cuci yang berbeda. Apa pria itu menggunakan dua mesin cuci? Tebakannya begitu. Alisha juga tidak bisa memastikan, sebab ia juga tak bisa leluasa mengamati apa saja yang dilakukan dalam ruang laundry itu. Beberapa kali William menyadari jika sedang diamati, tetapi saat itulah Alisha
“Argh!” William menendang sebuah kaki meja tak bersalah di ruang kerja saat melangkah ke luar ruangan. Bibirnya terus mendecak kesal akibat keinginan yang tidak sesuai harapan. Satu tangannya memegang benda pipih berwarna hitam dengan layar menyala dan satu tangannya lagi bergerak memijat dahinya yang mulai terasa pening. Sejak semalam William menghubungi Anna, bermaksud meminta penjelasan atas apa yang telah wanita itu putuskan. Kurang lebih ada seratus panggilan yang dilakukan William. Namun, tidak ada satupun dari panggilan itu yang terjawab. Anna sebenarnya sedang sibuk, atau memang sengaja membiarkan panggilan itu? Dan kini, William datang ke kantor hanya untuk menemuinya. Dengan dalih mengambil tab dan flashdisk yang tertinggal, ia cukup selamat dari amukan Romana. Akan tetapi sejak menginjakkan kaki di kantor ini, ia tak melihat batang hidung wanita yang ia cari. Mungkin masih bekerja bersama Gamma. Tenang, William masih sabar, ia masih menanti. Hanya menunggu siang dan saat
“Ann! Tunggu!”William mempercepat langkahnya. Berusaha mengejar tapak kaki perempuan yang telah menjauh di hadapannya. Pria itu masih berusaha memanggil nama sang kekasih, tetapi sepertinya wanita itu menulikan telinga. Hanya terus melangkah tanpa berniat menengok ke belakang. “Anna, kita harus bicara!”Tidak tanggung-tanggung William menunjukkan keseriusannya untuk bicara. Bahkan Anna berjalan menuju parkiran pun, lelaki itu masih setia mengejar. Tidak peduli apa yang terjadi setelah ini, tidak mengambil pusing juga kepada beberapa mata yang memandang ke arahnya. Hanya satu yang menjadi tujuan, menghentikan langkah Anna dan mengajaknya bicara.Hingga pada akhirnya langkah sepatu berhak tinggi itu melambat. Di basement tempat puluhan kendaraan roda empat berjejer rapi ini perempuan itu berhenti. Dengan sisa tenaga dalam tubuhnya, William lantas memanfaatkan keadaan. Menarik lengan Anna menuju bagian yang cukup sepi, sekalipun tempat ini tidak dikerumuni oleh banyak manusia. Hanya du
Makan malam perayaan ulang tahun Renata berlangsung sederhana. Hidangan yang tersaji pun juga hanya makanan rumahan biasa. Setelah tiup lilin, makan malam dimulai dengan cukup hangat. Sehangat nyala lilin hias yang menyala di atas meja. Diiringi dengan William yang tidak tertarik dengan obrolan itu hanya diam menikmati makanan yang tersusun rapi dalam piringnya sembari mendengar percakapan Richo dan Alisha yang tampak bersemangat bertukar cerita. Baru diketahui, jika pria yang mengaku sebagai mantan kekasih Alisha itu baru saja kembali dari liburannya di Bali. Sialnya, lelaki itu menginap di Sintara. “Asal kau tahu, Sintara itu milik Romana. Ibunya William, Rich,” sahut Renata menimpali obrolan Richo dan Alisha mengenai hotel tersebut. “Dan William ini menjadi Direktur Keuangan di Holding Office Sintara.”“Ohya? Kudengar Nyonya Romana memiliki dua putra. Satu kandung dan satu tiri, dan setahuku nama putra kandungnya Gamma. Aku pernah membaca salah satu media membuat berita begitu,”
Getaran halus yang terdengar di samping tubuhnya menganggu tidur pulas William. Pria itu masih memejamkan mata, tetapi tahu bahwa bising itu bukan berasal dari ponsel miliknya. Sebab alarm pada ponselnya pasti berdering. Selain itu, ponsel William akan menyala setiap pukul enam pagi. Sudah jelas vibrasi itu bersumber dari ponsel istrinya, Alisha.Biasanya, jika demikian Alisha akan langsung mematikan getaran itu, kemudian akan terasa sebuah gerakan menuruni ranjang. Namun, sudah beberapa saat berlalu, William tak jua merasakan gerakan itu, bahkan ponsel itu masih menggegar. Alhasil lelaki yang masih ingin beristirahat itu pun berdecak kesal.“Sha, ponselmu mengangguku!” desisnya kemudian memindah posisi bantal untuk menutupi telinganya. Sayangnya ponsel itu masih saja belum berhenti mengoyak pendengarannya.Dengan kedua mata yang masih terbalut kantuk, William mencebikkan bibirnya sekali lagi. Lalu menggerakkan tangannya untuk meraba sisi di sebelahnya, berharap menemukan tubuh Alisha
"William? Richo? Kalian ada di sini?"Alisha, datang menghampiri mereka dengan suara yang sedikit sengau dan mata berair. William yang telah mengurungkan niat untuk membalas perkataan Richo lantas menghadap ke arah istrinya yang baru saja datang. Baru ia lihat jika Hidung wanita itu juga turut memerah. Membuatnya sedikit menerka-nerka. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Alisha? Wanita itu pergi meninggalkannya subuh-subuh lalu sekarang wajahnya terlihat kacau seperti ini. Rambut berantakan, wajah kusut, seperti habis menangis.Satu lagi yang membuat pikiran jahat William mengakuisisi. Ada urusan apa Richo berada di Sintara kembali? Lalu, mengapa pria itu ada di sana—ditempat yang sama dengan Alisha? Tidak masuk akal jika ini semua sebuah kebetulan, bukan? Apakah Alisha sengaja mengajak Richo untuk datang ke Bali? Jangan-jangan kisah cinta mereka juga belum selesai?“Rich? Kau belum kembali sejak tadi?” tanya Alisha membuat William sedikit memicingkan matanya. Jadi, sejak tadi mereka d
“Ini bill pembayarannya, jika sudah selesai jangan lupa dibawa ke meja kasir, terima kasih.” Pesanan menu telah diantar, pelayan itu pergi setelah memastikan semua menu yang dipesan tersaji. Alisha segera merapikannya ke tengah meja begitu juga dengan William. Saat ini mereka ada di sebuah resto yang letaknya lumayan jauh dari Sintara, mungkin sekitar dua puluh menit belum dengan kalkulasi macet. Jarak yang cukup membuat punggung pegal walaupun hanya duduk dan diam di samping kemudi. Di tambah dengan jalanan yang pagi ini terlihat sesak oleh kendaraan. Namun, itu semua terbayarkan ketika mereka melihat pemandangan danau yang terhampar luas di tempat ini.Danau? Ya! Resto ini terapung di atas danau. Udaranya terasa sejuk. Airnya jernih dan tenang memantulkan pegunungan yang indah di permukaan. Sinar matahari yang mulai tinggi menjulang menciptakan efek kilauan yang memukau. Entah mengapa William mengajaknya ke tempat ini. Bukankah tempat ini terlalu indah untuk di datangi bersamanya
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika